Konten dari Pengguna
Ruang Publik untuk Siapa? Ketidakadilan Ruang Publik bagi Penyandang Disabilitas
6 Juni 2025 16:31 WIB
·
waktu baca 4 menitKiriman Pengguna
Ruang Publik untuk Siapa? Ketidakadilan Ruang Publik bagi Penyandang Disabilitas
Disabilitas bukan soal keterbatasan, tapi soal akses. Fasilitas publik inklusif adalah kunci keadilan sosial dan bukti nyata bahwa semua orang berhak hidup mandiri dan setara.
KHALISAH SEPTIANI RIZKY

Tulisan dari KHALISAH SEPTIANI RIZKY tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pengertian Disabilitas
Disabilitas merupakan keadaan yang dapat memengaruhi fungsi fisik, mental, atau sensorik seseorang, yang berpotensi menghalangi partisipasinya secara penuh dalam berbagai bidang kehidupan. Pemahaman mengenai disabilitas pun berbeda-beda, tergantung pada konteks yang digunakan. Keterbatasan tersebut tidak semata-mata berasal dari kondisi biologis individu, melainkan juga dipengaruhi oleh bagaimana lingkungan sosial dan fisik merespons keberadaan mereka.
ADVERTISEMENT
Keterbatasan Akses Ruang Publik
Salah satu bentuk eksklusi yang masih sering dialami oleh penyandang disabilitas adalah keterbatasan akses terhadap fasilitas umum. Ruang-ruang publik yang seharusnya menjadi milik bersama masih banyak yang tidak mempertimbangkan kebutuhan kelompok disabilitas. Misalnya, jalur pemandu atau guiding block yang dirancang untuk membantu tunanetra berjalan secara mandiri kerap kali tidak dirancang dengan benar. Tidak sedikit dari jalur tersebut yang terputus di tengah jalan, diblok oleh tiang atau pot bunga, atau bahkan berakhir di tempat yang membahayakan seperti tangga tanpa pagar pembatas. Hal ini memperlihatkan bahwa keberadaan fasilitas tersebut lebih sebagai formalitas daripada bentuk nyata dari perhatian terhadap hak penyandang disabilitas.
Fasilitas Ruang Publik Disabilitas Disalahgunakan
Selain itu, keberadaan ramp atau jalur landai juga masih minim, padahal fasilitas ini sangat penting bagi pengguna kursi roda, lansia, atau individu yang memiliki keterbatasan mobilitas. Dalam beberapa kasus, ramp yang disediakan terlalu curam, tidak memiliki pegangan tangan, atau dibangun di tempat yang tidak strategis, sehingga tidak benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Ini menjadi indikator bahwa perencanaan infrastruktur publik masih belum menggunakan perspektif inklusif sebagai dasar utama. Hal yang sama juga berlaku pada toilet khusus penyandang disabilitas. Banyak bangunan publik yang memang sudah menyediakan ruang toilet bagi disabilitas, namun tidak jarang toilet tersebut sempit, tidak memiliki pegangan di dinding, tidak dilengkapi alarm darurat, atau bahkan dikunci dan tidak dapat digunakan saat dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Fasilitas pendukung lain seperti parkir khusus pun sering kali tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Meskipun sudah ada marka dan rambu yang jelas, area parkir khusus tersebut kerap disalahgunakan oleh pengendara umum yang tidak memiliki kebutuhan khusus, menunjukkan kurangnya kepedulian terhadap hak penyandang disabilitas. Begitu pula dengan kursi tunggu prioritas yang ada di stasiun, terminal, atau fasilitas layanan publik lainnya, yang seharusnya diperuntukkan bagi penyandang disabilitas, lansia, ibu hamil, dan anak-anak, tetapi justru sering diduduki oleh individu yang tidak termasuk kelompok prioritas tersebut. Situasi ini mencerminkan bagaimana masyarakat masih belum memiliki kesadaran sosial yang cukup dalam mewujudkan ruang publik yang adil dan merata bagi semua kalangan.
Keterbatasan akses terhadap fasilitas umum ini bukan hanya menghambat aktivitas sehari-hari penyandang disabilitas, tetapi juga memperkuat stigma sosial bahwa mereka adalah kelompok yang tidak berdaya dan selalu membutuhkan bantuan orang lain. Padahal, kenyataannya mereka memiliki potensi untuk hidup mandiri dan berkontribusi aktif dalam masyarakat jika diberikan kesempatan yang sama dan fasilitas yang memadai. Konsep universal design atau desain universal menjadi pendekatan penting dalam menjawab persoalan ini. Desain universal menekankan pentingnya menciptakan ruang, produk, dan layanan yang sejak awal sudah dirancang agar dapat digunakan oleh siapa saja, tanpa memerlukan modifikasi tambahan. Dengan prinsip ini, jalur pemandu, ramp, toilet khusus, parkir khusus, dan kursi tunggu prioritas bukan hanya sekedar pelengkap, tetapi menjadi elemen penting dari kesetaraan akses.
ADVERTISEMENT
Pembangunan fasilitas publik yang inklusif tidak dapat dilepaskan dari persoalan struktur dan budaya masyarakat. Ketika negara gagal menyediakan ruang yang inklusif, maka disabilitas menjadi bagian dari ketimpangan sosial yang dibiarkan. Maka dari itu, pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas melalui fasilitas publik yang aksesibel harus dipahami sebagai bagian dari tanggung jawab negara dan masyarakat untuk menghapuskan bentuk-bentuk ketidakadilan struktural. Artinya, pembangunan infrastruktur publik yang ramah disabilitas bukan hanya sekedar memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan nilai kesetaraan.
Referensi
Nanda, A. R., & Herawati, R. (2021). Kendala Dan Solusi Bagi Penyandang Disabilitas Kota Semarang Dalam Mengakses Pekerjaan. 3(3), 325–336.