Konten dari Pengguna

Mahasiswa Turun ke Jalan, Masih Perlukah di Zaman Sekarang?

Khairunnisa
Mahasiswa S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas - Satgas PPKS Unand - Menteri PP BEM KM Unand - Koor. FP BEM se Sumbar
31 Oktober 2024 23:20 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairunnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aksi mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM se Sumbar di depan Kantor DPRD Sumbar untuk mengawal Putusan MK (26/08/24) (Dokumentasi pribadi penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM se Sumbar di depan Kantor DPRD Sumbar untuk mengawal Putusan MK (26/08/24) (Dokumentasi pribadi penulis)
ADVERTISEMENT
Mahasiswa turun ke jalan, berkumpul di suatu tempat, biasanya di kantor pusat pemerintahan tempat duduknya petinggi negeri atau tempat strategis untuk mengumpulkan atensi, dilengkapi teriakan orasi penuh aspirasi masihlah hal yang familier saat ini. Beragam reaksi dan komentar juga tidak kalah mengiringi, seperti “Kuliah saja yang benar, Dek! Tidak usah teriak-teriak seperti itu! Mereka yang membuat kebijakan di sana tentu sudah berpengalaman dan lebih paham daripada kalian. Mengerti soal apa kalian? Mengganggu jalan! Macet! Toh, rakyat juga tidak peduli! Kalau hanya goyang-goyang pagar, tak akan berhasil aksi kalian. Brutal sedikit lah! Mau berhasil ya lihat bagaimana aktivis 98!”.
ADVERTISEMENT
Aksi yang dilakukan mahasiswa tak jarang dipandang sebelah mata. Tidak hanya itu, demonstrasi yang dilakukan kerap dianggap mengganggu aktivitas masyarakat, sebab pada akhirnya dampak lain turut mengikuti, seperti terjadinya kemacetan dan padatnya lalu lintas. Lantas, apakah masih relevan apabila mahasiswa turun ke jalan? Di era digital, bukankah harusnya cukup dengan memaksimalkan teknologi yang ada? Apabila yang sedang diperjuangkan adalah nasib rakyat ke depan akibat dampak dari kebijakan yang tidak berpihak, masih bisakah aksi tersebut diandalkan apabila terkadang dampak dari aksi turun ke jalan itu juga ikut dikeluhkan dan dipermasalahkan?
Terdapat sebuah kutipan menarik dari buku Bungkam Suara karya JS. Khairen yang juga merupakan putra dari Ranah Minang, bunyinya “Jutaan tangan dan kaki yang sibuk mencari makan adalah jutaan kepala yang tak kan sempat berpikir dan jutaan mulut yang tak bisa bicara”. Kalimat itu cukup menjawab mengapa kita tak sepatutnya menyalahkan masyarakat saat mereka berang terhadap aksi yang dilakukan, saat komentar dan pernyataan justru tidak mendukung dan menguatkan, terlebih tidak semua kebijakan tidak pro rakyat yang bisa langsung dilihat dan dirasakan, beberapa butuh waktu yang lama agar maksud mahasiswa berdiri bersama melakukan aksi dapat dipahami. Sebenarnya, bukan karena masyarakat tidak benar-benar peduli, tetapi banyak hal yang sudah cukup menyita energi setiap hari, lebih prioritas karena ada keluarga yang harus dinafkahi, ada kebutuhan yang harus dicukupi. Pun beberapa komentar lainnya, seperti aksi harus seperti aktivis reformasi 98 tidak dapat dibandingkan dengan aksi yang dilakukan saat sekarang, sebab aksi 1998 juga merupakan puncak dari serangkaian puluhan aksi yang lebih dulu dilakukan. Dalam kegiatan Menakar Indonesia yang diselenggarakan oleh BEM KM UNAND pada bulan April lalu, salah seorang narasumber berkata, “Aksi reformasi 1998 bukanlah segalanya, tetapi adalah awal untuk gerakan selanjutnya”. Gerakan tersebut memberikan pelajaran berharga pada generasi setelahnya.
