Langkah Solutif Dalam Problematika Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi

Khairul Ikmam
Mahasiswa Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD)
Konten dari Pengguna
26 Februari 2024 16:56 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Ikmam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mahkamah Konstitusi
Terbentuknya mahkamah konstitusi sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman secara wewenang ia mengemban tugas khusus, yakni menguji keserasian antara norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi yang dalam pengimplementasiannya menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 serta putusannya yang bersifat final. Perihal ini terdapat pada Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-­undang terhadap Undang­-Undang Dasar….”.
Khairul Ikmam
Pengujian undang-undang tersebut dapat dilakukan dalam pengujian formal dan secara materiil. Pengujian secara formal yakni pengujian terhadap proses pembentukan undang-undangnya sesuai tidak dengan yang seharusnya. Sehingga kemudian, jika terdapat kesalahan dalam hal prosedur pembentukannya maka Mahkamah Konstitusi akan memutusnya sebagai cacat formal. Sedangkan pengujian materiil, yakni pengujian terhadap substansi atau isi pasal serta ayat yang terdapat dalam undang-undang terkait, dalam hal dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka Mahkamah Konstitusi akan memutusnya sebagai cacat materiil. Ihwal ini dilakukan untuk memberikan jaminan bahwa undang-undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Problematika Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi
Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dibagi menjadi 2 yakni, pertama putusan yang bersifat (self-executing) yang dapat berlaku secara efektif sejak diucapkan tanpa harus ditindaklanjuti untuk dibuat perubahan baru dalam undang-undang (UU) terkait. Kedua, putusan yang bersifat (self-implementing) yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu agar dapat dilaksanakan secara komprehensif. Oleh sebab itu, pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat (self-implementing) membutuhkan tindak lanjut oleh lembaga diluar Mahkamah Konstitusi sehingga tidak mudah untuk diimplementasikan. Ihwal ini didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) huruf d dan ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi penulis mengamati pembedaan ini justru menciptakan masalah baru, yakni menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal itu dikarenakan ketika Mahkamah Konstitusi memutus perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) bisa saja akan berubah, entah undang-undang tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum tetap atau masih berlaku masih harus dilakukan tindak lanjut guna merubah undang-undang yang telah Mahkamah Konstitusi putus tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena jika pembedaan itu terus berlanjut, maka lembaga yang memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi akan seenaknya tidak melakukannya dengan alasan putusan tersebut dapat langsung berlaku meskipun tidak ditindaklanjuti.
Jika kemudian tidak segera ditindaklanjuti maka hal ini akan menimbulkan dilema bagi masyarakat awam untuk menemukan mana hukum yang seharusnya berlaku. Contoh sederhananya, dalam UU terkait dinyatakan A sedangkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan B, sehingga kemudian berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
ADVERTISEMENT
Namun, selain daripada problem diatas yang menjadi persoalan utama dalam tulisan ini juga adalah putusan MK yang kemudian marak tidak ditindaklanjuti. Misalnya saja Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yang mencabut ketentuan Pasal 263 ayat (3) UU No. 8/1981 tentang KUHAP yang diabaikan oleh Mahkamah Agung RI dengan diterbitkannya SEMA No. 7/2014 tentang Pembatasan Peninjauan Kembali. Contoh lainnya adalah Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang pada pokoknya menysaratkan anggota DPD tidak boleh dari pengurus (fungsionaris) Partai Politik. Akan tetapi, Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 65 P/HUM/2018 seolah mengabaikan putusan MK tersebut.
Ketidakpatuhan dan pengabaian lembaga negara tersebut dalam melaksakan dan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi kini menjadi persoalan serius. Persoalan ini kemudian akan membawa dampak yang sangat luas, selain akan mengancam supremasi konstitusi dan prinsip negara hukum, juga akan menimbulkan masalah serius lainnya seperti lembaga-lembaga tersebut akan menormalisasi tindakan yang demikian sehingga berpotensi terjadinya pembangkangan terhadap konstitusi. Oleh karena itu dalam posisi ini, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga paling lemah yang mudah dilangkahi begitu saja oleh lembaga lainnya padahal eksistensinya adalah sebagai pengawal konstitusi.
ADVERTISEMENT
Sebuah Langkah Solutif Menghadapi Dilema
Dalam hemat penulis yang menjadi kausa dalam timbulnya permasalahan yang timbul dari putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dipatuhi atau tidak ditindaklanjuti yakni terjadi dalam 2 sebab yakni, pertama karena masih terdapat pembedaan terhadap putusan mana yang bisa dilaksanakan secara langsung tanpa ditindaklanjuti dan putusan yang harus ditindaklanjuti terlebih dahulu sebelum dilaksanakan. Kedua, karena Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai perangkat untuk menjadi eksekutor dan pengawas yang memaksakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut untuk segera ditindaklanjuti. Sehingga kemudian berdampak terhadap terjadinya pembangkangan atas konstitusi oleh lembaga terkait, dengan sangat mudahnya melangkahi Mahkamah Konstitusi yang eksistensinya sebagai pengawal konstitusi.
Maka dari itu, penulis mengamati dengan cermat terhadap permasalahan tersebut dan yang akan timbul kemudian, bahwa sudah barang tentu menjadi bahan petimbangan kuat untuk menghilangkan pembedaan atas putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat (self-executing) dan putusan yang bersifat (self-implementing) guna memberikan kesamaan kepada setiap putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan Pengujian Undang-Undang untuk segera ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
ADVERTISEMENT
Serta penulis juga menawarkan betapa sangat pentingnya adanya lembaga eksekutorial putusan Mahkamah Konstitusi sebagai perangkat eksekutor dan pengawas yang dapat memaksakan putusan Mahkamah Konstitusi segera ditindaklanjuti oleh lembaga yang bersangkutan. Kedua hal tersebut kemudian menjadi sangat fundamental untuk dipertimbangkan guna mencegah ketidakpastian hukum, kekosongan hukum dan terjadinya dilema yang mengakibatkan masyarakat kebingungan dalam menemukan hukum.
Dasar Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Sumber
Mahfud, M. (2009). Konstitusi dan hukum dalam kontroversi isu/Prof. Dr, Moh. Mahfud MD.
Martitah. (2013). Mahkamah Konstitusi, dari negative legislature ke positive legislature?. Konstitusi Press.
Wijaya, R. (2023). Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945. IJOLARES: Indonesian Journal of Law Research, 1(1), 23-27.
ADVERTISEMENT
Sulistyowati, T., Nasef, M. I., & Rido, A. Constitutional Compliance atas Putusan Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi 0leh Adressat Putusan Constitutional Compliance on the.
Putusan
Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013
Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018