Konten dari Pengguna

Fenomena Guru Badut: Antara Kreativitas dan Tuntutan Media Sosial

Khairul Ikhsan
Mahasiswa Pendidikan Profesi Guru di Universitas Muhammadiyah Mataram
2 Januari 2025 9:22 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Ikhsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang guru dengan pakaian badut yang sedang mengajar di kelas (Sumber : via AI)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang guru dengan pakaian badut yang sedang mengajar di kelas (Sumber : via AI)
ADVERTISEMENT
Fenomena "guru badut" belakangan menjadi sorotan di dunia pendidikan Indonesia. Istilah ini merujuk pada guru yang berusaha membuat pembelajaran menjadi sangat menyenangkan dengan gaya yang kreatif, lucu, dan penuh aksi, mirip seperti seorang badut yang bertujuan menghibur audiensnya. Semua ini bermula dari asumsi bahwa pembelajaran harus menyenangkan, terlebih lagi sejak kebijakan Merdeka Belajar yang digagas Kementerian Pendidikan. Kebijakan Merdeka Belajar membawa semangat untuk memberikan ruang lebih luas bagi guru dan siswa dalam mengeksplorasi proses belajar. Namun, di balik itu, muncul tuntutan tidak tertulis agar pembelajaran tidak hanya efektif, tetapi juga menghibur. Guru tidak hanya diharapkan mampu mendidik di dalam kelas, tetapi juga menjadi inspirasi di ruang publik melalui media sosial seperti TikTok, YouTube, dan Instagram. Kini, tidak sulit menemukan konten media sosial yang menampilkan guru dengan gaya mengajar yang unik, seperti menari, menyanyi, atau bahkan memainkan peran tertentu untuk menarik perhatian siswa. Video-video tersebut sering kali viral dan mendapatkan apresiasi dari warganet. Sayangnya, tidak semua guru merasa nyaman dengan tren ini. Sebagian guru merasa bahwa mereka terpaksa mengikuti arus agar tidak dianggap ketinggalan zaman. Bagi mereka, menjadi kreatif di dalam kelas sudah cukup menantang, apalagi jika harus mendokumentasikan kegiatan tersebut dengan kualitas konten yang menarik untuk media sosial. Tidak dapat dipungkiri, pendekatan pembelajaran yang menyenangkan memiliki banyak manfaat. Guru yang kreatif dapat meningkatkan antusiasme siswa, membantu mereka lebih mudah memahami materi, dan menciptakan suasana kelas yang inklusif. Media sosial pun menjadi alat efektif untuk menyebarkan metode pengajaran yang inovatif ke khalayak luas. Namun, ada sisi lain yang patut diperhatikan. Fenomena ini dapat mengaburkan esensi pendidikan itu sendiri. Fokus berlebihan pada hiburan dapat menyebabkan substansi pembelajaran menjadi terabaikan. Guru juga rentan menghadapi tekanan psikologis untuk selalu tampil sempurna di hadapan publik, yang berpotensi menurunkan kualitas pengajaran mereka. Untuk menjawab fenomena ini, penting bagi para guru untuk menemukan keseimbangan antara edukasi dan hiburan. Menjadikan pembelajaran menyenangkan bukan berarti harus selalu menjadi pusat perhatian di media sosial. Sebaliknya, konten yang dihasilkan sebaiknya tetap berfokus pada nilai edukatif dan tidak semata-mata mengejar popularitas.
ADVERTISEMENT
Pihak sekolah dan pemerintah juga memiliki peran penting dalam mendukung guru. Pelatihan yang relevan, penghargaan terhadap metode pengajaran yang bermakna, serta ruang dialog untuk berbagi pengalaman tanpa tekanan adalah langkah yang dapat diambil.
Fenomena guru badut mencerminkan transformasi dunia pendidikan yang berusaha mengikuti perkembangan zaman, terutama di era digital. Namun, diperlukan keseimbangan agar kreativitas tidak mengorbankan substansi pembelajaran. Guru, institusi pendidikan, dan masyarakat perlu bersinergi untuk menjaga esensi pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter dan kompetensi siswa, tanpa terjebak dalam tuntutan hiburan semata.