Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mendesak KPU Melaksanakan Putusan MK
23 Agustus 2024 14:52 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Khairul Ikmam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengapa KPU harus didesak? Kepada pembaca yang budiman penulis ingin berpesan bahwa titik balik tulisan ini bermuara pada pertanyaan ini. Sejujurnya di samping DPR yang digugat, KPU pula wajib didesak guna melaksanakan putusan MK.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, masalahnya, KPU enggan untuk melaksanakan putusan MK lantaran KPU dihadapkan pada situasi di mana mereka harus menentukan apakah akan mengikuti putusan MK atau putusan MA. Apalagi kemudian DPR sedang berusaha merevisi UU Pilkada khususnya pasal yang telah diputus oleh MK dan MA. Oleh sebab itu, KPU menjadi sangat sulit menentukan langkah yang akan diambil karena dihimpit oleh lembaga-lembaga tinggi negara.
Untuk menjawab masalah-masalah diatas penulis akan menguraikan alasan-alasan mengapa kemudian KPU harus didesak untuk melaksanakan putusan MK serta membantu KPU keluar dari sempitnya dihimpit oleh lembaga-lembaga tinggi negara. Pembaca diharapkan memperhatikan sedetail mungkin masalah, pertanyaan, jawaban, kesimpulan dan alasan yang diuraikan oleh penulis.
Pertentangan Putusan MK, Putusan MA dan Revisi UU Pilkada oleh DPR Perihal Batas Usia Cagub & Cawagub
Putusan MK yang krusial dibahas dan menjadi masalah pada sub bab ini yakni, putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia cagub dan cawagub bahwa harus berusia 30 sejak penetapan calon. Adapun putusan ini secara tidak langsung mengoreksi putusan MA Nomor 4/P/HUM/2024 sebelumnya yang menyatakan bahwa usia cagub dan cawagub harus berusia 30 saat pelantikan calon.
ADVERTISEMENT
Jika ditanya putusan mana yang harus diikuti oleh KPU, jelas penulis akan menjawab bahwa yang seharusnya diikuti oleh KPU adalah putusan MK lantaran ia menguji UU sebagai induk dari PKPU yang diuji oleh MA, lantaran sesungguhnya peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi di atasnya.
Ihwal ini sebelumnya telah dibahas dalam tulisan sebelumnya, namun sebagai tambahan Dr.Zainal Arifin Mochtar di satu kesempatan diskusi menyatakan bahwa masalah judicial review MK sesungguhnya adalah masalah konstitusionalitas sedangkan MA merupakan masalah hierarkisitas. Maksudnya, MK adalah penafsir final konstitusi untuk menguji konstitusional UU apakah ia bertentangan atau tidak dengan UUD 1945 sedangkan MA hanyalah menguji peraturan yang di bawah UU secara hierarki terhadap UU.
ADVERTISEMENT
Alasan lainnya bahwa ketika kita bicara syarat pencalonan maka seharusnya dihitung saat penetapan calon bukan pelantikan calon. Sehingga amat jelas, bahwa sesungguhnya putusan MK yang harus diikuti oleh KPU perihal judicial review khususnya masalah pertentangan putusan MK dan MA di atas.
Namun, timbul masalah lain yakni adanya revisi UU Pilkada oleh DPR yang sangat tiba-tiba. Pembahasan yang sentral pada revisi UU Pilkada tersebut yakni, seakan DPR tidak menghiraukan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 dan lebih memilih mengikuti putusan MA Nomor 4/P/HUM/2024 bahwa usia cagub dan cawagub harus berusia 30 saat pelantikan calon.
Ihwal ini melahirkan rasa marah dan geram dari masyarakat sehingga tanggal 22 Agustus 2024 kemarin demonstrasi dilakukan agar DPR kemudian menghentikan rapat paripurna revisi UU Pilkada. Karena jelas publik melihat bahwa kebijakan DPR untuk merevisi UU Pilkada secara tiba-tiba jelas “ada udang dibalik batu”.
ADVERTISEMENT
Masyarakat berpandangan bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh DPR guna memberikan tiket khusus pada Kaesang Pangarep untuk menjadi calon gubernur. Demikianlah faktanya dan tidak bisa kita tutup dan buang begitu saja.
Lantaran demikian, melihat masalah diatas tentu menimbulkan pertanyaan sederhana yakni, apa tindakan yang sebaiknya diambil oleh KPU, melaksanakan putusan MK dan meninggalkan putusan MA atau menunggu Revisi UU Pilkada selesai dan mengikutinya? Ihwal ini akan dijawab pada sub bab akhir, silahkan dinikmati masalah selanjutnya.
Masalah Putusan MK dan Revisi UU Pilkada Oleh DPR Perihal Ambang Batas Pencalonan
Putusan MK yang krusial dibahas dan menjadi masalah pada sub bab ini yakni, putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan bagi partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilihan kepala daerah. Dalam putusan ini menetapkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan calon kepala daerah meskipun tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), asalkan memenuhi persyaratan persentase yang dihitung dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Syarat partai politik dan gabungan partai politik dapat mengusung paslon yang memperoleh suara sah dari 6,5% hingga 10% dengan tergantung pada jumlah pemilih tetap di provinsi itu.
ADVERTISEMENT
Putusan ini diharapkan dapat memberikan kesempatan lebih luas bagi partai politik untuk berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah, terutama bagi mereka yang mungkin tidak memiliki representasi di DPRD tetapi memiliki dukungan suara yang signifikan dalam pemilihan umum sebelumnya. Akan tetapi, timbul masalah lain yakni dengan adanya Revisi UU Pilkada dimana keputusan Badan Legislatif (Baleg) DPR justru tetap mempertahankan ambang batas 20% kursi DPRD atau 25% suara sah bagi partai politik yang memiliki kursi di DPRD. Sementara partai politik yang tak punya kursi di DPRD disyaratkan seperti yang diputuskan oleh MK.
