Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Negara Leviathan dan Bahaya Politik Hukum Jelang Pemilu 2024
1 November 2023 14:00 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Mahfut Khanafi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dua pekan terakhir masyarakat dihebohkan oleh drama politik paling kolosal setelah 25 tahun reformasi. Semua berawal dari sebuah rumor, bahwa seorang anak yang dekat dengan kekuasaan didorong oleh “kekuatan tak terlihat/invisible hand” untuk maju dalam kontestasi politik paling bergengsi di awal tahun depan.
ADVERTISEMENT
Benar saja, mimpi Gibran Rakabuming Raka, sang putra presiden untuk mencicipi kursi calon wakil presiden (cawapres) akhirnya hampir paripurna. Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) meloloskan gugatan bahwa mantan/kepala daerah dapat mencalonkan diri sebagai capres/cawapres tanpa batas usia, putra sang presiden kini dengan mulus dapat melenggang ke kontestasi demokrasi lima tahunan di 2024 nanti.
Semua tentu saja bukan sebuah peristiwa yang terjadi dalam semalam. Banyak yang percaya, semua telah direncanakan dan dimatangkan secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Sayangnya, apa yang tengah dipertontonkan ini mengancam keberlangsungan sistem demokrasi yang telah kita bangun, pilih dan jalankan selama 25 tahun terakhir.
Sudah sepantasnya rakyat marah dan gaduh. Kita sudah lelah dijajah lebih dari 350 tahun oleh kolonialisme Barat. Sepanjang 32 tahun bangsa kita hidup dalam tirani kekuasaan Orde Baru. Sumber daya ekonomi dikeruk untuk menguntungkan segelintir orang yang bersembunyi di balik jubah oligarki.
ADVERTISEMENT
Di era post truth seperti sekarang, era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran, kita masih saja dipertontonkan oleh kasarnya perselingkuhan kekuasaan politik dan hukum. Perselingkuhan kekuasaan yang cukup melukai dan mencederai perjuangan dan pengorbanan reformasi yang telah dibangun dari tulang dan darah aktivisme 1998. Reformasi dikencingi oleh penguasa secara terang benderang.
Mempertanyakan Demokrasi Kita
Kita perlu menyadari, konsep demokrasi hari ini perlu ditinjau kembali jika berbicara tentang demokrasi di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Di era modern, tepatnya pasca perang dingin, Indonesia memang telah dinobatkan sebagai negara demokrasi ke tiga terbesar di dunia. Namun, setelah lebih dari 70 tahun merdeka, nyatanya tidak satu pun negara di kawasan Asia Tenggara yang sistem demokrasinya dijalankan layaknya sistem demokrasi liberal model Barat, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Walau demikian, kita tetap sepakat untuk terus berusaha menggapai demokrasi yang ideal betapapun sulitnya. Tentu banyak alasan mengapa demokrasi tetap menjadi sistem politik yang relevan dalam setiap lima tahun sekali. Demokrasi tetap relevan sebagai nilai dalam penyelenggaraan kekuasaan politik karena sistem ini menjanjikan harapan tentang pembatasan kekuasaan, nilai yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk bersuara dan memperoleh perlindungan hak-hak individu.
Dalam konteks Indonesia, Steven J Hood dan Stephanie Lawson menyebut demokrasi Pancasila yang dicanangkan Orde Baru yang dianut Indonesia adalah bentuk dari Asian Style Demokrasi. Demokrasi Pancasila meyakini bahwa demokrasi liberal berangkat dari nilai-nilai Barat yang individualis dan impersonal yang tidak cocok dengan nilai-nilai Asia yang menekankan komunalisme, personalisme, penghormatan pada atasan dan perlunya campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi dan masyarakat. (Eby Hara, 2000)
ADVERTISEMENT
Klaim terhadap demokrasi gaya Asia ini biasanya diperkuat dengan argurmen bahwa Asia Tenggara, termasuk Indonesia, memerlukan kestabilan dan bahwa masyarakat belum siap berdemokrasi. Karena itu, pemerintahan akan selalu memiliki dalih untuk berperan aktif dalam mengarahkan dan mengawasi masyarakat dalam proses berdemokrasi (tutelary government). Nampaknya, anggapan inilah yang juga masih bertahan dan relevan hingga sekarang, meskipun sudah 25 tahun bangsa kita telah melalui reformasi.
Kondisi seperti yang kita alami seperti sekarang ini menunjukkan bahwa demokrasi berjalan mundur dengan menempatkan negara sebagai aktor terpusat dalam menjalankan sistem politik yang ada. Menjelang pemilu 2024, kemunduran ini semakin relevan dilihat dari munculnya narasi tiga periode hingga politik dinasti yang muncul untuk melanjutkan kepemimpinan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Negara Leviathan di Era Jokowi
Kondisi hari ini selaras dengan konsep negara sebagai Leviathan oleh Thomas Hobbes di mana kecenderungan negara menjadi “hantu” bagi demokrasi dan masyarakat. Istilah Leviathan sendiri adalah metafora yang digambarkan oleh Hobbes sebagai monster raksasa yang menyeramkan yang diceritakan oleh kitab Perjanjian Lama. Istilah ini adalah gambaran paripurna Hobbes tentang sistem kekuasaan politik yang menakutkan bagi masyarakat agar memberikan rasa takut guna mewujudkan ketertiban.
Negara sebagai Leviathan menitikberatkan kemampuannya sebagai kekuatan absolut tanpa kontrol. Ironisnya, negara Leviathan bisa terbentuk melalui mekanisme perjanjian antar konsensus masyarakat dalam hal ini dijalankan melalui sistem demokrasi yang dijalankan melalui aktivitas pemilu. Sehingga, kekuasaan absolut dapat tercipta bahkan di bawah otoritas publik.
