Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
WNI ISIS: Inikah Jalan Menuju Medan Perang Baru?
16 Juli 2017 0:35 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Khairul Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kemarin, viral di berbagai grup media sosial, pemberitaan-pemberitaan terkait banyaknya warga negara Indonesia (WNI) yang tertangkap di Turki. Mereka ditengarai berada di kawasan itu untuk bergabung dengan ISIS. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya konon nomor dua terbesar, setelah Rusia.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan komentar terkait pemberitaan itu mengaku gelisah, cemas, khawatir ini akan berdampak buruk pada situasi di dalam negeri. Apalagi, secara bertahap mereka akan dipulangkan. Apakah ini akan meningkatkan ancaman? Inikah yang akan menghadirkan 'Marawi' di depan rumah kita?
Beberapa waktu lalu, SMRC merilis hasil survei , diantaranya mengungkap soal dukungan warga Indonesia terhadap ISIS. Ini survei kedua, setelah sebelumnya dirilis pada awal 2016.
Jika pada survei sebelumnya yang menolak ISIS berjumlah 89,3 persen, kini meningkat tipis menjadi 89,6 persen. Responden yang tak menjawab memang turun dari 9,9 persen menjadi 7,8 persen. Masalahnya, jika semula perjuangan ISIS hanya disetujui 0,8 persen responden, kini jumlahnya meningkat tiga kali lipat menjadi 2,7 persen!
ADVERTISEMENT
Lalu, jika tak setuju, apakah ISIS harus dilarang di Indonesia? Survei yang lalu mengungkap 95,3 responden menyatakan ISIS tak boleh ada. Tahun ini yang menyatakan ISIS harus dilarang berjumlah 91,3 persen. Sementara itu, responden yang tak menjawab berkurang dari 4,4 persen menjadi 1,2 persen.
Hasil survei itu sebaiknya tak dikonversi ke jumlah penduduk. Nanti heboh seperti tahun kemarin ketika Menhan Ryamizard yang mengkhawatirkan 4,4 persen responden yang tak menyatakan penolakannya secara tegas terhadap ISIS, dikonversi menjadi sedikitnya 8 juta warga. Nah, bayangkan, tahun ini tak kurang dari 7,5 persen dari responden yang menentang perjuangan ISIS justru tegas tak setuju pelarangannya!
***
Lantas, apakah geliat aktivitas ISIS (berdasar klaim) bakal menyebabkan eskalasi potensi ancaman teror di Indonesia bakal meningkat? Bisa jadi. Namun, menurut saya, tak perlu membayangkannya akan seperti yang terjadi di Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
Kekuatan dan kemampuannya di kedua kawasan ini punya perbedaan signifikan. ISIS Asia Tenggara tak benar-benar eksis. Sedangkan pusat komando ISIS di Timur Tengah juga belum pernah mengonfirmasi skema tertentu yang dapat menjadi penanda kehadirannya secara konkrit di Asia Tenggara.
Secara umum, instrumen penindakan kejahatan terorisme dan penegakan hukum atas aktivitas terkait kekerasan ekstrem di kawasan Asia Tenggara, misalnya Indonesia, berjalan cukup baik.
Tak ada kelompok terafiliasi ISIS (juga simpatisan maupun penggemar] di Indonesia yang teridentifikasi mampu menghadirkan serangan terencana dan terorganisir dengan intensitas tinggi, berdaya kejut luar biasa yang tak dapat diprediksi sama sekali.
Lagipula, simpul-simpul kekerasan ekstrem di Asia Tenggara ini sebenarnya bahkan sudah lebih dulu ada -sebagai bentuk perlawanan atas apa yang mereka sebut sebagai perlakuan tak adil, zalim dan jahat terhadap umat Islam- jauh sebelum ISIS eksis di Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
Kalaupun kini mereka berbaiat pada ISIS, itu lebih karena alasan dan ekspektasi yang nyaris serupa dengan dukungan mereka terhadap Mujahidin di Afganistan pada masa lalu. Yaitu meyakini ideologi ISIS cocok bagi mereka (termasuk penggunaan kekerasan dan teror sebagai perangkat aksi), berharap ada transfer pengetahuan dan keterampilan, ada peningkatan kemampuan logistik maupun akses terhadap sarana-prasarana aksi, selain tentu saja peningkatan reputasi kelompok.
Ini adalah sebuah simbiosis mutualisme. Sebab di sisi lain, ISIS dengan segala kelebihan dan kekurangannya, juga butuh reputasi sebagai pengusung daulah Islam yang mengglobal. Tanpa harus memiliki program mobilisasi dan debarkasi yang nyata di luar Timur Tengah.
