Konten dari Pengguna

Paradoks Indeks Literasi Rendah dengan Antusiasme Bazar Buku di Indonesia

Khalida Rizki Soraya
Mahasiswa aktif S1 Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta.
2 Desember 2024 14:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khalida Rizki Soraya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Sumber: https://pixabay.com/photos/bookcases-books-bookshelves-1869616/)
zoom-in-whitePerbesar
(Sumber: https://pixabay.com/photos/bookcases-books-bookshelves-1869616/)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini timeline media sosial Twitter saya sedang diramaikan dengan perbincangan hangat terkait topik ketidakselarasan atau ketimpangan yang terjadi antara narasi minat baca di Indonesia yang rendah dengan fakta membludaknya pengunjung yang menghadiri acara bazar buku yang dicanangkan oleh PT Gramedia yakni acara “Semesta Buku”. Bukan hal baru lagi bagi kita, warga Indonesia, untuk disandingkan dengan predikat “masyarakat minim literasi”, yang sebenarnya cukup menyakitkan untuk didengar, tetapi pernyataan ini tidak sepenuhnya keliru. Pasalnya, menurut data yang dikeluarkan UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia memang belum mencapai angka yang menggembirakan, yakni hanya 0,0001%, yang artinya dari 1.000 orang Indonesia, hanya ada 1 orang yang rutin membaca. Dengan hadirnya data tadi, wajar saja rasanya jika mengibaratkan mencari orang yang rutin membaca di Indonesia sama saja dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Dalam arti, susah! Tetapi, benarkah begitu adanya? Benarkah minat baca di Indonesia memang se-rendah itu?
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu pengunjung dari event bazar “Semesta Buku” yang diselenggarakan oleh PT Gramedia sejak tanggal 26 Agustus sampai 01 September 2024, saya merasa validaritas dari narasi minat baca masyarakat Indonesia rendah sudah mulai memudar. Lantaran, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri betapa membludaknya pengunjung pada acara bazar buku tersebut, yang padahal kondisinya pada saat itu baru 2 hari berlalu sejak acara bazar tersebut digelar. Dan setelah saya telisik lebih mendalam, ternyata bukan hanya kali itu saja kehadiran acara bazar buku sejenis “Semesta Buku” disambut dengan antusiasme yang menggebu-gebu oleh para pengunjung, karena acara bazar buku serupa bernama “Big Bad Wolf” juga mendapatkan antusiasme yang tak kalah meriahnya dari pengunjung.
ADVERTISEMENT
Dari sini kita sudah dapat melihat kontras atau paradoks yang timbul, yakni, di satu sisi banyak laporan yang menunjukkan bahwa minat literasi di Indonesia masih tergolong rendah yang tersirat dari rak-rak buku di toko maupun perpustakaan yang terlihat sepi pengunjung. Sedangkan, di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa lonjakan pengunjung pada acara-acara bazar buku, festival literasi, ataupun pameran buku yang menimbulkan antrian panjang memang benar adanya. Di mata saya, hal ini membuktikan bahwa meskipun minat literasi masyarakat Indonesia secara umum mungkin memang belum berkembang pesat, tetapi ketertarikan terhadap buku sebagai produk fisik tetaplah tinggi.
Dengan begitu, rintangan yang dihadapi masyarakat Indonesia terkait minimnya tingkat literasi telah menjadi permasalahan yang struktural dan sistemik. Dalam arti, pokok permasalahannya tidak dapat hanya diberatkan pada motivasi atau minat baca yang rendah pada masing-masing individu saja, tetapi juga harus ditinjau dari aspek-aspek luar yang, baik secara langsung maupun tidak, memberikan pengaruh terhadap rendahnya minat baca masyarakat Indonesia tadi. Aspek-aspek luar yang saya maksudkan di sini adalah seperti pemerintah yang kurang maksimal dalam mendukung ketersediaan akses membaca yang memadai, terjangkau, dan berkualitas hingga ke pelosok, yang tentu saja sangat disayangkan jika mengingat bahwa di daerah pedesaan akses keterbacaan yang tersedia sangatlah minim, dan sekalipun ada, harga yang harus dibayar sangatlah tinggi dan mencekik bagi masyarakat kurang mampu. Selain itu, tingginya biaya distribusi dan ketimpangan harga buku di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa juga turut menjadi faktor yang membuat indeks literasi di Indonesia begitu rendah.
ADVERTISEMENT
Di luar poin-poin yang saya sebutkan di atas, tentunya masih terdapat jauh lebih banyak faktor lain yang menjadi tantangan besar dalam mengembangkan minat baca di Indonesia. Namun, menurut saya, pemerintah pada intinya tetap memegang peranan sentral dalam memengaruhi baik penurunan maupun kenaikan minat baca di Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, pemerintah seharusnya mampu mengupayakan berbagai cara demi mengatasi rendahnya angka literasi di Indonesia, seperti misalnya dengan meningkatkan sarana akses bahan bacaan yang memadai dan merata melalui pembangunan perpustakaan secara menyebar tanpa hanya terpusat di kota-kota besar saja, mendorong penerbitan buku berkualitas dengan harga terjangkau, memperbaiki dan mempermudah sistem distribusi buku sehingga harga yang ditegaskan tidak terasa mencekik, mengintegrasikan literasi ke dalam kurikulum pendidikan sejak sedini mungkin dengan membuat program-program literasi yang sederhana guna menanamkan budaya membaca sejak dini, dan jika budaya membaca ini sudah tertanam dengan baik, pemerintah dapat memperluas sarana kesadaran dan budaya membaca tadi dengan mencanangkan program-program literasi yang lebih kompleks, namun tetap menarik seperti festival literasi, bazar buku, bedah dan kajian buku, serta masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, jika pemerintah mampu melakukan tindakan pemaksimalan dalam usaha meningkatkan minat baca di Indonesia, yang tentunya juga diiringi dengan upaya kolaboratif dari lembaga pendidikan dan masyarakat itu sendiri, indeks literasi di Indonesia masih memiliki potensi yang sangat besar untuk bangkit dari posisi kedua terbawahnya. Dan perlu diingat bahwa untuk mencapai cita-cita yang besar, seperti meningkatkan indeks literasi di Indonesia, tidak cukup hanya dengan niat baik, tetapi juga memerlukan tekad yang teguh, strategi yang terukur, dan kerja sama yang solid dari berbagai pihak. Peningkatan literasi bukan hanya soal memperbanyak jumlah bacaan, tetapi lebih kepada menciptakan ekosistem yang mendukung terbentuknya budaya membaca yang berkelanjutan dan bermakna. Pemerintah, masyarakat, dunia pendidikan, serta sektor swasta harus berperan aktif dan saling melengkapi. Tanpa upaya sistematis yang mencakup peningkatan kualitas bahan bacaan, distribusi yang merata, pelatihan bagi pengajar, serta penyuluhan literasi kepada masyarakat luas, cita-cita tersebut akan sulit terwujud.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, jika kita benar-benar ingin mencapai Indonesia yang lebih literat, kita harus mampu mengubah paradigma dan komitmen kolektif terhadap literasi sebagai prioritas bersama. Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau lembaga pendidikan semata, tetapi juga turut menjadi tanggung jawab kita semua, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang beradab. Tanpa kerja sama yang nyata dan langkah konkret, cita-cita besar ini selamanya akan tetap menjadi impian belaka. Waktu untuk bertindak adalah sekarang, dan hanya dengan kesungguhan serta kolaborasi yang mendalam, kita dapat mewujudkan bangsa yang cerdas, kritis, dan siap menghadapi tantangan masa depan.