Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Masalah Putusan MK dan MA Perihal Judicial Review Batas Usia Cagub dan Cawagub
22 Agustus 2024 8:15 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Khairul Ikmam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) pada dasarnya merupakan bagian dari lembaga kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka sebagaimana yang sudah diterangkan dengan jelas dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK). Kedua lembaga a quo pula berkedudukan sama tinggi dan memiliki kewenangan yang sama sekali berbeda. Namun, kedua lembaga a quo memiliki 1 (satu) kesamaan utama yang menjadi pembahasan pada tulisan ini, yakni Pengujian Undang-Undang (PUU). Sedikit perbedaannya adalah bahwa MK menguji Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sedangkan MA menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah UU terhadap UU.
Diatas merupakan naskah pembuka untuk pembaca guna memahami lebih lanjut isi tulisan ini. Selanjutnya masalah putusan MK dan MA yang dimaksud adalah adanya putusan MA dan MK tentang 1 (satu) substansi pembahasan yang sama akan tetapi hasil akhir pandangannya yang berbeda, yakni terkait batas usia calon kepala daerah di mana sebelumnya MA menguji Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 Pasal 4 ayat (1) dengan putusan nomor 24 P/HUM/2024, mengubah syarat usia calon kepala daerah dari yang sebelumnya berusia 30 tahun sejak penetapan calon menjadi dihitung saat pelantikan calon terpilih. Sedangkan putusan MK dengan putusan nomor 70/PUU-XXII/2024 menetapkam syarat usia cagub dan cawagub berusia 30 tahun saat penetapan calon. Lantaran demikian, putusan yang dihasilkan dari kedua lembaga a quo berbeda dan penulis memandang bahwa lahir sebuah masalah ketatanegaraan, putusan manakah yang seharusnya diikuti? Putusan MA ataukah Putusan MK?
ADVERTISEMENT
Mengurai Kedudukan Hukum Putusan MK dan MA Perihal Judicial Review
Tindakan apa yang selayaknya diambil ketika ada pertentangan antara putusan MK dengan putusan MA? Penulis sengaja memulai sub bab ini dengan pertanyaan sederhana, guna memantik lebih jauh tulisan ini. Jawabannya amat sederhana, jika terjadi situasi yang demikian maka paling bijaksana kita dasarkan pada validitas norma dan hierarki norma sehingga ditemukan rasionalisasi putusan mana yang akan akan diikuti. Sederhananya validitas norma merupakan doktrin yang menjelaskan mengenai kekuatan mengikat suatu norma, apa syarat yang harus dipenuhi agar norma hukum dianggap sah dan dapat dijalankan kepada masyarakat. Sedangkan hierarki norma pada dasarnya adalah sebuah tangga bertingkat sebagai pengukur tingkat kekuatan peraturan perundang-undangan.
Validitas dan hierarki norma sejatinya saling melengkapi dan atas dasar tersebut kemudian penulis menarik kesimpulan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menjadi dasar dalam menentukan validitas dari peraturan perundang-undangan yang lebih rendah serta peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah hasil dari lembaga yang berwenang. Lalu apa hubungannya dengan putusan MK dan putusan MA? Sebut saja paragraf awal sebagai obrolan pembuka penulis guna mangajak pembaca memahami kunci dari tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Sudah diketahui bersama bahwa pada dasarnya MK menguji UU terhadap UUD 1945 sedangkan MA menguji Peraturan Perundang-Undangan dibawah UU terhadap UU. Lebih jelasnya akan penulis rinci, MA menguji Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 Pasal 4 ayat (1) dengan putusan nomor 24 P/HUM/2024. Sedangkan MK menguji UU Pilkada secara langsung dengan putusan nomor 70/PUU-XXII/2024. Lantaran demikian dapat dilihat objek judicial review oleh MK dan MA adalah sama sekali berbeda, MK menguji UU sedang MA menguji peraturan dibawah UU.
Jika diuraikan secara hierarki UU tentu lebih tinggi daripada PKPU, sehingga validitas norma hukumnya lebih kuat dan dapat dijalankan. Oleh karena itu, penulis memandang dengan mempertimbangkan fakta diatas bahwa putusan MK lebih kuat dibanding putusan MA khususnya terkait dengan judicial review, didasarkan pada alasan bahwa norma yang diuji oleh MK dan MA hierarki normanya lebih tinggi UU dibanding PKPU. Perihal ini sesuai dengan asas yang berbunyi lex superior derogat lege inferior bahwa UU yang lebih tinggi mengesampingkan UU yang lebih rendah kedudukannya. Menelaah kesimpulan diatas, kemudian memberikan titik temu bahwa kedudukan hukum putusan MK lebih kuat dibanding putusan MA dalam ihwal judicial review meskipun pada dasarnya sama-sama bersifat final dana mengikat.
ADVERTISEMENT
Adanya pertentangan antara putusan MK dengan putusan MA pada dasarnya adalah satu hal yang sangat memungkinkan dan berpeluang besar terjadi, lantaran keduanya memiliki kewenangan judicial review meskipun dengan objek yang berbeda. Oleh karena itu, dalam perkembangannya kemudian perihal pertentangan putusan MK dengan putusan MA ini akan menjadi masalah yang mengakar, sehingga akan berimplikasi buruk dikemudian hari. Pemisahan kewenangan pengujian antara MA dan MK sebagaimana yang berlaku saat ini tidaklah ideal karena dapat menimbulkan permasalahan. Sebab akan selalu ada kaitan antara UU dan peraturan dibawahnya, oleh sebab itu tidaklah ideal apabila ada dua institusi peradilan yang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan.
Mengikuti Putusan yang Mana?
Menimbang, dengan menelaah argumentasi hukum pada sub bab sebelumnya penulis berpandangan bahwasanya putusan yang seharusnya diikuti adalah putusan MK lantaran validitas dan hierarki norma yang diuji lebih tinggi kedudukannya dibanding validitas dan hierarki norma yang diuji oleh MA, yakni MK menguji UU sedang MA menguji PKPU. Setidaknya penulis kemudian sudah mengajak pembaca berlarian ditulisan ini untuk mengejar jawaban dari apakah kiranya yang akan dijawab dari sebuah judul yang berbunyi “masalah putusan MK dan MA perihal judicial review”. Selanjutnya, pembaca dapat mempunyai pandangannya sendiri dan mengawali segala keresahan yang dirasakan dengan sebuah pertanyaan selayaknya judul pada sub bab terakhir ini. Terakhir, sebagai pesan singkat dari penulis, kini negara kita berada diambang batas sandiwara para bangsawan di kursi lembaga, oleh karenanya mari berpikir dan mencari solusi bersama.
ADVERTISEMENT