Konten dari Pengguna

Glorifikasi Gangguan Mental: Miskonsepsi yang Dianggap Kekinian

Khansa Nur Aini
Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya
24 Juni 2023 17:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khansa Nur Aini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Shutterstock
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tingkat kesadaran terhadap kesehatan mental semakin meningkat. Dari pandangan sebelumnya menganggap topik ini sebagai hal yang tabu, kini mulai menarik perhatian dan dianggap penting oleh masyarakat. Tentu saja, ini adalah berita yang positif. Namun, pernahkah kalian bertemu dengan seseorang yang mengklaim memiliki gangguan mental dan merasa bangga akan hal itu? Padahal, belum ada diagnosa yang menunjukkan bahwa mereka benar-benar menderita gangguan tersebut. Hal ini merupakan bagian dari glorifikasi atau meromantisasi gangguan mental.
Apa sih Sebenarnya Romantisasi Gangguan Mental?
Menurut Estetika (2021), konsep glorifikasi atau meromantisasi gangguan mental merujuk pada situasi di mana individu melihat gangguan mental sebagai sesuatu yang menarik, memiliki daya tarik estetik, dan dianggap sebagai tren terkini dibandingkan kondisi sebenarnya. Fenomena ini sangat disayangkan karena dapat menimbulkan kebingungan antara orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), orang dengan masalah kejiwaan (ODMK), dan individu yang melakukan diagnosis sendiri.
Sumber: Shutterstock
Romantisasi Gangguan Mental, Ajang Tren di Media Sosial?
ADVERTISEMENT
Pada mulanya, kampanye mengenai kesehatan mental melalui media sosial dilakukan sebagai upaya untuk menunjukkan empati terhadap individu yang sedang berjuang hidup dengan gangguan mental. Penurunan kualitas dan tujuan hidup bagi mereka yang menderita gangguan mental menyebabkan mereka enggan mencari bantuan dan menarik dari interaksi sosial (Yusainy dan Rachmayani, 2023).
Lambat laun banyak yang berlomba-lomba untuk mengunggah konten gangguan mental. Sebagian dari konten yang dibagikan, ironisnya, mengangkat gambaran konstruksi mental yang tidak dapat dikatakan baik-baik saja, dan bahkan mengandung nilai estetik. Seperti tampilan foto individu yang depresi dengan tulisan, “It’s okay not to be okay” atau artinya “Tidak apa-apa jika tidak baik-baik saja”. Terkadang, mereka hanya "mengaku" memiliki gangguan mental berdasarkan kesesuaian mereka dengan informasi yang diperoleh dari internet, tanpa mendapatkan konsultasi profesional.
Sumber: Shutterstock
Ciri-Ciri Orang yang Meromantisasi Gangguan Mental
ADVERTISEMENT
1. Miskonsepsi Perasaan Negatif Sebagai Gangguan Mental
Menyadari perasaan negatif yang dirasakan memang penting. Namun, terkadang ketika seseorang merasa sedih, dengan mudahnya mengidentifikasi diri mereka sedang mengalami depresi. Padahal, hakikatnya sedih tidak dapat disamakan dengan depresi. Karena masalah yang mereka hadapi, belum tentu berkaitan dengan masalah psikologis tersebut. Akibatnya, mereka akan merangkai cerita hidup yang terasa menyedihkan namun indah, disebarkan melalui media sosial dan berujung pada romantisisasi yang justru menghasilkan miskonsepsi.
2. Mengglorifikasi Gangguan Mental Sebagai Hal yang Estetik dan Kekinian
Glorifikasi gangguan mental berakibat pada hal yang seharusnya serius dianggap sebagai sesuatu yang estetik. Misalnya, mengunggah gambar kutipan sedih atau puisi depresi di media sosial dianggap estetik. Saat gangguan mental dianggap sebagai sesuatu yang estetik dan modern, hal ini dapat menghambat pemahaman yang sebenarnya tentang kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
3. Memperkuat Mitos dan Stereotip yang Tidak Akurat
Romantisasi gangguan mental juga sering kali memperkuat mitos dan stereotip negatif yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Misalnya, dalam film atau media, karakter dengan gangguan mental sering digambarkan sebagai sosok tidak stabil, jenius, dan kreatif. Pandangan ini kemudian mereka yakini, adaptasi, bahkan dianggap sebuah keistimewaan. Padahal, gangguan mental adalah hal yang kompleks dan tidak dapat disimpulkan dengan mudah. Hal ini dikarenakan kompleksitas serta variasi pengalaman yang dialami oleh setiap individu dengan gangguan tersebut.
