Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Antara Komitmen dan Tantangan dalam Perubahan Aturan PPKS di Kampus
12 November 2024 9:02 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Khairunnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual di lingkungan kampus merupakan isu serius yang terus menjadi perhatian di Indonesia. Ini bukan hanya masalah individual, tetapi juga mencerminkan ketidaksiapan sistem pendidikan tinggi dalam menciptakan lingkungan yang aman. Di tengah upaya reformasi pendidikan, kampus yang seharusnya menjadi ruang aman bagi mahasiswa justru menjadi tempat lahirnya korban-korban kekerasan seksual. Hadirnya Satgas PPKS (Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) di perguruan tinggi yang terdiri dari unsur dosen, tendik, dan mahasiswa menunjukkan bahwa kampus yang dikenal sebagai lingkungan intelektual dan terdidik pun masih bisa menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual sehingga keterwakilan semua unsur dibutuhkan dalam Satgas PPKS. Padahal, perguruan tinggi seharusnya menjadi ruang aman untuk berkembang. Laporan Komnas Perempuan mencatat bahwa sekitar 35% dari total kasus kekerasan seksual di ruang pendidikan terjadi di perguruan tinggi. Selanjutnya, menurut data yang diperoleh Komnas Perempuan dengan mitra Satgas PPKS melalui survei yang diisi oleh 661 kampus, diperoleh data yang terkumpul sekitar 1.133 kasus dan 94 persennya korbannya adalah perempuan, dengan banyaknya laporan yang mencakup pelecehan seksual dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan, seperti dosen atau senior terhadap mahasiswa
ADVERTISEMENT
Perubahan aturan terkait pencegahan kekerasan seksual melalui Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 menunjukkan niat pemerintah untuk lebih serius menangani masalah ini. Namun, meskipun langkah-langkah tersebut penting, masih banyak tantangan dalam implementasinya di tingkat kampus, terutama di perguruan tinggi yang belum sepenuhnya siap menghadapi masalah ini. Oleh karena itu, penciptaan lingkungan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual membutuhkan kerja sama antara pemerintah, perguruan tinggi, dan seluruh civitas akademika.
Pada bulan Oktober 2024, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memperkenalkan Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 sebagai pembaruan atas aturan sebelumnya, yaitu Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Peraturan baru ini bertujuan untuk memperkuat upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus, sekaligus memastikan bahwa perguruan tinggi menjadi ruang yang aman bagi seluruh civitas akademika. Perubahan aturan ini menunjukkan keseriusan dan komitmen yang kuat dari Kemendikbudristek untuk membantu menangani permasalahan dan kebingungan yang sering melanda Tim Satgas PPKS di perguruan tinggi. Sebab, Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 yang menggantikan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 mengalami perluasan cakupan yang signifikan. Jika peraturan sebelumnya fokus pada kekerasan seksual, aturan terbaru ini memperluas lingkup penanganan ke semua bentuk kekerasan, termasuk kekerasan fisik dan emosional. Perubahan ini juga mencakup panduan yang lebih rinci terkait prosedur pelaporan, perlindungan data, dan partisipasi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Permendikbudristek No. 55 menambah perlindungan bagi penyandang disabilitas dan pengaturan anggaran yang lebih jelas untuk pendanaan kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan. Peraturan baru ini menekankan pentingnya transparansi dalam penanganan kasus, perlindungan bagi pelapor, dan layanan pendampingan bagi korban, terlapor, dan saksi, baik dalam kasus yang terbukti maupun yang tidak. Singkatnya, lingkup perlindungan dalam Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 kini mencakup enam jenis kekerasan, yaitu fisik, psikis, seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi.
