Konten dari Pengguna

Korupsi: Penyakit atau Peliharaan?

Khalida Rizki Soraya
Mahasiswa aktif S1 Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta.
30 Mei 2024 7:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khalida Rizki Soraya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Sumber: https://pixabay.com/illustrations/faces-group-profile-leadership-3597203/)
zoom-in-whitePerbesar
(Sumber: https://pixabay.com/illustrations/faces-group-profile-leadership-3597203/)
ADVERTISEMENT
Korupsi dan koruptor. Dua kata yang mungkin sudah tidak asing lagi bagi telinga, mengingat begitu maraknya tindakan korupsi yang dilakukan oleh para koruptor di sekitar kita. Tidak memerlukan proses pemikiran yang rumit untuk dapat memahami bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan yang sangat egois dan merugikan, yang bahkan tingkat tertinggi kefatalannya mampu dikategorikan sebagai penyelewengan terhadap HAM. Namun, secara sadar maupun tidak sadar, tindakan yang menyimpang dan menyeleweng dari kebenaran dan keharusan tersebut kian merebak bak ‘penyakit’ yang mewabah, dan anehnya lagi, sikap dari bibit-bibit koruptor tersebut justru cenderung ‘dipelihara’ bukannya ‘diobati’.
ADVERTISEMENT
Bak bermuka tebal, manusia kini semakin percaya diri, semakin tidak tahu malu, dan bahkan semakin mudah melakukan tindakan korupsi secara terang-terangan. Mereka-mereka yang berkorupsi, sebut saja koruptor, adalah orang-orang yang tamak, mereka mengutamakan kepentingan pribadinya di atas kepentingan orang lain, sekaligus menghilangkan hak-hak orang lain dengan tindakan egoisnya tersebut. Mirisnya lagi, tindakan korupsi ini begitu nyata dan begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Tidak perlu menguras waktu yang lama untuk menemukan bukti nyatanya, sebab kenyataannya korupsi memang sudah menjadi ‘penyakit’ sosial mengakar yang telah merebak ke mana-mana, yang semakin saat semakin sulit untuk ‘diobati’.
Mungkin selama ini dari media yang kita lihat, kita hanya menyaksikan tokoh-tokoh penguasa saja yang menjadi pelaku dari tindakan korupsi. Seperti contohnya salah satu kasus besar yang baru-baru ini sempat menggemparkan negeri yang melibatkan puluhan tersangka yang merupakan orang-orang dengan status dan kuasa yang tinggi dari tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Fakta yang lebih mengejutkannya lagi adalah jumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan dari kasus korupsi tersebut menyentuh angka yang sangat fantastis yakni hingga Rp 300 triliun. Fakta tersebut diungkapkan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin setelah pihak Kejaksaan Agung berhasil mendapatkan hasil perhitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
ADVERTISEMENT
"Perkara timah ini hasil penghitungannya cukup lumayan fantastis, yang semula kita perkirakan Rp 271 T dan ini adalah mencapai sekitar 300 T," ucap ST Burhanuddin dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Namun sejatinya dewasa ini bukan orang-orang yang memegang jabatan tinggi dan berkuasa saja yang mampu melakukannya, tetapi rakyat sipil, rakyat biasa, juga telah tertular ‘penyakit’ tersebut. Tindakan-tindakan menyimpang kecil yang dinormalisasi nyatanya mampu memupuk bibit-bibit koruptor yang tidak menutup kemungkinan untuk melakukan tindakan yang lebih besar kedepannya. Dalam tulisan ini, satu contoh yang akan saya bahas adalah terkait korupsi yang terjadi di dalam lingkup perguruan tinggi.
Korupsi dalam Lingkup Perguruan Tinggi
Lingkup pendidikan yang seharusnya menjadi wadah yang mampu melahirkan bibit-bibit unggul bangsa juga nyatanya tak ayal menjadi tempat praktik di mana orang-orang melancarkan aksi korupsinya. Mulai dari pemegang kekuasaan tertinggi hingga orang biasa telah terkontaminasi dengan kotornya tindakan korupsi. Khususnya dalam lingkup perguruan tinggi, sadar tidak sadar, tindakan menyeleweng yang sering disepelekan oleh mahasiswa nyatanya merupakan pertanda dari munculnya bibit-bibit sifat koruptor. Misalnya seperti tidak jujur dalam ujian, terlambat masuk ke kelas, dan kekhilafan-kekhilafan lain yang sebenarnya saat dilakukan tidak terasa sebagai sebuah tindakan yang ‘besar’, namun, pada akhirnya nanti, jika terus dibiarkan dapat menimbulkan dampak yang juga sama ‘besar’.
