Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Rendahnya Minat pada Makanan Sehat di Indonesia
7 November 2024 14:44 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Khansa Azzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Minat pada makanan sehat di Indonesia masih berada pada tingkat yang cukup rendah, meskipun informasi mengenai pentingnya pola makan yang sehat semakin mudah diakses. Rendahnya minat masyarakat Indonesia terhadap makanan sehat masih menjadi fenomena yang patut dicermati. Berdasarkan survei Kementerian Kesehatan, pada tahun 2023, 23,4% penduduk dewasa Indonesia (usia di atas 18 tahun) mengalami obesitas akibat pola makan yang buruk dan cenderung tidak sehat.
ADVERTISEMENT
Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya minat ini adalah kurangnya edukasi tentang pentingnya pola makan sehat. Banyak orang masih belum menyadari pentingnya nutrisi dan dampaknya terhadap kesehatan. Walaupun pemerintah telah melakukan beberapa kampanye kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan gizi, hasilnya masih jauh dari memuaskan. Masyarakat sering kali terjebak dalam pola pikir bahwa makanan sehat adalah sesuatu yang rumit dan sulit diakses. Mereka cenderung lebih memilih makanan cepat saji yang dianggap lebih praktis dan gampang diakses, meskipun menyadari bahwa makanan tersebut tidak memberikan manfaat gizi yang optimal. Akibatnya, kesadaran akan pentingnya asupan gizi seimbang menjadi rendah.
Selain itu, budaya makanan yang kental di Indonesia menjadi alasan rendahnya minat masyarakat pada makanan sehat, seperti kebiasaan mengonsumsi makanan berlemak dan manis serta pandangan bahwa makanan sehat kurang mengenyangkan semakin menguatkan pandangan bahwa makanan tersebut adalah bagian dari tradisi yang sulit diubah. Masyarakat kita juga mengaitkan makanan dengan perayaan, kebersamaan, dan kenikmatan. Makanan yang kaya akan rasa dan berlemak, meskipun diketahui tidak sehat, sering kali lebih diutamakan. Misalnya, saat merayakan hari besar, makanan tradisional yang kaya akan gula dan lemak menjadi kegemaran banyak orang, sementara makanan sehat seringkali diabaikan. Kebiasaan ini sangat kuat dan sulit untuk diubah, meskipun ada upaya untuk mempromosikan makanan sehat.
ADVERTISEMENT
Makanan sehat seperti sayuran, buah-buahan, dan produk organik sering kali lebih mahal dibandingkan dengan makanan cepat saji yang harganya lebih terjangkau. Dalam banyak kasus, salah satunya kasus dari seorang aktivis yang bernama Irma Prita mengungkapkan bahwa ia biasanya membeli makanan sehat seperti sayur, buah-buahan, dan produk organik hanya ketika sedang mempunyai banyak uang, karena baginya makanan sehat cenderung lebih mahal daripada makanan cepat saji. Selain itu, makanan sehat seperti sayuran juga harus cepat dikonsumsi dan diolah, berbeda dengan makanan cepat saji yang bisa disimpan dalam waktu yang lama. Hal ini menciptakan siklus di mana pilihan makanan tidak sehat menjadi kebiasaan, dan kesadaran akan pentingnya makanan sehat semakin menurun.
Gaya hidup modern juga berkontribusi terhadap rendahnya minat pada makanan sehat. Banyak orang yang memiliki rutinitas sibuk, sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk menyiapkan makanan sehat di rumah. Sebagai solusi tercepat, makanan cepat saji dan olahan menjadi pilihan utama. Berdasarkan Drive Research, 13% orang mengonsumsi makanan cepat saji setiap hari. Sementara itu, berdasarkan survey Kurious, 53,8% perempuan dan 46,2% laki-laki mengonsumsi makanan cepat saji 2-3 kali seminggu. Kebiasaan ini diperparah oleh promosi yang agresif dari produsen makanan cepat saji yang menyasar kaum urban dengan tawaran kemudahan kecepatan. Masyarakat pun terjebak dalam pola pikir bahwa makanan sehat adalah pilihan yang memakan waktu dan tenaga, yang sering kali mereka anggap tidak sepadan dengan hasil yang didapat.
ADVERTISEMENT
Media massa dan iklan juga berperan dalam membentuk pandangan masyarakat. Tayangan kuliner yang lebih menonjolkan kelezatan makanan tidak sehat, serta minimnya informasi tentang makanan sehat, menyebabkan masyarakat lebih tertarik pada makanan cepat saji atau instan yang sangat menggugah selera, meskipun tidak baik untuk kesehatan. Hampir di semua media sosial, seperti Tiktok, Instagram, Facebook selalu menampilkan makanan-makanan cepat saji yang bervariasi dan menggugah selera. Di sisi lain, makanan sehat tidak mendapatkan perhatian yang sama dari media, sehingga masyarakat tidak cukup teredukasi tentang manfaatnya. Hal tersebut juga tentunya memicu rendahnya minat masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang lebih sehat seperti sayuran dan buah-buahan.
Kebijakan publik juga memainkan peran penting dalam situasi ini. Meskipun ada berbagai program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan konsumsi makanan sehat, implementasinya sering kali tidak konsisten. Banyak program yang tidak menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan tidak mempertimbangkan konteks lokal. Pemerintah perlu lebih aktif dalam menciptakan lingkungan yang mendukung konsumsi makanan sehat, misalnya dengan menyediakan subsidi untuk produk sehat, memperkuat pendidikan gizi di sekolah, dan meningkatkan akses ke pasar yang menjual makanan sehat. Tanpa kebijakan yang tepat dan komprehensif, usaha untuk meningkatkan minat pada makanan sehat akan sia-sia.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, rendahnya minat masyarakat Indonesia terhadap makanan sehat merupakan masalah kompleks yang melibatkan berbagai faktor, mulai dari pendidikan, budaya, ekonomi, hingga kebijakan publik. Upaya untuk meningkatkan minat terhadap makanan sehat harus dilakukan secara holistik dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat, dan media. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan berkesinambungan, kita dapat membangun kesadaran dan mengubah perilaku masyarakat menuju pola makan yang lebih sehat. Ini bukan hanya tentang memilih makanan yang sehat, tetapi juga tentang menciptakan budaya yang menghargai kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan.