Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Merayakan Kesepian di Tengah Kota Metropolitan
6 November 2024 10:55 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Khalida Rizki Soraya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi kebanyakan orang, kota metropolitan selalu memiliki daya tarik tersendiri yang sukar untuk diabaikan. Dengan menawarkan akses tak terbatas ke berbagai kebutuhan, peluang kerja yang melimpah, ditambah lagi dengan infrastruktur futuristik-nya yang memukau, wajar saja rasanya jika kota metropolitan seringkali dipandang sebagai simbol kemegahan dan kemajuan.
ADVERTISEMENT
Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa di tengah ingar-bingarnya, kota metropolitan selalu berhasil menyimpan dengan rapat jutaan kisah tak terucapkan, keluh yang terpendam, dan derita mendalam yang tersembunyi di balik gemerlap gedung-gedung pencakar langit, lampu lalu lintas yang tak pernah padam, serta arus manusia yang seolah-olah tak pernah berhenti bergerak. Di balik citranya sebagai pusat dinamika, kemajuan, dan ambisi, terdapat satu paradoks yang menjadi bayangan sunyi yang tak terpisahkan dari gemuruh-riuh kehidupan di kota besar, yakni perasaan kesepian yang terus menggelayut di tengah-tengah hiruk-pikuk kota yang kian larut.
Hidup di kota-kota besar seperti Berlin, Tokyo, New York, atau Jabodetabek yang penuh akan dinamika dan ambisi, seringkali membuat kita cenderung terdorong menyibukkan diri untuk berlomba-lomba mencapai impian yang besar. Dan saya rasa hal tersebut adalah hal yang wajar saja, karena di dunia ini siapa sih yang nggak mau jadi "seseorang"?
ADVERTISEMENT
Namun ironisnya, dalam perlombaan menuju target material, kita kerap kali melupakan, meninggalkan, atau bahkan menghapus hubungan paling mendasar yang sejatinya paling kita butuhkan, yakni hubungan dan jalinan batin yang mendalam dengan diri kita sendiri maupun dengan orang lain.
Tanpa adanya ruang untuk benar-benar berkomunikasi, baik dengan diri sendiri maupun orang lain, membuat kita pada akhirnya akan tetap merasa terisolasi, meskipun secara fisik selalu dikelilingi oleh banyak orang. Dengan demikian, dapat dipermudah bahwa percepatan laju dunia dan tuntutan untuk meraih sesuatu yang besar, telah membuat hubungan antarmanusia kian menjadi dangkal, dan menjadikan orang-orang di sekitar kita hanya sekadar sebagai kenalan saja, bukan sebagai sosok yang hadir dengan kedekatan batin dan makna yang mendalam.
ADVERTISEMENT
Dengan situasi seperti ini—rutinitas monoton, minim interaksi sosial, dan tekanan hidup yang tinggi—tak heran rasanya jika perasaan isolasi sosial dan tingkat kesepian yang melanda penduduk kota metropolitan terus meningkat. Meskipun fakta di atas terasa menyedihkan dan merupakan pil yang pahit untuk ditelan, tetapi fenomena paradoks demikian banyak dimanfaatkan oleh para penulis sastra modern untuk menyajikan cerita yang menyoroti sekaligus mengkritik kehidupan kota besar yang mengorbankan hubungan emosional yang bermakna, dalam proses meraih nilai-nilai material. Misalnya seperti novel Tokyo dan Perayaan Kesedihan karya Ruth Priscilia Angelina dan novel Three Days of Happiness karya Sugaru Miaki, yang sama-sama menyoroti sisi gelap kehidupan kota, yakni ketika rasa hampa dan keterasingan muncul sebagai tema yang dominan di tengah gegap-gempita dunia modern.
ADVERTISEMENT
Pencarian Makna Hidup dan Pertanyaan Eksistensial
Di kota besar, orang seringkali beranggapan bahwa kehadiran ribuan, bahkan jutaan orang di sekitar mereka akan menjadi obat yang sangat ampuh dalam menghalau perasaan kesepian. Namun, kenyataannya malah berbanding sebaliknya, di tengah keramaian yang begitu intens, perasaan diskoneksi dari lingkungan sosial justru dapat menjadi lebih tajam.