Dengan adanya aturan baru ini, pencegahan dan penanganan kekerasan seksual tentu memiliki daya yang jauh lebih besar. Perubahan cakupan kekerasan dan lingkup perlindungan yang lebih luas memungkinkan penanganan yang lebih komprehensif bagi berbagai bentuk kekerasan sehingga lingkungan kampus lebih aman dan inklusif untuk seluruh civitas akademika. Aturan baru juga memperhatikan perlindungan hak dan privasi yang lebih kuat, termasuk pada perlindungan tambahan bagi penyandang disabilitas yang menunjukkan sensitivitas yang lebih besar terhadap kebutuhan semua kalangan. Selain itu, pendanaan yang lebih jelas karena perguruan tinggi hari ini wajib untuk mengalokasikan anggaran khusus bagi operasional Satuan Tugas PPKS, honorarium anggota Satgas, dan biaya kegiatan lain. Hal ini sebelumnya menjadi catatan yang sangat besar. Sebagai contoh, Satgas PPKS di UNAND ataupun beberapa kampus lainnya membutuhkan beberapa kali pelaksanaan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) untuk menyelesaikan satu kasus. Tentu pelaksanaan tersebut membutuhkan akomodasi bagi anggota yang dituntut untuk menjalankan banyak peran, terkadang dituntut seperti hakim, psikolog, dokter, detektif, dll. Dengan pendanaan yang memadai, pelaksanaan program pencegahan kekerasan dapat menjadi lebih berkelanjutan dan efektif. Terakhir, kelebihan aturan PPKS terbaru adalah pengelolaan data dan evaluasi yang lebih terpadu, sebab penanganan kekerasan di lingkungan kampus harus dengan sistem informasi terintegrasi agar dapat meningkatkan transparansi dan akurasi data, serta evaluasi yang lebih efektif dan berkelanjutan untuk perbaikan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Meskipun memiliki banyak kelebihan yang menjadi solusi untuk peningkatan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus, aturan baru juga memiliki tantangan lama yang tidak boleh dilupakan. Perguruan tinggi mungkin menghadapi tantangan dalam memenuhi persyaratan pengelolaan data karena infrastruktur atau sumber daya manusia yang terbatas. Terutama bagi kampus kecil atau yang berlokasi di daerah terpencil, hal ini bisa menghambat efektivitas aturan tersebut. Sumber daya manusia yang terbatas tentu selanjutnya juga menjadi tantangan dalam membentuk satgas yang memadai. Aturan baru yang menetapkan standar jumlah minimal anggota Satgas bisa menjadi kendala bagi perguruan tinggi yang belum siap secara sumber daya atau anggaran. Hal ini terutama berlaku untuk perguruan tinggi yang mungkin masih beradaptasi dengan kebijakan baru. Tidak perlu jauh-jauh melihat contohnya dari kampus di daerah terpencil, kita bisa melihat bagaimana permasalahan yang pernah terjadi pada Satgas PPKS UI. Pada tanggal 24 Juli 2023, Satgas PPKS UI pernah mengeluarkan pernyataan secara resmi melakukan penghentian penerimaan laporan kasus kekerasan seksual karena tidak adanya dukungan dan tanggung jawab dari universitas dalam penyediaan sumber daya yang memadai untuk langkah nyata dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di UI. Pemberhentian penerimaan laporan tersebut berlangsung selama sebulan lebih.
ADVERTISEMENT
Kekurangan lainnya juga bisa muncul dari tuntutan proses pelaporan dan penanganan kasus yang lebih komprehensif, sebab hal ini juga dapat memperlambat tindakan di lapangan. Bagi korban, kompleksitas prosedur kadang dapat menjadi hambatan dalam memperoleh perlindungan cepat. Dalam situasi mendesak, birokrasi ini perlu dievaluasi agar tidak menghalangi keadilan. Terlebih lagi, Satgas PPKS harus bekerja dengan prinsip “Kepentingan Terbaik Bagi Korban”. Memberikan hal yang dibutuhkan korban dengan cepat dan tepat adalah hal yang utama.
Langkah-langkah yang diambil pemerintah dan perguruan tinggi untuk menangani kekerasan seksual di kampus sudah semakin jelas dan solusi yang diberikan semakin tegas, tetapi masih banyak tantangan yang harus siap dihadapi. Perubahan regulasi seperti Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 memberikan harapan bagi terciptanya kampus yang lebih aman. Namun, implementasi kebijakan ini memerlukan keterlibatan semua pihak, jumlah anggota Satgas PPKS di kampus yang sangat terbatas tentunya membutuhkan dukungan dari pimpinan kampus hingga mahasiswa untuk memastikan bahwa pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dapat berjalan efektif. Pendidikan yang lebih baik mengenai hak-hak korban serta sistem pelaporan yang mudah dan aman harus menjadi prioritas untuk menciptakan lingkungan kampus yang tidak hanya mendukung akademik, tetapi juga menghargai keamanan, kenyamanan, dan martabat setiap individu. Terkadang ada yang lebih penting dari menurunkan angka kasus kekerasan seksual, yaitu menyelesaikan kasus yang masuk dan dipercayakan kepada Satgas PPKS. Dalam hal ini, kenyamanan dan keamanan anggota Satgas PPKS juga harus menjadi perhatian bagi pimpinan kampus karena anggota Satgas yang bertugas juga rentan mengalami burn out disebakan tuntutan dan tekanan yang besar.
ADVERTISEMENT