Konten dari Pengguna

Sifat Final Putusan Mahkamah Konstitusi: Semulia Apa Hakim MK

Khairul Ikmam
Mahasiswa Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD)
21 Februari 2024 6:04 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Ikmam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Khairul Ikmam
zoom-in-whitePerbesar
Khairul Ikmam
ADVERTISEMENT
Sekilas Tentang Mahkamah Konstitusi
Terbentuknya mahkamah konstitusi sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman secara wewenang ia mengemban tugas khusus, yakni menguji keserasian antara norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi yang dalam pengimplementasiannya menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perihal ini terdapat pada Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum , lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara , dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Meskipun pada dasarnya sama-sama pemegang kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung dan Mahkamah sebagai lembaga negara yang disematkan status “merdeka” memiliki kewenangan yang berbeda dan tidak dapat hubungan hierarki di antara keduanya.
ADVERTISEMENT
Bagi negara indonesia, MK sebagai lembaga negara dan pelaksana kekuasaan kehakiman bukanlah gagasan baru, karena kemudian gagasan mengenai fungsi pengujian dan penafsir konstitusi sudah ada sejak indonesia belum merdeka. Dimulai dari masa Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang pada saat itu Muhammad Yamin sudah memberikan usul mekanisme dalam menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Namun usulan ini ditolak oleh soepomo dengan dua alasan, yang pertama yakni, UUD 1945 tidak dibangun berdasarkan teori pemisahan kekuasaan Trias Politica dan yang kedua jumlah sarjana hukum pada masa awal kemerdekaan masih belum cukup untuk menjalankan undang-undang.
Namun, sehubung dengan urgensi wewenang pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar serta perlunya pengadilan konstitusional di indonesia usulan daripada Yamin mulai menguat pada masa Sidang Konstituante periode 20 Mei – 13 Juni 1957. Dengan seiring berjalannya waktu gagasan Muhammad Yamin mulai tertampung dalam berbagai produk hukum sekalipun wewenangnya belum merupakan Judicial Review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, seperti wewenang bagi Mahkamah Agung menguji secara materiil Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
Jika melihat risalah perubahan UUD NRI 1945, Perihal pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar perubahan ketiga UUD NRI 1945 sudah menghasilkan desain resmi kekuasaan kehakiman yang termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum”. Akan tetapi sekalipun desain peraturan pada tataran konstitusi telah selesai, secara institusional Mahkamah Konstitusi belum terbentuk. Bahkan setelah perubahan keempat Undang-Undang Dasar masih tidak menunjukkan perkembangan berarti, hingga kemudian hasil kesepakatan oleh MPR muncullah Pasal III Aturan Peralihan UUD NRI 1945 memberikan batasan yang jelas bahwa Mahkamah Konstitusi harus dibentuk sebelum 17 Agustus 1945. Oleh karena itu pada tanggal 13 Agustus 1945 dengan disahkannya Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Sifat Final Putusan MK
Masalah utama dalam tulisan ini adalah berkenaan dengan sifat final putusan Mahkamah Konstitusi, dalam artian setiap putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan final dan mengikat sejak selesai diucapkan dalam persidangan oleh Hakim Konstitusi yang dinyatakan terbuka untuk umum. Perihal ini tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Pun perihal ini juga terdapat pada Pasal 29 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang dalam penjelasan pasalnya dinyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final berarti ia langsung memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh meskipun pada akhirnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dianggap kontroversial pada kenyataannya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, Peter Gerangelos menegaskan bahwa putusan yang bersifat final tersebut berarti sudah tidak ada lagi mekanisme lebih lanjut untuk banding terhadap perkara yang telah diselesaikan oleh hakim dalam pengadilan tertinggi dalam hierarki sistem peradilan. Hal ini relevan dengan apa yang dikemukakan oleh Dr. Rahmat Muhajir bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan satu-satunya yang berdiri langsung berada di pusat dan tidak ada hierarkinya, oleh karena itulah kemudian kenapa putusan MK bersifat final.
