Judicial Restraint Dan Judicial Activism Dalam Sengketa PHPU Mahkamah Konstitusi

Khairul Ikmam
Mahasiswa Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD)
Konten dari Pengguna
9 April 2024 8:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Ikmam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sedari awal kita sudah mengetahui bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung yang keduanya bersifat independen. Memeriksa dan memutus perkara PHPU merupakan salah satu kewenangan MK daripada sekian kewenangannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah di Indonesia hasil Pemilu dapat diuji dalam lembaga yudisial (MK) yakni pada bulan april 2004 lalu. Ihwal ini menjadi langkah progresif yang diambil MK kala itu, serta menjadi cerminan pada hakim MK periode selanjutnya dalam memberikan putusan yang bersubstansi keadilan dan sekiranya tidak menimbulkan kekosongan hukum.
Khairul Ikmam
Oleh karena itu, betapa sangat pentingnya kemudian untuk mengkaji konsep PHPU, apalagi pada arus hari ini kita sedang menyaksikan sengketa nyata PHPU di Mahkamah Konstitusi Indonesia. maka setidaknya penulis dalam tulisannya ini akan mengukir rapi gambaran PHPU jika dilihat dalam perspektif judicial restraint dan judicial activism
ADVERTISEMENT
Pemilu dan PHPU
Pemilihan Umum (Pemilu) sebenarnya merupakan salah satu titik inti daripada demokrasi. Pemilu diselenggarakan guna memilih Presiden dan Wakilnya, Anggota DPR, DPD serta DPRD sebagaimana yang terdapat pada Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945. Perselisihan dalam Pemilu ini menyangkut penetapan Hasil Pemilu yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi berhasil tidaknya Capres dan Cawapres serta Caleg dalam mendapatkan kursi. Iwal itu terjadi karena sangat memungkinkan bahwa penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU keliru atau tidak benar, baik itu disengaja atau tidak.
Khairul Ikmam
PHPU tersebut dapat diselesaikan melalui MK namun jika terkait dengan pengawasan pelaksanaan Pemilunya sejak awal itu dilakukan oleh Bawaslu selaku lembaga yang memiliki tugas untuk kemudian mengawasi Pemilu dan memeriksa serta memutus perkara jika terdapat pelanggaran yang terjadi dalam proses Pemilu. Namun menjadi pertanyaan mendasar bagi kita, apakah kemudian MK berwenang memutus sengketa yang berkaitan dengan proses Pemilu?.
ADVERTISEMENT
Judicial Restraint dan Judicial Activism
Dalam perspektif judicial restraint, MK hanya dapat memutus sengketa PHPU saja, tidak dengan proses Pemilu. Sederhananya judicial restraint ingin menyatakan bahwa hakim tidak boleh melangkahi undang-undang dalam menggunakan kewenangannya, jika tertulis demikian dalam undang-undang maka begitulah hukumnya. Makanya kemudian, dalam perkara PHPU MK hanya berwenang memutus hasil penghitungan suara.
Setidaknya dalam permohonan PHPU dapat mengajukan dua hal pokok yakni:
Pemohon harus memberikan alat bukti dan melakukan pembuktian bahwa KPU salah atau keliru dalam melakukan penghitungan suara dan dalam hal ini pemohon meminta agar penghitungan suara sebelumnya dibatalkan dan menetapkan penghitungan suara menurut pemohon. Ihwal ini terdapat padal Pasal 75 UU MK.
ADVERTISEMENT
Perspektif ini sebenarnya yang sering kali dipakai di Indonesia karena negara kita menaruh kepastian hukum menjadi hal yang utama. Oleh karenanya, hakim MK dalam memutus perkara PHPU tidak boleh kemudian menggunakan kewenangannya untuk memutus permohonan yang orientasi substasinya terkait dengan proses Pemilu dengan alasan menjaga kepastian hukum dan menghindari pemberontakan atas hukum.
Namun ada kalanya seorang hakim memutus perkara melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya atas reason guna mencapai keadilan yang substansial dan tidak hanya mengejar kepastian hukumnya. Dalam posisi inilah yang disebut sebagai judicial activism, hakim diberikan keleluasaan dalam memutus perkara asalkan tidak keluar dari nilai keadilan. Akan tetapi dalam perkembangannya, judicial activism sering kali banyak menuai kritik, karena sangat tidak elok kemudian hakim diberikan kewenangan tak terbatas yang ujungnya pada suatu saat nanti kemudian membawa kita kepada situasi di mana hakim menjadi diktator utama dalam negara.
ADVERTISEMENT
Lantaran demikian, satu kesimpulan yang dapat penulis berikan adalah bahwa adakalanya Hakim MK harus keluar dari kolamnya yang sudah kotor guna mendapatkan kolam yang lebih jernih dan bagus. Istilah ini digunakan penulis guna mengilustrasikan bahwa hakim MK tidak boleh kemudian berlama-lama dalam menjaga hukum yang kumuh dan bergerak lebih jauh dari kebiasaan tersebut guna menemukan keadilan substansial yang seharusnya.