Konten dari Pengguna

Jejak Perwira di Istana: Dari Soedharmono hingga Mayor Teddy

Khairul Fahmi
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
8 Maret 2025 5:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya (instagram @tedsky_89)
zoom-in-whitePerbesar
Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya (instagram @tedsky_89)
ADVERTISEMENT
Kenaikan pangkat Sekretaris Kabinet, Mayor Teddy Indra Wijaya menjadi Letnan Kolonel hanyalah satu fragmen dalam dinamika pemerintahan saat ini.
ADVERTISEMENT
Namun, hal ini membangkitkan ingatan tentang satu figur yang lebih dulu meniti jalur serupa: Letjen TNI Purn. Soedharmono. Seorang perwira yang kariernya lebih banyak ditempa di lingkaran kekuasaan ketimbang di medan tempur, hingga mencapai puncak karier politik sebagai Wakil Presiden RI.
Di antara jajaran perwira yang berpengaruh di era Orde Baru, Soedharmono adalah sosok yang mencerminkan bagaimana militer tidak hanya hadir dalam struktur pertahanan, tetapi juga menjadi bagian dari jantung pemerintahan. Sebagai Sekretaris Kabinet dan kemudian Menteri Sekretaris Negara, ia memainkan peran sentral dalam mengelola administrasi kekuasaan Soeharto.
Jalur yang ditempuhnya juga diikuti oleh Moerdiono, yang nyaris selalu berada dalam orbit yang sama. Keduanya adalah contoh bagaimana perwira militer di masa lalu dapat menjadi pilar dalam birokrasi sipil, sesuatu yang tidak lagi umum setelah reformasi.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah kemunculan figur seperti Teddy menandakan kembalinya pola lama? Ataukah ini sekadar manifestasi dari dinamika internal pemerintahan Prabowo, ketimbang rekonsolidasi militer dalam politik?
Sejarah yang Membentuk Struktur Politik
Untuk memahami dinamika ini, kita perlu menoleh ke belakang, ke era ketika militer bukan sekadar alat pertahanan negara, melainkan bagian dari kekuatan politik itu sendiri. Pada tahun 1958, Jenderal AH Nasution memperkenalkan konsep Jalan Tengah TNI, sebuah gagasan yang kemudian berkembang menjadi Dwifungsi ABRI.
Di bawah konsep ini, tentara tidak hanya bertanggung jawab atas keamanan dan pertahanan, tetapi juga turut serta dalam pemerintahan. Dari sudut pandang militer saat itu, keikutsertaan mereka dalam politik adalah keniscayaan. Negara masih muda, instabilitas masih tinggi, dan birokrasi sipil dianggap belum cukup kuat untuk menjalankan roda pemerintahan secara efektif. Dalam konteks inilah Soedharmono muncul sebagai perwira yang berperan besar di lingkaran istana.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang staf di lingkaran strategis sejak masih berpangkat mayor di masa Orde Lama pada awal 1960an, Soedharmono memiliki pemahaman mendalam tentang bagaimana negara dijalankan.
Ketika Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, jalur kariernya semakin terbuka. Dengan pengalamannya dalam administrasi negara dan kedekatannya dengan elite militer, ia menjadi salah satu arsitek di balik struktur politik birokrasi Orde Baru, hingga puncak kariernya, memimpin Golongan Karya dan kemudian menjadi Wakil Presiden RI ke-5.
Jalur ini diikuti oleh beberapa tokoh lain, seperti Moerdiono—yang nyaris selalu berada di bayang-bayang Soedharmono dalam berbagai jabatan strategis—dan Ginanjar Kartasasmita, yang lebih menonjol dalam bidang ekonomi dan perencanaan pembangunan.
Moerdiono memulai karier dari posisi yang serupa dengan Soedharmono: Seorang perwira muda yang lebih banyak bekerja dalam sistem administrasi kekuasaan ketimbang di lapangan. Setelah menjabat Sekretaris Kabinet, pada akhirnya, Moerdiono menjadi Menteri Sekretaris Negara dan bertahan sebagai juru bicara utama pemerintah, hingga menjelang akhir kekuasaan Soeharto.
ADVERTISEMENT
Ginanjar, di sisi lain, menunjukkan bagaimana perwira dengan latar belakang birokrasi dapat memainkan peran dalam pengelolaan negara dari sektor kebijakan ekonomi. Sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas hingga Menko Ekuin di era Soeharto, Ginanjar menjadi jembatan antara kepentingan militer dan teknokrasi sipil.