ADVERTISEMENT
Nyatanya, tak dapat dipungkiri bahwa suara-suara yang digaungkan oleh mahasiswa memiliki nilai dan kekuatan sendiri. Kita lihat bagaimana peran penting mahasiswa dalam merawat demokrasi di negeri ini beberapa waktu lalu saat tenggelamnya kapal konsititusi. Bagaimana lantangnya mahasiswa mengawal kebijakan dan isu-isu yang terjadi. Berkaca dari kebijakan naiknya UKT yang dasarnya mengacu pada satu aturan resmi yang dikeluarkan Kemendikbud, tepatnya tertera dalam Permendikbud No. 25 Tahun 2020. Mahasiswa dari berbagai kampus serentak berkonsolidasi dan melakukan aksi penolakan, menaikkan dan menghangatkan isu tersebut ke sosial media organisasi kampus masing-masing hingga perwakilan beberapa kampus yang tergabung Aliansi BEM se-Indonesia @bem_si turut menemui Komisi X DPR RI menyampaikan keluhan dan aspirasi berujung potongan video tersebut berhasil menarik banyak atensi dan memenuhi sosial media menyebar ke seluruh penjuru negeri ini. Akhirnya, Mendikbud dipanggil dan dicecar anggota DPR. Hasilnya, kebijakan tersebut tok dibatalkan meskipun kebijakan naiknya UKT yang disampaikan Mendikbudristek melalui Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) bisa kembali berlaku pada 2025. Mungkin terdengar bahwa ini kemenangan sementara, tetapi bayangkan saja jika mahasiswa sebagai lokomotor perubahan memilih diam sedari awal. Mungkin saja, tahun depan kebijakan yang dikeluarkan jauh lebih mengagetkan jika tidak di counter sejak awal.
ADVERTISEMENT
Jadi, apakah pergerakan mahasiswa masih relevan? Jawabannya, selama kita belum bisa menjamin bahwa pengambil kebijakan tidak akan bertindak sewenang-wenang maka mahasiswa turun ke jalan masihlah relevan. Bukankah sudah ada media sosial saat ini yang bisa jadi opsi? Benar, adanya media sosial justru membantu mengintegrasikan dan menyatukan kekuatan untuk melakukan aksi. Melalui media sosial, ajakan konsolidasi dan seruan aksi dapat lebih masif dilakukan. Media sosial juga dapat menjawab pertanyaan masyarakat yang mungkin bingung kenapa mahasiswa ramai di jalan? Apa gerangan? Maka, poin tuntutan masih bisa tersampaikan kepada publik meski tidak seluruhnya melihat di lapangan.
Apakah aksi mahasiswa masih bisa diandalkan? Tentu. Salah satu buktinya adalah mengenai kebijakan naiknya UKT sebelumnya yang sudah dijelaskan. Yang perlu menjadi catatan dan perbaikan untuk mahasiswa yang turun ke jalan adalah bagaimana tujuan aksi yang dilakukan dapat menyelami sumber masalah yang lebih struktural sehingga tujuan dari pergerakan akhirnya tidak bersifat reaktif dan jangka pendek, tetapi harusnya antisipatif dan berkelanjutan. Selain itu, perlu ada yang namanya reorientasi demonstrasi agar energi yang sudah terkuras begitu besar dapat lebih diinvestasikan untuk pergerakan yang lebih berkelanjutan dan tetap mempertontonkan intelektualitas. Masyarakat menilai apa yang tampak sehingga jangan sampai aksi dilakukan secara anarkis yang berujung ditentang oleh masyarakat sendiri. Ibarat sebelum berperang, kita harus menyadari apakah peran yang kita hadapi adalah perang besar atau perang kecil? Atau kalau kita sedang mengikuti lomba lari pastikan apakah ini marathon atau sprint? Mahasiswa sebagai kaum berpendidikan harusnya membawa senjata intelektual yang lengkap, bukan dengan isu minim data dan tak jelas kajian akademisnya. Dengan memahami itu, selanjutnya akan berpengaruh terhadap persiapan kekuatan fisik, akomodasi, dan jumlah pasukan yang dibutuhkan. Terakhir, jangan jadikan aksi demonstrasi sebagai pemenuh hormon kebahagiaan melalui kebutuhan eksistensi, tetapi lihat esensi, jangan jadi ajang memamerkan identitas kelompok bahwa kita sudah berkontribusi. Akan tetapi, lihat kembali bahwa kita semua di sini untuk memecahkan persoalan dan menyampaikan keresahan yang terjadi.
ADVERTISEMENT