Seperti yang digambarkan dalam novel Tokyo dan Perayaan Kesedihan, ketika Tokyo, sebagai kota besar yang dijanji-janjikan mampu menawarkan segala kesenangan dan kemewahan di tengah hiruk-pikuk kehidupannya yang terus bergerak, tetapi justru malah memberikan perasaan sepi dan terisolasi yang sukar untuk dijelaskan bagi si tokoh utama—Shira. Shira sendiri di dalam novel ini digambarkan sebagai seorang wanita yang “melarikan diri” ke Tokyo demi meraih “kebebasan” seutuhnya. Kehidupannya di Tanah Air-nya tidak bahagia, dia selalu dihantui oleh bayang-bayang ibunya yang menuntutnya untuk menjadi “Shira yang sempurna”.
ADVERTISEMENT
Tetapi, pada kenyataannya, kehidupannya juga tidak lebih membaik selama ia berada di Tokyo. Perasaan hampa, kosong, dan sepi justru semakin tidak henti-hentinya menggelayuti jiwa Shira, meskipun pada saat itu ia tengah berada di keramaian kehidupan Tokyo. Dalam hal ini, relung kekosongan di hati Shira banyak dicerminkan oleh penulis melalui narasi-narasi yang menyoroti perasaan hampa dan terasing yang Shira rasakan, misalnya seperti pada kalimat sebagai berikut.
Dari sini dapat terlihat fakta menyedihkan bahwa keramaian yang ditawarkan kota metropolitan, bagi beberapa orang—misalnya Shira—hanya bermakna sebagai omong-kosong belaka. Karena meskipun mungkin kita selalu bertemu setiap hari dengan orang lain di kantor, di jalan, atau di transportasi umum, interaksi tersebut hanyalah menjadi sekadar interaksi “basa-basi” saja, dan bahkan seringkali tidak bermakna.
ADVERTISEMENT
Kita terus-menerus bertemu dengan orang baru, bertukar informasi singkat, terlibat dalam percakapan transaksional, tetapi pada dasarnya kita tidak memiliki ruang untuk benar-benar mengenal dan memahami lebih dalam tentang kehidupan satu sama lain. Dalam arti, kehidupan serba cepat ala kota metropolitan telah membuat orang-orang merasa "terhubung" secara superfisial, yang membuat perasaan sepi tak jemu-jemu menggelayuti meskipun saat di tengah keramaian sekalipun.
Kebobrokan gaya hidup kota metropolitan juga ditonjolkan dalam novel Three Days of Happiness karya Sugaru Miaki yang mengkritik bagaimana kehidupan modern seringkali mengukur tingkat kebahagiaan dan kelayakan hidup seseorang hanya berdasarkan nilai-nilai yang bersifat material saja, seperti penghasilan, pencapaian, prestasi, dan lain sebagainya. Hal ini seperti yang digambarkan melalui penokohan Kusunoki, remaja yang menukar masa hidupnya demi sedikit kebahagian yang ia kira dapat ditemukan melalui hal-hal material. Namun, alih-alih menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya, ia justru menyadari bahwa apa yang ia kejar hanyalah kehampaan belaka.
ADVERTISEMENT
Di dalam novel Three Days of Happiness ini pada dasarnya Kusunoki diceritakan sebagai pria yang menjalani kehidupan usia 20 tahunnya dengan penuh kekecewaan, kehampaan, dan keputusasaan di dalam kesulitan ekonomi dan di tengah rutinitas kehidupan yang tidak menggembirakan. Sejak kecil, sejatinya Kusunoki selalu memiliki cita-cita tinggi dan mimpi-mimpi besar yang didorong dari perasaan selalu lebih unggul daripada orang lain. Hal ini digambarkan oleh penulis melalui narasi seperti berikut.
