Kasus Novel: Jiwa Korsa Cuma untuk Kaburkan Aktor Intelektual

Khairul Fahmi
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
Konten dari Pengguna
4 Januari 2020 17:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
t
2aNovel Baswedan dan tersangka penyerangnya.
Jiwa korsa selalu menjadi klaim dan pembenaran ketika peristiwa-peristiwa macam kasus Novel terjadi. Entah itu bentrok antarsatuan, antarinstitusi atau bahkan ketika terjadi kekerasan yang melibatkan personel-personel satuan tertentu terhadap pihak di luar kesatuannya atau bahkan masyarakat umum.
ADVERTISEMENT
Jiwa korsa kemudian sering dilekatkan pada praktik-praktik buruk dan negatif yang menyangkut kekerasan kolektif oleh personel lembaga tertentu. Padahal doktrin ini sejatinya ditanamkan untuk membangun kekompakan dan kerjasama tim dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.
Tentunya jangankan perbuatan yang jelas tindak pidana seperti peyiraman air keras ini, jiwa korsa mestinya bahkan tak membuat pelanggaran disiplin atas nama solidaritas dan kekompakan dapat ditolerir.
---
Organisasi Polri, terutama Brimob, masih sangat kental dengan kultur fasisme dan tradisi yang militeristik. Meski berstatus sipil, pembentukan personelnya sejak di lembaga pendidikan masih lekat dengan ketentaraan.
Pembentukan watak dan karakter tentara memang dilakukan atas dasar doktrin yang merepresentasikan kebanggaan, kewibawaan dan kehormatan kolektif institusional. Itu berarti berbicara simbol-simbol, identitas dan ideologi. Implementasi yang sering kita lihat dan dengar adalah slogan "disiplin adalah nafasku, kesetiaan adalah kebanggaanku, kehormatan di atas segala-galanya".
ADVERTISEMENT
Tak ada yang salah dari slogan itu. Masalahnya adalah penerapan yang seringkali membabi-buta. Wajar saja, indoktrinasi dan ideologisasi memang tak membutuhkan keberfikiran. Jiwa korsa kemudian ditangkap semata-mata soal keseragaman, kekompakan dan solidaritas. Tanpa melihat apalagi menelaah kondisi obyektif secara kritis.
Pokoknya hantam dulu, sikat dulu. Apalagi ketika ada keyakinan bahwa kehormatan korps telah tercoreng, lembaga telah dipermalukan. Apalagi jika yang mempermalukan itu dianggap sebagai bagian dari dirinya, ya cap pengkhianat langsung melekat, tanpa melihat duduk perkara. Dan pembalasan atau penghukuman kemudian dianggap layak dan setimpal dilakukan pada siapapun yang telah menyakiti, mempermalukan, menghina apalagi mengkhianati.
Tentu saja implementasi yang benar dari jiwa korsa tak seperti itu. Jiwa korsa tak boleh jadi alasan untuk perbuatan yang jelas tidak memberi contoh baik bagi masyarakat luas. Makanya penanaman doktrin soal disiplin, loyalitas dan kehormatan tadi, mestinya dibarengi dengan pengembangan budaya malu. Malu tidak disiplin, malu melanggar aturan, dan malu bertindak tidak terhormat.
ADVERTISEMENT
---
Kembali ke kasus Novel Baswedan, jika memang benar alasannya adalah soal korsa atau solidaritas korps, saya kira pelaku sudah terlalu jauh mempersonalisasi apa yang disebut sebagai pengkhianatan terhadap korps. Ini berbeda dengan apa yang terjadi dalam kasus Cebongan dimana para pelaku adalah rekan sejawat satu kesatuan dengan korban pembunuhan yang diduga dilakukan oleh para tahanan di Lapas Cebongan itu.
Nah personalisasi yang terlalu jauh itu butuh pemantik yang kuat. Alasan korsa saja tak cukup, dan itu belum tampak dalam kasus Novel. Karena sebenarnya saya kira banyak juga personel polri lain yang berpandangan serupa dengan tersangka pelaku penyiraman ini namun mereka tak sampai berbuat kriminal.
Tanpa adanya dorongan yang kuat, sulit membayangkan penyerangan itu akan terjadi. Jika berkaca dari kasus-kasus "hate-crime" atau kejahatan yang berlandaskan kebencian lainnya seperti serangan teror pada personel atau instalasi kepolisian oleh jaringan kekerasan ekstrem misalnya, dorongan itu berasal dari luar dirinya. Bisa berupa arahan guru, perintah pimpinan, hasutan dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Karena itu saya meragukan bahwa serangan terhadap novel --jika itu benar karena solidaritas-- adalah murni kehendak pelaku. Sangat mungkin ada hasutan, perintah atau arahan di balik itu yang harus ditelusuri lebih jauh, jika memang Polri berniat menuntaskan kasus ini dengan sungguh-sungguh.
Lagipula, apakah sebegitu dangkalnya seorang personel Polri melampiaskan kebencian terhadap orang yang mereka tuding sebagai pengkhianat? Lantas apa bedanya mereka dengan para jaringan teror yang banyak diburu dan ditangkapi itu? Apalagi Novel ini bukanlah bandit seperti yang sering tampak terpincang-pincang di layar televisi, ketika tertangkap polisi. Dia juga aparat negara. Sama seperti penyerangnya.
Selamat Tahun Baru 2020, semoga kebenaran terungkap utuh.