Memang benar terjadi proses rekrutmen, namun itu lebih sebagai jawaban atas kebutuhan pasokan sumber daya bagi aktivitas mereka di Timur Tengah. Itupun tak sepenuhnya berhasil. Pasokan ternyata lebih banyak datang dari Eropa ketimbang Asia Tenggara khususnya Indonesia. Lagipula para pejuang Indonesia ini selain datang dengan keterbatasan skill, ternyata juga banyak yang disertai oleh keluarga -anak dan isteri- mereka sehingga menjadi beban tersendiri.
ADVERTISEMENT
Namun itu memang bukan berarti mereka tak bermanfaat sama sekali. Sebagian dari yang sedikit itu punya basis pemahaman keagamaan yang memadai, kemampuan 'public speaking' yang cukup dan punya pengalaman mengorganisir kelompok. Mereka lantas dimanfaatkan sebagai ideolog dan agen-agen propaganda. Sebut saja misalnya nama Salim Mubarok Attamimi (Abu Jandal), Bahrumsyah dan Bahrun Naim.
Perangkat komunikasi dan internet membuat mereka bisa menyampaikan pesan-pesannya baik secara terbuka maupun secara langsung dan rahasia pada simpul-simpul mereka di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Filipina Selatan, Thailand Selatan dan Malaysia. Proses penggalangan, penyemaian serta direktif aksi berjalan dan makin berkualitas (makin cepat, makin tertutup) dari ke hari.
Teknologi memang menjadi tantangan. Tapi, meresponnya dengan melarang aplikasi apalah apalah, atau mengawasi secara ketat aktivitas ini itu, tentu saja berdampak pada kenyamanan dan kualitas hidup masyarakat. Selain tentu saja berpotensi mendegradasi kualitas demokrasi kita. Itu secara tidak langsung juga menunjukkan kegagalan kemampuan pencegahan melampaui ancamannya.
ADVERTISEMENT
***
Secara de facto, Kelompok militan MILF, Abu Sayyaf maupun Maute bercokol dan nyaman beraksi di kawasan ini. Mereka kini sudah berbaiat pada ISIS. Ini membuat kepercayaan diri mereka untuk melancarkan operasi penguasaan wilayah bertambah. Meski sejatinya tanpa klaim ISIS sekalipun, potensi ancaman mereka memang sudah besar. Mereka sudah terbiasa melakukan praktik-praktik perampokan, penjarahan dan penyanderaan yang membuat mereka memiliki logistik dan persenjataan yang memadai.
ADVERTISEMENT
Kita bergeser ke Indonesia. Mungkinkah terjadi? Sejauh ini kita tak lagi punya area konflik yang terbuka. Gangguan keamanan dan separatisme memang ada di Papua, namun tentu saja tak ada alasan kuat bagi kelompok bersenjata di Papua untuk bergabung dengan ISIS.
Aceh, daerah dengan basis keagamaan yang kuat dan memiliki catatan separatisme itu juga tak lebih potensial dibanding kawasan lain. Dalam satu dekade ini keamanannya relatif kondusif. Intensitas gangguan keamanan kian mengecil seiring peningkatan kualitas demokrasi dan penegakan hukum di wilayah itu. Lagipula soal partikularisme budaya di daerah itu telah lama tuntas. Masyarakat hanya berharap layanan publik makin berkualitas, praktik buruk birokrasi bisa hilang dan hukum makin tegak.
Poso (Sulawesi Tengah), basis kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang juga telah berbaiat ke ISIS dan ditengarai punya akses dengan kelompok-kelompok di Filipina Selatan, kini juga tak lagi diwarnai gangguan keamanan yang menonjol. Setelah tewasnya Santoso dan tertangkapnya sejumlah tokoh sentral, meski belum dapat dikatakan tamat, nyaris tak ada aktivitas berarti dari personil yang tersisa.
ADVERTISEMENT
Bagaimana di luar tiga daerah dengan perhatian khusus itu? Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa dari sisi penindakan, upaya penanggulangan teror dan kekerasan ekstrem oleh Polri dan BIN dengan dukungan TNI, berjalan cukup efektif terutama di Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara yang selama ini menjadi 'breeder area'.
Kita bisa lihat, meski masih terjadi, intensitas kekerasan ekstrem relatif kecil. Bahkan kualitasnya boleh dikata jauh jika dibandingkan dengan ketika kelompok Jamaah Islamiyah masih benar-benar eksis. Personil relatif kurang terampil, bahan yang digunakan berdaya ledak relatif rendah, persenjataanpun minimalis. Ini menunjukkan akses mereka terhadap logistik dan bahan baku terbatas.