Kekurangan fatal dari konsep ini adalah jika kemudian nanti ada putusan yang dianggap kontroversial, tetap saja putusan tersebut tidak bisa diganggu gugat dengan alasan bahwa putusan MK bersifat final. Katakanlah putusan MK yang baru-baru ini booming, yakni mengenai putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, uji materi mengenai Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tentang batas minimal usia Capres danCcawapres yang kini menjadi putusan yang sangat kontroversial didukung dengan diberikannya sanksi kepada semua hakim konstitusi dan diturunkannya Anwar Usman dari kedudukannya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi karena telah melanggar kode etik. Namun tetap saja putusan yang telah diputus oleh hakim yang telah melanggar kode etik tersebut masih dengan sifatnya yang tidak bisa digugat atau diajukan upaya hukum karena bersifat final.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, menjadi pertanyaan bagi kita semua bahwa semulia apa hakim MK sehingga kemudian putusannya bersifat final serta tidak bisa diganggu gugat?
Semulia Apa Hakim Mk?
Setelah melihat kasus di atas wajar saja kita curiga dan marah. Andaikan sebuah putusan terbukti mengandung suap dan permainan, namun tetap saja fakta tersebut tidak dapat mengubah sifat final dalam putusan tersebut bahwa putusan yang telah diputus oleh hakim MK tidak bisa diganggu gugat. Ketentuan ini, bagi MK seolah menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar kata Bernard L. Tanya dalam bukunya “Moralitas Hukum”.
Hal inilah yang dikatakan Bernard sebagai cara berhukum yang tanpa idealisme tentang keadilan. Jika MK memang mendasari konsep sifat putusannya sebagai sesuatu yang bersifat final tersebut didasari dengan keadilan kenapa kemudian tidak memposisikan ketentuan final tersebut sebagai sebuah kewajiban prima facie, yakni kewajiban sementara yang bisa dijatuhkan oleh kewajiban lain yang lebih tinggi nilai dan validitasnya. Dalam artian ia bisa dikatakan sebagai sebuah keputusan yang final jika memang nyata-nyata putusan MK tersebut bersih dari faktor eksternal yang berkaitan dengan suap, unsur keluarga dan semacamnya. Namun jika sebaliknya, maka sudah seharusnya putusan MK tersebut terbuka untuk dikoreksi nilai dan validitasnya.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi pertanyaan adalah, semulia apa hakim MK sehingga putusannya bersifat final?. Jika kita lihat secara empiris sudah ada beberapa kasus yang menimpa hakim MK, yakni ketua MK, Ali Mochtar yang terkena kasus suap, hakim konstitusi Patrialis yang terkena kasus korupsi dan yang booming hari-hari ini adalah ketua MK, Anwar Usman yang diduga bermain keluarga di Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang kontroversial serta hakim-hakim lain yang terkena sanksi kode etik.
Jika kemudian kita lihat fakta tersebut, beberapa dari mereka bergerak atas kepentingan diri sendiri. Dengan kenyataan tersebut, tidak relevan jika kita mengatakan bahwa hakim mahkamah konstitusi itu mulia sehingga putusannya bersifat final. Oleh karena itu yang menjadi problem yang harus dibedah dan diperbaiki adalah mengenai regulasi tentang putusan MK yang bersifat final, karena telah membuka pintu gerbang kesewenang-wenangan oleh hakim konstitusi. Sejatinya kata Lord Acton kekuasaan itu cenderung sewenang-wenang, maka dari itu kekuasaan absolut akan menghasilkan kesewenang-wenangan yang absolut pula. Jika diibaratkan, meskipun seseorang itu awalnya sangat bersih dari godaan macan, namun ketika ia sudah masuk ke kandang macan maka ia juga akan menjadi macan tidak lama kemudian.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada pertimbangan lebih lanjut oleh pemerintah menyikapi hal seperti ini. Salam Demokrasi