ADVERTISEMENT
Korupsi sebagai PR Negara yang Harus Diatasi dengan Bijak
Mengingat bahwa korupsi merupakan salah satu permasalahan berat yang dihadapi NKRI saat ini, hal tersebut menjadikan tindakan korupsi sebagai sebuah PR besar yang menjadi tanggung jawab bagi kita semua untuk segera diatasi. Sebab jika permasalahan korupsi tidak segera ditangani dengan bijak, hal tersebut bisa semakin merusak perekonomian nasional. Dan perlu diingat bahwa selain bersifat merusak perekonomian, tindakan korupsi juga sangat berisiko dalam meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan sosial, merusak mental dan budaya bangsa, mendistorsi hukum, dan menghambat perkembangan nasional. Melihat betapa buruknya dampak yang dapat dihasilkan dari tindakan korupsi, sudah sepantasnya seluruh komponen bangsa turut memberikan peran dalam memerangi korupsi dan menghapuskan kebiasaan ‘memelihara’ tindakan tercela tersebut.
ADVERTISEMENT
Solusi dari ‘Penyakit’ Sosial Korupsi
Korupsi merupakan ‘penyakit’ sosial yang telah mengakar dan wajib untuk dicari ‘obatnya’, oleh karena itu pemberantasan korupsi ini tidak mungkin untuk dilakukan oleh pihak-pihak tertentu saja, tetapi wajib dilibatkan oleh seluruh komponen masyarakat Indonesia. Salah satu aspek dasar yang perlu dipenuhi dari masing-masing individu dalam misi pemberantasan korupsi ini adalah dengan melatih atau menumbuhkan kesadaran dan perilaku mawas diri terhadap diri masing-masing terlebih dahulu. Karena seperti yang sudah diketahui bersama bahwa tindakan korupsi ini adalah tindakan yang sudah masuk begitu dalam ke setiap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat di Indonesia, jadi salah satu cara sekaligus langkah termudah yang dapat dilakukan adalah dengan mengoreksi tindakan diri sendiri terlebih dahulu sebelum menggerakkan massa yang lebih besar untuk melawan korupsi. Dan perlu diingat bahwa misi pemberantasan korupsi ini merupakan misi yang menjadi tugas dan tanggung jawab bersama bagi seluruh masyarakat Indonesia, oleh karena itu membangkitkan semangat integritas juga menjadi salah satu kunci penting dalam keberhasilan upaya pemberantasan korupsi. Dalam konteks ini, peran pendidikan karakter perlu diperkuat dalam menanamkan nilai-nilai integritas sejak sedini mungkin.
ADVERTISEMENT
Kemudian, sekarang ini manusia sedang dihadapkan dengan era perkembangan digital yang begitu pesat, keterlibatan teknologi memiliki peranan yang tidak kalah penting dalam misi penghapusan korupsi. Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi yang semakin berkembang, praktik transparansi dapat dijadikan metode yang efektif dalam pendeteksian sekaligus pemberantasan tindakan korupsi.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa korupsi adalah ‘penyakit’ yang harus ‘diobati’, dan misi dalam mencari ‘obat penyembuh’ dari ‘penyakit’ korupsi tersebut bukanlah sebuah misi yang mudah, melainkan di dalam prosesnya diperlukan kesadaran dan sikap mawas diri, komitmen yang kuat dari semua pihak yang terlibat, dan semangat integritas yang tulus. Pada intinya, cita-cita pemberantasan korupsi hanya dapat diraih jika seluruh komponen masyarakat mau melakukan upaya bersama demi melangkah menuju Indonesia yang baru, yakni Indonesia yang merdeka dan bebas dari belenggu korupsi.
ADVERTISEMENT