Penulis beranggapan bahwa sesungguhnya DPR ingin mengakali agar tercipta calon tunggal, lantaran jika syarat ambang batas tetap seperti biasanya PDIP tidak akan bisa mengusulkan calon karena ia tidak punya 20% kursi di DPRD. Oleh sebab itu, MK menegaskan bahwa putusan MK tersebut sejatinya untuk menghindari berjalannya demokrasi yang tidak sehat karena threshold versi UU Pilkada rentan memunculkan calon tunggal. Pertanyaan lebih lanjutnya, KPU harus mengikuti yang mana, putusan MK ataukah menunggu revisi UU Pilkada selesai dan mengikutinya?. Selanjutnya akan dibahas pada sub bab yang akan datang, silahkan dinikmati terlebih dahulu masalahnya.
Mengapa KPU Harus Didesak?
Penulis sudah mengatakan di depan bahwa sesungguhnya titik balik tulisan ini akan kembali pada pertanyaan ini. Esensinya 2 (dua) sub bab sebelumnya merupakan dua pertanyaan krusial pada sub bab ini. Pertama, Perihal batas usia cagub dan cawagub, KPU memilih yang mana, melaksanakan putusan MK dan meninggalkan putusan MA atau menunggu Revisi UU Pilkada selesai dan mengikutinya? Kedua, Perihal threshold KPU harus mengikuti yang mana, melaksanakan putusan MK ataukah menunggu revisi UU Pilkada selesai dan mengikutinya?
ADVERTISEMENT
Tentu dua pertanyaan ini menjadi sangat penting untuk dijawab guna memberikan alasan yang tepat kenapa kemudian KPU harus didesak untuk melaksanakan putusan MK. Pertama, Perihal batas usia cagub dan cawagub penulis menyimpulkan bahwa KPU seharusnya memilih mengikuti putusan MK. Ada tiga alasan yang mendasari kesimpulan ini yakni, Alasan pertama, sesungguhnya judicial review oleh MK adalah masalah Konstitusionalitas (bertentangan atau tidak UU dengan UUD) sedangkan MK merupakan masalah Hierarkisitas (bertentang atau tidak ia dengan peraturan yang lebih tinggi, dalam hal ini putusan MA perihal PKPU terhadap UU). Sehingga kedudukan putusan MK tentu lebih tinggi dibanding putusan MA.
Alasan kedua, bahwa putusan MK bersifat final, mengikat, erga omnes dan sel executing. Maksud final dan mengikat bahwa putusan MK itu sudah langsung berlaku sejak selesai diucapkan dan dibacakan putusannya oleh hakim. Sifat erga omnes adalah bahwa putusan MK berlaku terhadap seluruh pihak tidak hanya pada pemohon yang mengajukan permohonan. Sedangkan, self executing yaitu, bahwa putusan MK dapat diberlakukan secara langsung sejak selesai dibacakan putusannya oleh hakim tanpa menunggu ditindaklanjuti.
ADVERTISEMENT
Alasan ketiga, dengan memperhatikan alasan kedua putusan MK tidak usah menunggu revisi UU Pilkada oleh DPR. Sehingga daripada itu KPU sebaiknya melaksanakan putusan MK dan tidak menunggu hasil revisi UU oleh DPR guna menegakkan kepastian hukum yang lebih kuat.
Demikianlah jawaban penulis untuk menjawab pertanyaan pertama.
Kedua, Perihal Threshold penulis menyimpulkan bahwa KPU seharusnya memilih untuk melaksanakan putusan MK dibanding menunggu revisi UU Pilkada oleh DPR. Ada dua alasan yang mendasari kesimpulan ini yakni, Alasan pertama, bahwa putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 merupakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum final, mengikat, erga omnes dan self executing. Sehingga lebih memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dibandingkan dengan revisi UU Pilkada yang masih belum terlaksana, apalagi DPR dilihat terburu-buru sehingga dikhawatirkan substansinya sama sekali tidak mendukung keadilan bagi seluruh pihak serta menghindari ketidakpastian hukum yang timbul apabila menunggu revisi UU Pilkada.
ADVERTISEMENT
Alasan kedua, bahwa putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 merupakan putusan yang membawa angin segar yang memberikan kelonggaran terhadap partai politik lantaran diturunkannya ambang batas pencalonan kepala daerah. Perihal ini di satu sisi, dapat meminimalisir terjadinya kotak kosong. Sedangkan di sisi lain putusan ini pula dapat mengurangi dominasi partai besar serta dapat memberikan kesempatan yang lebih besar kepada partai-partai kecil untuk berpartisipasi dalam pencalonan kepala daerah. Lantaran demikian, penulis berharap putusan ini dapat memberikan kesempatan yang lebih luas bagi para calon pemimpin daerah di masa depan.
Demikianlah jawaban penulis untuk menjawab pertanyaan kedua.
Selanjutnya, mari kita kembali bertanya mengapa KPU harus didesak untuk melaksanakan putusan MK? Jawaban penulis sederhana, dua pertanyaan di ataslah yang kemudian melahirkan alasan-alasan mengapa KPU harus didesak untuk melaksanakan putusan MK. Jika lupa silakan dibaca dan diteliti kembali. Terakhir, adagium hukum yang mendukung kesimpulan penulis adalah berbunyi “res judicata pro vritate habetur” bahwa sesungguhnya apa yang telah diputuskan oleh hakim dianggap sebagai kebenaran.
ADVERTISEMENT