Konten dari Pengguna

Tunisia dan Transisi Demokrasi: Satu-Satunya Harapan dari Arab Spring?

Khaliza Putri Ayu
Saya adalah mahasiswa semester 6 jurusan Hubungan Internasional di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
7 Mei 2025 21:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khaliza Putri Ayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi foto bendera Tunisia. Sumber: Pexels.id
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi foto bendera Tunisia. Sumber: Pexels.id
ADVERTISEMENT
“Negara-negara Arab lain tenggelam dalam konflik dan otoritarianisme baru, sementara Tunisia justru membuka pintu menuju demokrasi.”
ADVERTISEMENT
Arab Spring bisa dilihat sebagai titik awal dari proses transisi demokrasi di beberapa negara. Namun, tidak semua negara berhasil menjalani transisi demokrasi dengan baik.
Pada akhir 2010, dunia menyaksikan kobaran api revolusi yang dimulai dari sebuah gerobak dagangan di Tunisia. Aksi bunuh diri Mohamed Bouazizi sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan menjadi pemicu Arab Spring, Protes ini muncul karena rakyat sudah lelah dengan pemimpin otoriter yang berkuasa terlalu lama.
Mereka ingin ada perubahan ke arah sistem demokrasi, di mana suara rakyat lebih dihargai dan hak-hak mereka lebih dilindungi.
Gelombang demonstrasi besar-besaran yang menjalar ke berbagai negara Timur Tengah dan Afrika Utara, seperti Mesir, Libya, Suriah, dan Yaman.
Namun lebih dari satu dekade berlalu, hanya Tunisia yang masih menyisakan harapan akan transisi demokrasi. Negara-negara lain justru berakhir dalam kekacauan, perang sipil, atau kembalinya rezim otoriter.
ADVERTISEMENT
Tunisia Berhasil, Bagaimana Bisa?
Keberhasilan Tunisia dalam mempertahankan transisi demokrasi tidak datang dengan mudah. Ada beberapa faktor kunci yang membuat Tunisia berbeda:
Tidak seperti di Mesir, militer Tunisia tidak mengambil alih kekuasaan saat Presiden Ben Ali jatuh. Hal ini memungkinkan proses politik tetap berada di tangan aktor sipil.
Peran organisasi seperti UGTT (serikat buruh), Asosiasi Pengacara, dan kelompok HAM menjadi penjaga stabilitas dan demokrasi. Bahkan, Kuartet Dialog Nasional Tunisia mendapat Hadiah Nobel Perdamaian 2015.
Partai-partai besar seperti Ennahda dan Nidaa Tounes rela berkompromi untuk merancang konstitusi baru yang disetujui bersama. Ini menjadi fondasi politik inklusif di Tunisia.
Tidak Sempurna, Tapi Masih Berjalan
ADVERTISEMENT
Tentu saja, demokrasi Tunisia bukan tanpa masalah. Sejak 2021, Presiden Kais Saied mengonsolidasikan kekuasaan lewat dekret dan referendum. Banyak yang khawatir Tunisia sedang kembali ke arah otoritarianisme. Namun, dibandingkan Suriah yang porak-poranda atau Libya yang terus bergolak, Tunisia tetap memelihara institusi sipil dan ruang kebebasan yang lebih luas.
Apa Pelajaran dari Tunisia?
Tunisia mengajarkan bahwa demokrasi tidak lahir dari revolusi saja, tetapi juga dari kesediaan aktor-aktor politik untuk berbagi kekuasaan dan dari masyarakat sipil yang aktif mengawal. Keberhasilan demokrasi bukan soal jatuhnya diktator, tapi soal apa yang terjadi setelahnya.
Arab Spring mungkin gagal di banyak tempat, tapi Tunisia membuktikan bahwa demokrasi bukan mustahil di dunia Arab. Meski jalannya tidak selalu mulus, Tunisia tetap menjadi satu-satunya contoh bahwa harapan itu masih ada, selama rakyat dan institusi tetap terlibat.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Anderson, Lisa. Demystifying the Arab Spring: Parsing the Differences Between Tunisia and the Rest. Foreign Affairs, 2011.
Ghanem, Asma. "Why Tunisia's Democracy Didn't Die." Carnegie Endowment for International Peace, 2021.
Noueihed, Lin, and Alex Warren. The Battle for the Arab Spring: Revolution, Counter-Revolution and the Making of a New Era. Yale University Press, 2012.
NobelPrize.org. "The Nobel Peace Prize 2015 – National Dialogue Quartet."
Al Jazeera. Timeline: Tunisia’s Bumpy Road to Democracy, 2023.
Freedom House. Tunisia Freedom in the World Report, 2023.