Memang benar, di dalam novel ini digambarkan Kusunoki memiliki kecerdasan di atas rata-rata sejak usia muda. Namun, sikap merendahkan orang lain juga membuatnya cenderung menjauhkan diri dari pergaulan, karena ia merasa tidak ada yang setara dengannya. Dan perasaan memandang diri sendiri lebih tinggi itu terus dibawanya hingga ia remaja. Keyakinannya untuk meraih pencapaian-pencapaian besar juga selalu ada dalam pikirannya.
ADVERTISEMENT
Tetapi sayangnya, hidup justru membawa Kusunoki ke arah yang sangat berbeda dan sama sekali tidak diharapkannya—berbanding terbalik dari semua impiannya. Seperti yang sudah disebutkan di atas, Kusunoki terpaksa harus menelan pil pahit kehidupan dan menerima kenyataan bahwa kehidupannya yang dia jalani saat remaja sangatlah dipenuhi dengan penderitaan, kehampaan, dan kesulitan, ia hidup tanpa teman, tanpa pekerjaan yang sesuai harapannya, tanpa keberhasilan yang ia dambakan, dan jauh dari standar hidup yang diimpikan banyak orang.
Dalam situasi seperti ini, perasaan kesepian dan keterasingan akan semakin diperparah dengan fakta bahwa kesuksesan dan kebahagiaan diukur dengan cara yang sangat dangkal, sehingga bagi mereka yang gagal dalam memenuhi “standar” kesuksesan dan kebahagiaan tadi—seperti Kusunoki—akan menjadi semakin terasing dari masyarakat. Hingga pada akhirnya, kesepian yang dirasakan dapat berujung pada pertanyaan kelayakan eksistensial. Hal ini menandakan bahwa di tengah hiruk-pikuk kesibukan dunia yang tidak pernah berhenti berputar, kita seringkali dibuat begitu tenggelam dalam standar kehidupan yang terlalu menuntut, tanpa pernah benar-benar merenungkan tujuan hidup kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Sudut Pandang Paradoks Kesepian di Tengah Kota Metropolitan Berdasarkan Novel Three Days of Happiness dan Novel Tokyo dan Perayaan Kesedihan
Dari penjelasan di atas dapat terlihat bahwa meskipun sama-sama menyoroti tema tentang sisi gelap di balik gemerlap kota metropolitan, baik novel Tokyo dan Perayaan Kesedihan karya Ruth Priscilia Angelina maupun novel Three Days of Happiness karya Sugaru Miaki tetap menonjolkan perspektif uniknya masing-masing—yang menjadi dasar dari timbulnya perasaan sepi dan kosong yang diangkat dalam keseluruhan cerita—tetapi pada saat yang sama juga saling melengkapi dalam memotret dinamika paradoks kota metropolitan dengan perasaan kesepian, pencarian jati diri, serta penemuan makna kebahagiaan.
Novel Three Days of Happiness menyoroti rasa putus asa yang mendorong karakter utamanya—Kusunoki—untuk menjual masa hidupnya demi meraih kebahagiaan fana yang hadir dari hal-hal bersifat material. Dalam novel ini, Sugaru Miaki berhasil menyajikan cerita yang mampu menyingkap kekosongan dan ketidakberdayaan yang mencekam ketika pilihan-pilihan hidup tampak kian menyempit. Sebaliknya, dalam novel Tokyo dan Perayaan Kesedihan, Ruth Priscilia Angelina mengeksplorasi tema terkait ketidakpuasan eksistensial, ketidakmampuan untuk merasakan kebahagiaan di tengah kemudahan modernitas kota, dan fenomena keterasingan di tengah absurditas kehidupan kota besar.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, Three Days of Happiness lebih mengupas tentang rasa tak berdaya yang dialami manusia ketika kebahagiaan terasa seperti barang bernilai tinggi yang dapat diukur atau dijual. Novel ini juga menggarisbawahi sisi gelap kapitalisme yang menempatkan nilai moneter di atas eksistensi personal. Sedangkan, Tokyo dan Perayaan Kesedihan berbicara tentang kehilangan makna kehidupan yang hadir dari kesadaran bahwa kebahagiaan di kota besar seringkali terdistorsi oleh hasrat yang tak pernah terpuaskan dan ekspektasi sosial yang menekan. Kota Tokyo dalam novel Tokyo dan Perayaan Kesedihan mencerminkan wujud dari kegersangan emosi, tempat di mana segala hal tersedia, tetapi esensi dari kebahagiaan tetap sulit dijangkau.