Memang bukan berarti eksistensinya dapat diabaikan sepenuhnya. Proses rekrutmen, propaganda dan indoktrinasi baik langsung maupun tidak langsung terus berjalan. Sejumlah militan senior juga masih belum 'insaf', meyakini kebenaran jalan yang mereka pilih, dan tetap membangun jaringan masing-masing. Mereka berkomunikasi secara intensif, mendiskusikan peluang dan alternatif strategi.
ADVERTISEMENT
Hasilnya adalah rencana-rencana aksi skala kecil, dilakukan oleh perseorangan maupun sel mikro [penggemar, peniru, atau pengikut tak langsung], di area publik, secara simultan dan relatif acak, namun tematik dan teatrikal yang terkoneksi global. Sebagian besar skenario dapat digagalkan, tapi tentu saja selalu ada celah rawan yang potensial luput dari deteksi. Apalagi kini sudah ada inspirasi untuk melakukan serangan yang relatif instan, dengan cara dan sarana yang lebih mudah dan murah untuk dilakukan.
Bom Kampung Melayu, serangan ke kantor dan aparat polisi adalah contoh aktual. Seperti pada kejadian-kejadian sebelumnya yang berbau ISIS di Indonesia, korbannya relatif kecil. Di antara mereka adalah pelaku itu sendiri, unsur terdepan kepolisian dalam pemeliharaan ketertiban umum, dan sejumlah kecil warga yang kebetulan berada di lokasi.
ADVERTISEMENT
***
Menengok kembali survei SMRC, hasil yang disajikan justru merupakan bantahan telak bahwa deradikalisasi, ideologisasi, pun program bela negara adalah resep jitu menghadang ISIS dan sejenisnya. Alih-alih menguatkan penolakan, apa daya data berbicara lain.
Apa yang kita lihat dalam aksi-aksi teror ini mirip yang dikatakan oleh Jenderal Moshe Dayan, "teror lebih mendekati bencana alam ketimbang perang konvensional. Banyak unsur yang sama antara serangan teroris dengan bencana alam: korban tewas dan terluka, infrastruktur yang rusak atau hancur; ketidakpastian tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya, orang-orang melarikan diri dengan panik atau terburu-buru ke tempat kejadian untuk membantu, kebutuhan mendesak bagi pekerja penyelamat, ambulans, rute transportasi ke rumah sakit, dan liputan media yang intens yang dapat mengganggu operasi penyelamatan atau memberikan tekanan otoritas yang berwenang."
ADVERTISEMENT
Menurutnya, perencanaan atas berbagai kemungkinan, pembentukan rantai komando dan komunikasi jaringan, stok persediaan darurat, pelatihan pada responden pertama, dan strategi untuk menangani para korban, keluarga mereka, dan media dapat diatur terlebih dahulu. Pendekatan “seluruh risiko” tersebut bisa menghasilkan efektivitas dan efisiensi. Mirip skema mitigasi terhadap bencana alam.
Lalu, apakah kita tetap patut khawatir atas ancaman ekstremisme ISIS? Menduga bahwa Indonesia bisa menjadi medan perang terbuka seperti di Timur Tengah itu terlalu jauh.
Kita hanya perlu sadar bahwa kewaspadaan dini, identifikasi ancaman, penyiapan daya tahan dan memperbaiki kelemahan perangkat perundang-undangan yang mengatur upaya pemberantasan kejahatan terorisme secara konstruktif itu penting. Sama pentingnya dengan menyeru agar negara serius menegakkan keadilan, menghapus kesenjangan sosial dan memastikan bibit kebencian kiri-kanan tak ditebar.
ADVERTISEMENT
Pemerintah harus hati-hati dalam menangani ancaman kekerasan ekstrem ini. Jangan terprovokasi gagasan melakukan tindakan represif yang diskriminatif atau tindakan yang terlalu ketat agar tidak mengalienasi masyarakatnya.
Masyarakat sipil mestinya juga menunjukkan dukungannya pada upaya negara mengatasi potensi ancaman ini dengan menjaga agar tindakan pemerintah tetap berada dalam koridor hukum dan HAM, apa yang oleh sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan sesuatu yang legitimate.
Media juga harus menjaga agar tidak terjadi eskalasi kecemasan yang dapat membantu teroris mencapai tujuannya mendisorientasi masyarakat. Selain itu, media harus menjaga pemberitaannya agar tidak terjadi glorifikasi terhadap serangan kekerasan ekstrem, selama pemerintah bekerja dengan baik menghadirkan keadilan dan kemakmuran di seantero negeri.