Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Antara Bahagia, Haru, dan Miris
24 November 2023 8:50 WIB
Tulisan dari Khansa Azzyati Qisthina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Balutan kaos putih dan celana denim cokelat membalut tubuhmu. Bersolek sedikit agar terlihat segar untuk memulai hari pertama sebagai relawan. Kamu pun sudah siap berangkat ke kamp pengungsian.
ADVERTISEMENT
Perjalanan dilalui menggunakan bus TNI, jarak dari Depok ke Kalideres sebetulnya hanya membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Namun, siapa sangka jika di jalan tol ada truk minyak yang terguling. Ruas jalan tol menjadi terhambat dan seketika membeludak oleh kendaraan.
Mentari mulai menyingsingkan cahaya hingga menembus ke dalam kaca bus. Bus mulai menyusuri jalan ke arah kamp pengungsian, “Kesenjangan di sini kentara juga ya, banyak rumah mewah bak kompleks perumahan elit,” gumammu.
Di hadapanmu ada gedung bercat kuning kehijauan tampak reot, tumpukan sampah menjulang tinggi di depan bangunan. Kamu menjelajahi tempat pengungsian sampai ke belakang. Kakimu terhenti saat melihat deretan rumah petak disertai tenda berukuran sedang yang cukup diisi dua orang — berdiri tegak. Tampaknya tenda tersebut digunakan untuk tidur.
Kamu celingak-celinguk mencari keberadaan dipan, tetapi tidak ada satu pun di sana. Hanya ada tikar lusuh yang membentang. “Tikernya usang dan udah enggak layak dipakai lagi,” katamu dengan suara lirih.
ADVERTISEMENT
Kamu mulai bertanya-tanya bagaimana mereka bisa tidur nyenyak di sana? Bukankah tidur tanpa busa kasur itu sakit karena harus merebahkan badan di permukaan dingin, keras, dan lurus?
Cahaya temaram serta lumut menghiasi dinding dan lantai kamar mandi. Hanya ada dua kamar mandi di sana. Tak jauh dari toilet ada tempat wudu yang sempit seperti gang senggol di permukiman. Posisi keran berada di bawah sejajar dengan pinggang sehingga kamu perlu mengambil wudu sambil jongkok.
Rasa mirismu terlihat dari dahi yang berkerut dan pundak menurun seraya memandangi jajaran rumah reot lain. Tanpa kamu sadar banyak anak-anak kecil yang menatapmu dengan penuh tanya. Mendadak kamu ingat belum memperkenalkan diri dengan para pengungsi di sana.
ADVERTISEMENT
Tangan-tangan mungil menjulur ke hadapanmu sambil senyum tipis malu-malu. Kamu menanyai satu per satu nama anak itu menggunakan bahasa Inggris. Seperti yang kamu ketahui bahwa pengungsi di sana mayoritas berasal dari Afganistan, Pakistan, dan Iran. Suara lantang dan bersemangat terucap dari kalian saat memperkenalkan diri.
Kamu terkejut ketika dua remaja perempuan berkata, “Aku bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia”. Matamu terbuka lebar dengan mulut yang sedikit menganga.
Tak terpikiran olehmu jika ada pengungsi yang fasih dalam berbahasa Indonesia. “Kalian belajar bahasa Indonesia dari mana?” katamu dengan nada memastikan. Kalian menjawab, “Kami pergi ke sekolah yang dibuat oleh penduduk sekitar. Jadi, sudah cukup terbiasa berbahasa Indonesia”.
Sesi relawan dimulai dengan pembekalan materi bahasa Indonesia dan pengetahuan umum, dibawakan oleh mahasiswa dari jurusan sastra Arab. Walaupun akhirnya, kalian tahu bahasa yang digunakan pengungsi di sana adalah bahasa Pashtun. Bahasa Inggris menjadi penolong untuk berinteraksi.
Kalian duduk rapi sembari mendengarkan materi yang dijelaskan. Kamu tahu anak-anak itu tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh pengajar. Kamu pun sibuk melaksakan tugas mendokumentasikan acara. Layar kameramu menangkap gelak tawa dan kegiatan belajar-mengajar.
ADVERTISEMENT
Usai pemberian materi kamu beserta panitia lain bermain bersama anak-anak. Beragam permainan dilakukan mulai dari tebak kata, sambung kata, ular naga panjang, lari-larian, sampai lempar bola.
Nafasmu terengah-engah setelah bermain lempar bola. Bola itu melambung terlalu jauh sehingga kamu butuh menggerakkan tubuh ke sana-sini. Kamu pun beristirahat sejenak di teras musala sambil meneguk air mineral dari kardus. “Ah, nikmat banget!” Bersamaan dengan itu, perutmu merontak pertanda butuh asupan makan setelah mengeluarkan energi dalam meladeni anak-anak.
Namun kamu merasa kurang etis untuk menyantap ayam goreng kriuk — konsumsi untuk panitia, dihadapan pengungsi yang belum tentu bisa memakannya. Kamu pun mengurungkan niat tersebut dan mencoba untuk minum lebih banyak.
Saat kamu mengedarkan pandangan, ada dua remaja yang cakap berbahasa Indonesia tersenyum sambil berlari ke arahmu. “Kakak haus banget, ya?” tanya Hadiah dengan wajah penasaran. Kamu hanya terkekeh sambil tersipu malu karena kedapatan minum terlalu banyak. Kedua remaja itu — Hadiah dan Fatimah mulai bercerita mengenai kehidupan selama mengungsi di sini.
ADVERTISEMENT
Sesekali kamu terbahak oleh kekonyolan yang kalian buat. Sampai Hadiah berkata “Biarpun menyenangkan, tapi di sini serba sulit kak. Air bersih, makanan bergizi, tempat tidur yang layak susah dapatnya.” Fatimah pun menambahkan “Ah iya, kami juga rindu sama keluarga kami yang enggak bisa ikut ke sini karena terpisah, sekarang entah mereka berada di mana”.
Sontak kamu tersadar bahwa selama ini hidup serba berkecukupan, tetapi masih terus mengeluh. Kamu terdiam sebentar, memori-memori kehidupanmu muncul di benak. Kamu merasa beruntung bisa kecukupan dalam sandang, pangan, dan papan. Terlebih masih memiliki keluarga utuh dan bisa menempuh pendidikan tinggi.