Partai Politik Darurat Kaderisasi

Khairul Ikmam
Mahasiswa Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD)
Konten dari Pengguna
25 Februari 2024 13:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Ikmam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Carl J. Friedrich memberikan definisi partai politik menjadi sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintah bagi partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil. Sedangkan penulis mendefinisikan partai politik sebagai suatu kelompok manusia yang tersusun rapi dan stabil yang mempunyai kesamaan kehendak, persamaan ideologi, cita-cita serta selalu berusaha untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan untuk kemudian mewujudkan alternatif kebijakan yang telah disusun secara bersama-sama.
Khairul Ikmam
Partai Politik sesungguhnya merupakan pilar daripada demokrasi, berkembangnya demokrasi membawa partai politik kepada fungsi dan peranannya yang semakin kompleks. Ihwal ini diakibatkan persoalan-persoalan demokrasi yang sedang berkembang sehingga peranan partai politik semakin membesar. Salah satu fungsi dan peranan daripada partai politik yang semakin kompleks yakni berkaitan dengan kaderisasi terhadap anggota partai politik.
ADVERTISEMENT
Kaderisasi seharusnya menjadi hal yang fundamental harus diimplementasikan secara masif oleh partai politik kepada anggotanya. Namun, realitas empiris tampak memperlihatkan sebaliknya di mana proses kaderisasi tidak terlalu diperhatikan, yang penting memiliki ketenaran, popularitas dan menjual gimmick saja untuk mencalonkan diri dalam pemilu. Lantaran demikian, tulisan ini akan mendeklarasikan tentang partai politik hari ini yang darurat kaderisasi.
Darurat Kaderisasi
Tak sedikit permasalahan menjadi pertimbangan hingga kemudian membawa kepada kesimpulan bahwa partai politik hari ini telah darurat kaderisasi. Kegagalan partai politik dalam memberikan kaderisasi menjadi persoalan yang sangat serius. Persoalan ini menjadi problem jangka panjang jika tidak serius di evaluasi, karena sekecil apapun hama jika selalu dibebaskan akan merusak tanaman juga. Eksistensi dan harga diri partai politik dalam hal ini dipertaruhkan.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada 3 alasan utama kenapa kemudian penulis mendeklarasikan partai politik telah mengalami darurat kaderisasi. Yakni pertama, Fenomena partai politik yang menggaet artis populer dan dicalonkan dalam pemilu legislatif. Penulis tidak menafikan bahwa artis juga memiliki kemampuan serta kapasitas menjadi politikus, akan tetapi fakta dilapangan menunjukkan bahwa masih terdapat seorang artis yang tidak mempunyai kapasitas mumpuni namun dicalonkan. Pengamat politik melihat keputusan partai politik masih dilandasi nafsu untuk mendongkrak kursi parlemen, melewati jalan pintas dengan menjual kepopuleran sang artis daripada kadernya yang tak dikenal padahal memiliki kapasitas. Seharusnya partai politik tidak boleh menukar kebijaksanaannya dengan nafsu belaka.
Kedua, Fenomena narapidana korupsi yang dicalonkan lagi oleh partai politik. Dikutip dalam (katadata.com) Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat 49 mantan narapidana korupsi yang masuk ke Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu 2024. Jumlah tersebut terdiri dari 22 narapidana yang menjadi caleg DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota dan 27 narapidana menjadi caleg DPR tingkat pusat. Dalam hal ini timbul pertanyaan sederhana, sebenarnya bagaimana partai politik melihat seorang narapidana korupsi yang ingin mencalonkan diri lagi dalam partainya?
ADVERTISEMENT
Meskipun penulis tidak menafikan bahwa narapidana korupsi secara yuridis memang dapat mencalonkan diri lagi, akan tetapi dengan melihat bahwa Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) seharusnya hal ini sudah menjadi dasar pertimbangan yang kuat kepada partai politik untuk memilah kembali kadernya yang akan berkontestasi dalam Pemilu. Karena sangat memungkinkan hal yang sama akan dilakukannya lagi di kemudian hari. Sejatinya, ular akan menjilat kembali mangsa yang sebelumnya telah lepas darinya.
Ketiga, Fenomena yang paling “aneh” dari kedua fenomena sebelumnya adalah pengangkatan ketua umum (ketum) Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang terlihat sangat tidak wajar. Bagaimana tidak, Kaesang menjadi ketum PSI dalam masa tiga (3) hari setelah ia masuk PSI. Fenomena ini sangat membingungkan masyarakat serta menimbulkan pertanyaan sederhana, “Bagaimana sebenarnya sistem kaderisasi partai politik, sehingga hal demikian bisa terjadi?”. Keputusan PSI tersebut sangat memanifestasikan kegagalan mekanisme kaderisasi partai politik serta menjadi teladan yang buruk bagi generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, keputusan PSI tersebut telah berhasil melahirkan politikus instan. Penulis khawatir hal ini menjadi bencana, di mana politikus instan yang dihasilkan bergerak dengan insting pragmatis yang bekerja demi kepentingan kelompok saja. Melihat persoalan ini seakan mengilustrasikan sebuah palang kayu yang telah dimakan rayap dan menjadi rapuh.
Fenomena parpol yang menggaet artis populer dan dicalonkan dalam pemilu, mantan napi koruptor yang dicalonkan kembali oleh parpol serta ketua partai instan yang dihasilkan partai politik kemudian menjadi bukti yang kuat untuk mendeklarasikan bahwa pada hari ini partai politik telah mengalami darurat kaderisasi.