Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Polisi Kita Ulang Tahun!
1 Juli 2017 6:35 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Khairul Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari ini Polri berusia 71 tahun. Tantangan yang dihadapinya tidak ringan. Di tengah ancaman serangan terhadap instalasi dan personelnya, terdapat keraguan atas upaya penegakan hukum dan ketertiban sosial, maupun kemampuannya menjaga keamanan serta mengelola kepatuhan dan rasa takut warga masyarakat.Hari ini Polri berusia 71 tahun.
ADVERTISEMENT
Tantangan yang dihadapinya tidak ringan. Di tengah ancaman serangan terhadap instalasi dan personelnya, terdapat keraguan atas upaya penegakan hukum dan ketertiban sosial, maupun kemampuannya menjaga keamanan serta mengelola kepatuhan dan rasa takut warga masyarakat.
Maklum, selama lebih dari dua dekade terakhir, Polri dipompa dengan pola pikir mengggunakan pendekatan angka-angka, berupa penurunan crime total dan peningkatan crime cleared. Padahal kepolisian yang maju selalu mengandalkan keberhasilannya dari kepuasan masyarakat yang diukur melalui penelitian.
Tapi ya sudahlah, sepanjang sejarah memang ruler appointed police, jenis polisi pemerintah seperti Polri, punya kecenderungan merentang jarak dengan masyarakat karena banyaknya kepentingan yang berseberangan.
Kerja kepolisian tidak bisa hanya mengandalkan perangkat digital, sekalipun berteknologi canggih. Kepekaan, kewaspadaan dan kualitas komunikasi aparatur hingga lini terdepan yang secara langsung berhadapan dengan publik harus terus diperkuat dan ditingkatkan dalam batas yang tidak sampai mengganggu kenyamanan warga.
ADVERTISEMENT
Kejahatan terjadi akibat faktor-faktor sosial yang relatif tidak terlalu dikuasai oleh pihak kepolisian. Kebutuhan pencegahan kejahatan perlu dipusatkan kepada faktor-faktor sosial penyebab kejahatan dan bahwa hak asasi serta kebebasan individu merupakan pertimbangan yang esensial dalam kebijakan kepolisian yang demokratis (Friedmann, 1998).
Apabila polisi ingin mencegah kejahatan dengan cara-cara yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka polisi harus bertindak dengan mendasarkan diri pada strategi dan seperangkat taktik yang merupakan tanggapan langsung terhadap berbagai prioritas yang didambakan masyarakat yaitu memerangi ketidaktertiban, pengurangan rasa takut terhadap kejahatan dan peningkatan kualitas hidup daerah.
ADVERTISEMENT
Pengabaian terhadap prioritas masyarakat hanya berarti bahwa polisi bertindak bertentangan dengan informasi terbaik yang dapat diberikan oleh masyarakat. Bila hal ini terjadi, mungkin saja masyarakat akan menarik diri secara fisik dari peranan-peranan saling mendukung dengan sesama warga dan dengan demikian melepaskan kontrol sosial yang dulu mereka bantu dan secara otomatis ikut mempersiapkan pelaksanaannya di lingkungan tempat tinggal mereka.
Memerangi ketidaktertiban, pengurangan rasa takut terhadap kejahatan dan peningkatan kualitas hidup daerah sebagai esensi program pembinaan Kamtibmas dapat dilakukan dengan cara menyertakan variabel rasa takut masyarakat dan ketidaktertiban ke dalam program-program penanggulangan kejahatan, lebih berorientasi pada masalah sosial dan kemasyarakatan dan bukan pembentukan citra atas dasar gebrakan tindakan polisi yang reaktif. Pemahaman yang jauh lebih baik tentang masyarakat dan berbagai kelompok di dalam masyarakat adalah mutlak perlu.
ADVERTISEMENT
Tidak kurang pentingnya, masyarakat secara individu atau kelompok juga harus memiliki inisiatif, tanpa perlu menunggu polisi menelaah dan memperbaiki layanannya. Hal itu juga berarti, dengan semangat pemberdayaan dan rasa memiliki hak mengatur dirinya sendiri, masyarakat lalu memiliki kontrol yang lebih besar terhadap masalah-masalah yang tampak tak bermakna namun sebenarnya merupakan aspek penting dari pemberantasan kejahatan dan peningkatan kualitas hidup.
Prakarsa itu akan menjadi efektif bila aktivitas itu merupakan aktivitas instrumental dan bukan simbolik semata sehingga keterlibatan masyarakat akan tampak berimbang dengan peran kepolisian.
Beberapa tahun lalu, Polri menyebut prakarsa itu sebagai perpolisian berbasis masyarakat alias community policing (COP). Berbagai riset dan studi banding dilakukan baik oleh internal Polri maupun menggandeng sejumlah universitas menyedot dana yang lumayan besar.
ADVERTISEMENT
Sayang penerapannya setengah hati. Kini yang tersisa hanya tagline Polri Mitra Masyarakat, Poskamling berlabel Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) dan Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) binaan Jenderal Dai Bachtiar.
Padahal bila ini terwujud, polisi akan memperoleh wewenang pemeliharaan kamtibmas tidak saja dari hukum pidana dan organisasinya, namun juga dari masyarakat yang mereka amankan. Polisi dan masyarakat secara bersama akan berupaya menentukan suatu ambang batas gangguan ketertiban dan aturan-aturan untuk lingkungan yang akan diberlakukan apabila ambang tersebut dilanggar.
Sementara keterlibatan langsung dari para petugas kepolisian dalam proses ini merupakan kunci yang membantu pengembangan konsensus mengenai perilaku yang cocok dan cukup kuat untuk daerah setempat, agar dapat bertahan bahkan selama polisi tidak ada.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, sistem keamanan yang baik selalu membutuhkan partisipasi masyarakat. Penting bagi Polri untuk menjaga perilaku dan tindakannya agar tidak mencederai hati masyarakat. Agar jangan sampai kehilangan potensi sumber informasi terbaiknya, yaitu masyarakat.
Dirgahayu Polri!