ADVERTISEMENT
Kata Lord Acton, seorang tokoh politik liberal katolik Inggris yang terkenal itu, bahwa “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men, even when they exercise influence and not authority, still more when you superadd the tendency of the certainty of corruption by authority.”
Untuk membatasi kekuasaan negara, kemudian diperlukan negara hukum yang menjamin berlakunnya seperangkat aturan agar kekuasaan sejatinya bisa dijalankan tanpa penyelewengan.
Plato dan Aristoteles sekitar 2.400 tahun lebih telah mencetuskan gagasan penting tentang pemerintahan dan politik. Dua filsuf Yunani terkemuka ini memilih tirani dan supremasi hukum sebagai subjek politik yang perlu dipelajari dan diawasi.
Kedua filsuf ini mengecam gaya pemerintahan tirani karena ketika kekuasaan absolut diberikan kepada penguasa, maka penguasa itu akan cenderung menjadi korup dan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingannya sendiri alih-alih bekerja demi kebaikan bersama.
ADVERTISEMENT
Untuk itu diperlukan adanya negara hukum, di mana tidak ada seorang pun yang dikecualikan dari hukum, bahkan mereka yang mempunyai kedudukan berkuasa. Negara hukum berfungsi sebagai perlindungan terhadap tirani, karena hukum yang adil menjamin bahwa penguasa tidak akan melakukan korupsi.
Ajaran ini kemudian diejawentahkan oleh Montesque melalui asas Trias Poltika. Asas yang secara umum dan populer telah banyak diketahui oleh kaum terdidik Tanah Air. Dalam Trias Politica, secara gamblang kekuasaan telah dipisahkan ke dalam tiga lembaga Eksekutif (pelaksana Undang-Undang), Legislatif (pembuat Undang-Undang), dan Yudikatif atau kehakiman (pengawas pelaksanaan Undang-Undang).
Secara historis, sudah jelas bahwa kekuasaan harus selalu dibatasi dengan cara memisah kekuasaan tersebut ke dalam cabang-cabang yang bersifat check and balances agar aktivitas pemerintah tidak menjurus kepada perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, dan tindakan sewenang-wenang.
ADVERTISEMENT
Pembagian kekuasaan negara jelas dijalankan agar tidak bertumpu pada satu tangan yang dapat menimbulkan tirani. Sehingga aktivitas pemerintah harus berdasarkan pada asas legalitas dan asas yuridikitas dengan mengupayakan agar lembaga peradilan, terutama peradilan administrasi berperan secara efektif.
Namun, negara hukum kita hari ini kecolongan dengan dipertontonkannya drama pelacuran politik dan hukum yang secara nyata terpampang dalam sistem demokrasi modern di Indonesia. Publik tidak menutup mata adanya intervensi yudikatif sebagai upaya struktural dalam melahirkan aturan undang-undang untuk melegitimasi jalan menuju kekuasaan. Publik juga tidak menutup mata akan adanya konflik kepentingan yang secara terang-terangan memanfaatkan kekuasaan untuk kemudian naik tahap menjadi praktik penyalahgunaan wewenang.
Alarm Politik Dinasti
Narasi politik dinasti muncul begitu saja sebagai konsekuensi logis adanya pelacuran MK dan kekuasaan politik ini. Jenis politik yang secara kasar memuluskan jalan kerabat/anggota keluarga untuk mencapai dan menduduki kekuasaan tertentu. Tentu saja lewat mobilisasi dan penggunaan kekuasaan secara absolut dan terstruktur.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks demokrasi di Indonesia, kita semua sepakat bahwa politik dinasti sebenarnya adalah fenomena yang cukup umum. Tak hanya di Indonesia, bahkan negara yang menjunjung tinggi demokrasi layaknya Amerika Serikat (AS), juga secara gamblang mempraktikkan politik dinasti.
Namun, lagi-lagi persoalannya tidak sesederhana itu. Penjelasan sebelumnya bahwa kekuasaan akan selalu dekat dengan upaya penyalahgunaan wewenang akan semakin relevan jika diuji dalam hubungan politik dinasti. Fakta ini secara gamblang ditegaskan oleh Elizabeth Pisani dalam bukunya Indonesia, Etc: Exploring the Improbable Nation.
Pisani menegaskan, dinasti politik di Indonesia lebih berbahaya dibandingkan yang terjadi di AS. Ini karena tidak adanya lembaga peradilan yang independen dalam mengatur dan mengawasi kekuasaan dalam politik dinasti. Dalam relasi politik dinasti, lembaga peradilan rentan diintervensi oleh kepentingan segelintir keluarga dan berdampak pada hambatan pengawasan terhadap eksekutif.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, Pisani menegaskan dalam melihat karakteristik politik dinasiti di Indonesia, jaringan patronase memainkan peran penting dalam upaya konsolidasi kekuasaan antar elit yang tidak memungkinkan partisipasi publik yang lebih luas. Karakteristik jaringan patronase ini akan menghasilkan dan mengambil manfaat dari politik dinasti di mana dalam hal ini, rentan melahirkan klientilisme dan patronase politik.
Konsekuensinya, lagi-lagi akses terhadap sumber daya yang bisa dimonopoli oleh segelintir kelompok dan mengancam efek pengganda atau multiplier effect dalam setiap aktivitas politik dan ekonomi. Secara sederhana, jika kekuasaan telah dimonopoli dan perangkat pembatasan kekuasaan sudah tidak bekerja secara efektif dan cenderung menyeleweng, maka kondisi ini tak bisa dibiarkan dan hanya ada satu kata, lawan.
ADVERTISEMENT