Yang menarik, Ginanjar tetap bertahan di arena politik pasca-reformasi, menjabat sebagai Ketua DPD RI (2004-2009). Ini menunjukkan bahwa jaringan politik yang dibangun sejak Orde Baru masih memiliki daya tahan, bahkan dalam sistem politik yang sudah berubah.
Model ini bukan hanya terjadi di pusat kekuasaan, tetapi juga di daerah. Perwira militer menduduki jabatan gubernur, wali kota, hingga posisi strategis di kementerian. Militer menjadi bagian tak terpisahkan dari birokrasi sipil.
ADVERTISEMENT
Namun, pasca-reformasi, Dwifungsi ABRI dihapus. Militer dikembalikan ke barak, dan jalur formal perwira ke dunia sipil semakin sempit. Meski begitu, bukan berarti perwira yang ingin berkecimpung di politik kehilangan jalannya. Mereka tetap menemukan celah, meskipun kini dengan cara yang berbeda.
Jalan Baru Para Perwira
Jika pada era Soekarno dan Soeharto seorang perwira bisa secara langsung menempati jabatan sipil tanpa harus pensiun dini, saat ini aturannya berbeda. Seorang perwira aktif harus mengakhiri dinas militernya sebelum terjun ke dunia politik atau birokrasi sipil.
Kita bisa melihat contohnya dalam sosok Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang mundur dari karier militernya untuk berkecimpung di dunia politik. Kini, selain memimpin Partai Demokrat, ia juga menjabat sebagai Menko Infrastruktur dalam kabinet Prabowo.
ADVERTISEMENT
Hal serupa terjadi pada Iftitah Sulaiman, peraih Adhi Makayasa yang kini menjadi Menteri Transmigrasi, dan Sugiono, sosok perwira muda yang kini menjadi Menteri Luar Negeri.
Mereka menempuh jalur yang berbeda dengan Soedharmono atau Moerdiono. Mereka tidak membangun karier dari lingkaran istana, tetapi memilih jalan politik setelah mengakhiri dinas mereka lebih awal. Ini menandakan bahwa meskipun militer masih memiliki daya tarik dalam politik, jalur yang ditempuh tidak lagi semulus era Dwifungsi.
Namun sebagaimana dicatat oleh Harold Crouch dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia, hubungan antara militer dan politik di Indonesia tidak pernah benar-benar terputus. Militer Indonesia selalu menemukan cara untuk tetap relevan dalam politik, baik secara institusional maupun melalui individu-individu yang meniti karier di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Mengulang Sejarah atau Dinamika Baru?
Memang selalu ada benang merah yang bisa menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Namun, sejarah tidak pernah berulang dengan cara yang sama persis. Situasi politik saat ini lebih kompleks, dengan sistem demokrasi yang lebih terbuka dan pembatasan peran militer dalam politik yang lebih ketat. Dalam konteks ini, kehadiran Letkol Teddy Indra Wijaya di lingkaran pemerintahan Prabowo memang menarik perhatian.
Apakah ini pertanda kembalinya pola lama? Dwifungsi jelas telah tiada. Yang tersisa hanyalah strategi adaptasi. Meskipun posisi Teddy saat ini mengingatkan pada Soedharmono di masa awal, konteksnya jelas berbeda.
Saat ini, Sekretaris Kabinet adalah sebuah jabatan yang berada di lingkungan Sekretariat Militer Presiden (Setmilpres). Mengacu pada pasal 47 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Setmilpres adalah salah satu lembaga yang boleh diisi oleh prajurit aktif tanpa harus mengundurkan diri.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Presiden Prabowo memang membangun pemerintahannya dengan lebih menekankan pada loyalitas, kecocokan serta kemampuan. Dan Letkol Teddy adalah salah satu figur yang telah lama bekerja dengannya, terutama sejak menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Artinya, kehadiran seorang perwira seperti Teddy di lingkaran istana bukan lagi soal dwifungsi atau strategi politik militer, tetapi lebih pada bentuk dinamika kebutuhan internal pemerintahan. Dari sudut pandang ini, percepatan kenaikan pangkatnya pun, mestinya bisa lebih mudah dipahami.