Kebiri, Sebentuk Hukuman Putus Asa

Khairul Fahmi
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
Konten dari Pengguna
26 Agustus 2019 16:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pelaku saat dihadirkan dalam konferensi pers di Polres Mojokerto Kota beberapa waktu lalu.
zoom-in-whitePerbesar
Pelaku saat dihadirkan dalam konferensi pers di Polres Mojokerto Kota beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
KEBIRI. Mojokerto menjadi perbincangan. Untuk pertama kalinya seorang pelaku kejahatan seksual terhadap anak mendapat hukuman tambahan kebiri kimia.
Majelis hakim di tingkat banding menilai hukuman itu pantas dijatuhkan. Tampaknya sekaligus ingin menunjukkan bahwa selain peredaran narkoba, korupsi, terorisme dan bahkan kekerasan oleh negara, kejahatan seksual dengan korban anak-anak berada di level darurat.
Kejahatan seksual memang termasuk jenis kejahatan yang paling purba. Sulit dideteksi, apalagi diantisipasi. Predatornya bisa siapa saja, hadir di mana saja dan terjadi kapan saja. Kewaspadaan seserius apapun tak serta merta mampu menyurutkan niat. Apalagi jika sudah 'ngeres' sejak dalam pikiran.
ADVERTISEMENT
Kita begitu serius membahas dan kemudian mendukung adanya hukuman tambahan kebiri. Namun lupa memastikan, apakah penegakan hukum di negeri ini sudah berjalan baik dan benar, adil dan tidak diskriminatif? Ini namanya menyelesaikan masalah dengan masalah. Bagaimana kalau ternyata salah tangkap dan salah hukum?
Produk perundang-undangan kita sudah banyak menyoal kejahatan seksual sebagai bagian dari pidana susila. Kalau mau berikan efek jera, kenapa tidak dituntut saja dengan ancaman maksimal?
Hakim juga harus didorong untuk berani berkontribusi dengan jatuhkan hukuman maksimal dan jika perlu tegaskan bahwa pemerkosaan (apalagi terhadap anak) berbeda dari kejahatan susila lain seperti perselingkuhan atau praktik prostitusi. Dia adalah kejahatan kemanusiaan.
Ilustrasi Kebiri Foto: qimono
Hukuman pidana di negara ini sejatinya adalah upaya pembinaan agar pelaku menyadari kesalahannya, memperbaiki perilakunya, dan tidak mengulangi perbuatannya ketika dikembalikan ke tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Jika seorang pelaku kekerasan seksual yang dipenjarakan dan dikebiri, lalu tobat, menyesali perbuatan, bisakah dia mendapatkan lagi haknya untuk membentuk keluarga mendapat keturunan?
Islam mengharamkan pengumbaran syahwat seksual tanpa batas. Juga mengharamkan selibat--hidup tanpa menikah. Namun bahkan pada agama-agama yang mengenal praktik selibat untuk alasan kerohanian, kebiri tak dilakukan. Pengekangan birahi dilakukan dengan berpuasa, mengasingkan diri, menata hati dan pikiran. Bukan dengan kebiri.
Selama hotspot potensial dan faktor-faktor korelatifnya dibiarkan, maka kejahatan seksual akan selalu mungkin terjadi. Siapapun yang berada di dalam pusarannya, selalu punya peluang untuk terlibat. Sebagai pelaku atau korban. Dengan atau tanpa alat kelamin.
ADVERTISEMENT