4. Menolak Tindakan Pengobatan dan Mengagumi Ketidakstabilan
Ketidakstabilan sering kali dianggap menarik di media sosial karena keunikannya yang berbeda dari orang lain. Hal ini dapat menciptakan lingkungan di mana seseorang merasa diterima dan dihargai berdasarkan gangguan mental yang mereka miliki, bukan berdasarkan usaha untuk pemulihan dan kesejahteraan yang sebenarnya. Namun, seharusnya jika seseorang mengalami ketidaknyamanan terkait kesehatan mental mereka sendiri, disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli seperti psikolog atau psikiater.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Cara Menjauhkan Diri dari Tindakan Glorifikasi Gangguan Mental?
1. Gangguan mental bukan bahan gurauan atau pamer di media sosial
Hal ini tentunya dapat meremehkan seriusnya perjuangan orang-orang yang benar-benar mengalami gangguan mental. Bagi mereka yang benar-benar mengalami gangguan mental, perjuangan mereka nyata dan memerlukan perawatan serta dukungan yang serius.
2. Gangguan mental bukan tren kekinian
Kesehatan mental adalah masalah kompleks yang membutuhkan pendekatan serius dan komprehensif. Hanya dengan pemahaman yang mendalam dan pendekatan yang tepat, kita dapat membantu mereka yang sedang berjuang dengan gangguan mental dan membangun masyarakat yang peduli terhadap kesehatan jiwa.
3. Gangguan mental bukan ajang popularitas semata
Penting bagi kita untuk membedakan antara mendukung isu kesehatan mental dengan cara yang bertanggung jawab dan menyadari bahwa ini bukanlah ajang untuk mencari perhatian atau popularitas semata. Menjaga kesehatan mental harus menjadi prioritas utama, dan jika kita mengalami kesulitan atau merasa ada yang tidak beres dengan kesehatan jiwa kita, sebaiknya berkonsultasi dengan profesional yang berkompeten di bidang tersebut.
ADVERTISEMENT
4. Menghindari self diagnose
Memiliki kesadaran diri atau self awareness tentang isu kesehatan mental memang penting, tetapi kita tidak boleh mendiagnosis sendiri, bahkan jika kita memiliki pengetahuan di bidang tersebut. Meskipun ada banyak informasi dan tes daring terkait kondisi kesehatan mental, kita tidak boleh terlalu bergantung pada hasil yang tercantum di sana. Proses diagnosis sebenarnya melibatkan lebih dari sekadar mencocokkan daftar gejala dengan apa yang kita alami.
5. Kritis terhadap Konten Media Sosial
Kita perlu mengembangkan kritis dalam mengonsumsi konten media sosial terkait gangguan mental. Menyadari adanya kemungkinan glorifikasi atau romantisasi dalam konten yang kita lihat adalah langkah penting untuk menghindari terjerumus dalam tren yang berpotensi merugikan ini. Mengambil sikap selektif dalam mengikuti akun yang mengedepankan pemahaman yang sehat tentang kesehatan mental adalah langkah yang bijaksana.
ADVERTISEMENT
Mengubah persepsi masyarakat tentang isu gangguan mental memerlukan kesadaran dan edukasi yang tepat. Kita perlu menghentikan glorifikasi yang salah terhadap gangguan mental dan menggantinya dengan pemahaman yang akurat dan empati. Berbagi pengalaman secara bertanggung jawab, mencari bantuan dari para ahli, dan menyebarkan informasi yang benar dapat membantu membangun masyarakat yang peduli dan terinformasi tentang kesehatan mental. Yuk, mari kita semua menyadari bahwa isu gangguan mental bukanlah ajang kekinian, tetapi sebuah permasalahan serius yang memerlukan perhatian!
Referensi:
ADVERTISEMENT