Film Budi Pekerti: Bukti Media Punya Kekuatan Besar

Khairunnisa Mukinin
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
4 Desember 2023 10:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairunnisa Mukinin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Poster film Budi Pekerti. Sumber: Instagram Budi Pekerti
Film “Budi Pekerti” menjadi bahan perbincangan hangat sejak awal kemunculannya di world premiere dalam festival film bergengsi Toronto International Film Festival 2023 di Kanada pada 9 September. Bahkan, hal yang membuat saya semakin tertarik untuk menonton film ini karena banjirnya tepuk tangan dari para sineas Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Budi Pekerti" merupakan film arahan Wregas Bhanuteja yang membahas dampak cancel culture dan media sosial terhadap kehidupan Bu Prani, seorang konselor bimbingan legendaris di sebuah sekolah menengah pertama di Yogyakarta. Film ini mendapat pujian karena sinematografinya, alur cerita yang menarik, dan penampilan luar biasa para pemerannya, termasuk Sha Ine Febriyanti, Dwi Sasono, Prilly Latuconsina, dan Angga Yunanda. Kemampuan Wregas dalam mengemas film dengan menciptakan narasi yang personal namun universal juga layak diacungi jempol.
Premis ceritanya sederhana namun relevan. Dimulai dari viralnya video berdurasi 20 detik yang memperlihatkan Bu Prani mengumpat di depan pelanggan saat mengantri pembelian kue putu menjadi isu besar dan menimbulkan kontroversi bagi keluarga, sekolah dan murid-muridnya, bahkan pada kelompok senam di kampungnya. Masyarakat mempermasalahkan seorang guru bimbingan konseling mengumpat “Asu i” kepada penjual yang sudah tua. Padahal, Bu Prani tidak mengumpat seperti yang masyarakat lihat pada potongan video. Yang justru ia katakan, yakni “Ah Suwi”, yang mana dalam bahasa jawa memiliki arti “Ah lama”.
Salah satu scene Budi Pekerti. Sumber: Rekata Studio/Kaninga Pictures via IMDbBaca
Aji mumpung, media massa memanfaatkan perilaku Bu Prani untuk mencari cuan. Tidak peduli meskipun harus menyebarkan disinformasi dan misinformasi. Media massa jelas mengetahui konten yang provokatif sering kali menarik perhatian. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan traffic situs web atau bahkan hasil penjualan. Jelas, perilaku media massa tersebut melanggar kode etik jurnalistik. Utamanya, media perlu memahami panduan memberikan informasi seperti pentingnya kebenaran, keadilan, dan objektifitas dalam menyebarkan berita. Di manakah integritas seorang wartawan kalau bukan dari validitas berita?
ADVERTISEMENT
Media massa di era kemajuan teknologi, menjadi pengaruh besar dalam memberikan informasi. Pernahkah kamu mendengar istilah “you are what you eat”? Apa yang kita konsumsi dari media massa jelas memengaruhi sikap, pendapat, dan tindakan kita, begitulah peran media massa. Film "Budi Pekerti" memperlihatkan kita bagaimana media massa berperan dalam menggerakkan aksi dan perubahan sosial. Sebagai contoh, masyarakat bereaksi terhadap liputan media pada kejadian tertentu, yang kemudian memicu tindakan atau perubahan signifikan dalam cerita. Dalam film Budi Pekerti, dampak misinformasi yang telah tersebar di media massa mendorong masyarakat melakukan cyber bullying kepada Bu Prani.
Dapat disimpulkan, media bertanggung jawab dalam memengaruhi opini publik serta bagaimana kekuatan tersebut dapat digunakan dengan rasional demi kepentingan masyarakat. Demi menghindari informasi yang keliru, penting untuk memverifikasi kebenaran informasi tersebut. Periksa sumber, cari berita serupa di platform yang berbeda, dan pastikan informasi tersebut telah diverifikasi oleh sumber yang terpercaya sebelum disebarkan kepada masyarakat luas.
ADVERTISEMENT