Perayaan Kesepian: Menerima Keterasingan, Berdamai dengan Keadaan
Kota metropolitan, dengan segala percepatan yang ada di dalamnya, seringkali memberikan ilusi bahwa kita harus selalu sibuk, selalu terhubung, dan selalu produktif. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa seiring dengan keramaian kota metropolitan, perasaan sepi dan hampa juga turut menyelinap di antara keramaian dan mengisi ruang-ruang kosong di relung jiwa banyak orang.
ADVERTISEMENT
Di balik itu semua, kita perlu bijak dalam menyisakan ruang untuk menyadari bahwa kesepian adalah bagian alami dari kehidupan manusia, terutama dalam konteks kehidupan modern. Merayakan kesepian bukan berarti menyerah pada rasa sepi, melainkan justru menjadi momen ketika pada akhirnya kita mampu berdamai dengan realitas yang ada.
Dalam kesepian dan kekosongan yang merayap di tengah keramaian, kita diberi kesempatan untuk merasakan kehilangan, mengenang masa-masa baik, dan merenungkan atau memahami makna hidup yang sebenarnya. Dengan begitu, kesepian yang kita rayakan, pada akhirnya akan mampu membuat kita belajar untuk lebih menghargai kehidupan dan membuat kita terhubung atau terkoneksi kembali dengan diri kita yang paling mendalam.
Sebagaimana kutipan dari novel Tokyo dan Perayaan Kesedihan dalam halaman 165-166 yang mengungkapkan bahwa,
ADVERTISEMENT
Novel ini mengajarkan bahwa hidup tak selalu harus kita menangkan. Karena, ada kalanya, kekalahan, kegagalan, dan kemalangan—yang seringkali kita jumpai dalam proses kehidupan—justru mampu memberikan ruang bagi kita untuk mengenang kembali momen-momen baik yang pernah kita miliki.
Sementara itu, novel Three Days of Happiness, dari kutipan yang didapat dari halaman 41, yang berbunyi.
Seolah mengingatkan kembali kepada kita bahwa kegagalan bukanlah titik akhir dari segalanya, melainkan kesempatan untuk menemukan kemenangan dalam bentuk yang lain, meskipun hanya sebagai bentuk pelipur lara yang mengurangi sedikit kekecewaan.
Kisah yang terkandung di dalam novel Three Days of Happiness dan novel Tokyo dan Perayaan Kesedihan, pada dasarnya mengingatkan kembali kepada pembaca bahwa pada akhirnya, di tengah kesendirian di kota besar yang tak kunjung hilang, mungkin kemenangan sejati yang dapat kita raih sesungguhnya adalah kemampuan kita untuk berdamai dengan kehilangan, dan untuk benar-benar menerima bahwa kebahagiaan maupun nilai hidup tidaklah hanya dapat diukur berdasarkan seberapa banyak yang kita miliki atau capai saja, melainkan juga dapat diraih dari seberapa dalam kita merasakan dan menghargai kehadiran orang lain dan diri kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Sebab, hidup, pada akhirnya, adalah perihal perjalanan menghargai setiap momen—baik, buruk, pahit, dan manis—sebagai bagian dari kisah diri kita secara utuh juga menyeluruh. Dan saat kita telah berhasil pada tahap mampu memandang hidup dengan lebih jujur dan penuh penghargaan, kita akan menemukan bahwa sesungguhnya, kemenangan terbesar dalam kehidupan adalah kemampuan untuk menemukan makna dan kedamaian di dalam diri kita sendiri.
Referensi
Priscilia Angelina, Ruth. 2020. Tokyo dan Perayaan Kesedihan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Miaki, Sugaru. 2020. Three Days of Happiness.