Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Peta Hak Angket dalam Mengusut Kecurangan Pemilu, Apakah Salah Alamat?
6 Maret 2024 11:48 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Khairul Ikmam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini hak angket DPR menjadi perbincangan publik yang cukup serius, ihwal ini dideklarasikan oleh paslon ketiga Ganjar Pranowo yang disambut baik oleh paslon satu Anies Baswedan guna mengusut dugaan kecurangan pemilu. Namun, apakah tepat kiranya kemudian hak angket digunakan sebagai alat untuk menangani kecurangan pemilu?
ADVERTISEMENT
Sebab jika kita lihat yang mempunyai kewenangan dalam memutus sengketa pemilu secara mekanisme adalah bawaslu serta Mahkamah Konstitusi jika ingin mengusut kecurangan dalam hasil pemilu.
Lantaran demikian, timbul pertanyaan sederhana yang akan sekaligus menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini, yakni pertama bagaimana peta historis daripada hak angket? Kedua, bagaimana peta yuridis penggunaan hak angket? dan Ketiga, ke mana alamat DPR dalam menggunakan hak angket?
Peta Historis Hak Angket
Secara historis, mula-mula hak angket menjadi bagian daripada pelaksanaan pengawasan oleh parlemen terhadap pemerintah (eksekutif). Hak angket pertama kali digunakan di parlemen Inggris tahun 1367 yang ditujukan untuk menjatuhkan sanksi dalam pemecatan terhadap pejabat pemerintah.
Ada pula yang menyatakan versi yang berbeda bahwa hak angket berkembang di Inggris pasca Glorious Revolution (1688) yang ditandai dengan runtuhnya kekuasaan monarki absolut Inggris. Sehingga secara evolutif melahirkan praktik pemerintahan yang harus bertanggung jawab sebagai dasar pemerintahan parlementer Inggris, ihwal ini dikenal sebagai mosi tidak percaya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di Indonesia pertama kali muncul pada Pasal 120-121 Konstitusi RIS. Kemudian saat memasuki fase UUDS 1950 Pasal 70 yang memberikan hak secara konstitusional untuk melakukan penyelidikan (angket) kepada pemerintah, yang intinya berbunyi bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete)…”.
Kilas balik sejarah hak angket tersebut kemudian dapat membawa kita kepada dua kesimpulan, yakni pertama bahwa hak angket menjadi kontrol DPR terhadap eksekutif. Karena pada prinsipnya hak angket menjadi pintu masuk DPR untuk menggulingkan rezim.
Kedua, tidak ada satupun klausul yang menjadi indikator eksplisit maupun implisit bahwa hak angket dapat dialamatkan kepada lembaga yudisial maupun lembaga-lembaga negara independen. Relevan dengan pernyataan Mahfud MD bahwa pada dasarnya hak angket hanya ditujukan kepada eksekutif.
ADVERTISEMENT
Peta Yuridis Hak Angket
Hak angket menjadi bagian daripada fungsi pengawasan DPR yang orientasinya mengarah kepada penyelidikan atas pelaksanaan suatu undang-undang, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3.
Ketentuan pada Pasal tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan alternatif-kumulatif yang terdapat tiga makna: (1) Pelaksanaan suatu undang-undang saja. (2) Pelaksanaan suatu kebijakan saja. (3) pelaksanaan undang-undang dan kebijakan sekaligus.
Namun selain itu, ada kondisi khusus yang juga harus turut dipenuhi, yakni harus berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan berbangsa dan bernegara serta terdapat unsur pertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menyebutkan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian. Namun, penjelasan ini tidak menjelaskan siapa sebenarnya yang dimaksud pemerintah, melainkan siapa yang melaksanakan undang-undang/kebijakan pemerintah.
Dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3 hanya disebut apa yang menjadi objek daripada hak angket dan tidak mengemukakan siapa subjek hak angketnya. Akan tetapi, subjeknya dinyatakan secara eksplisit dalam penjelasan pasalnya yang terdiri dari: (1) Presiden dan/atau Wakil Presiden; (2) Menteri negara; (3) Panglima TNI; (4) Kapolri; (5) Jaksa Agung; dan (6) Pimpinan lembaga non-kementerian;
ADVERTISEMENT
Alamat Penggunaan Hak Angket DPR
Sejatinya hak angket tidak bisa lepas alamatnya dengan lembaga eksekutif, karena sudah sejak dahulu hak angket dialamatkan untuk meminta pertanggungjawaban serta menggulirkan pemerintahan. Pun dalam perkembangan demokrasi di indonesia tak hanya lembaga eksekutif saja yang menjadi alamat daripada hak angket DPR.
Namun juga mengalami pelebaran dengan dimuatnya Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung serta Pimpinan Lembaga Non Kementerian yang tidak bisa disebutkan satu persatu selaku pelaksana undang-undang serta pelaksana kebijakan pemerintah yang menjadi subjek dan alamat oleh hak angket DPR.
Salah Alamat?
Hemat penulis, jika hak angket pengusutan kecurangan pemilu dialamatkan kepada KPU serta Bawaslu karena notabenenya mempunyai tugas dalam menjaga menyelenggarakan Pemilu yang bersih, jujur dan adil. Maka sasaran yang dituju dalam hak angketnya akan salah alamat. Ihwal ini disebabkan lantaran akan bertentangan dengan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya di atas berkaitan dengan subjek hak angket.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan sederhananya, kenapa tidak diajukan keberatan ke Bawaslu saja selaku badan yang mengawasi proses pemilu? Jika penulis tebak alasannya adalah Bawaslu dianggap tidak mampu untuk kemudian mengawasi serta menindak tegas kecurangan pemilu.
Namun jika pihak terkait masih kekeh dengan tujuannya menggunakan hak angket, maka konsekuensi terbesar yang harus diterima adalah hak angket tersebut hanya akan menjadi tong kosong yang nyaring dibunyikan. Ihwal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Mahfud MD bahwa hak angket bisa saja diajukan ke DPR, namun tidak akan mengubah hasil pemilu.
Lantaran demikian, hak angket sebagai hak sentral yang dimiliki DPR tidak bisa digunakan sebagai alat politik yang justru disalahgunakan apalagi melampaui kewenangan yang telah diberikan. Kini sudah seharusnya kemudian secara seluruh elemen bersama-sama menjaga demokrasi agar tidak menjadi pohon yang kehilangan daunnya akibat dimakan perlahan oleh hama.
ADVERTISEMENT