Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Sudahkah Introspeksi Diri?
24 November 2023 8:59 WIB
Tulisan dari Khansa Azzyati Qisthina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendaran warna-warni kembang api menghiasi pekatnya malam tampak indah di matanya. Lantunan takbir menggema dan saling bersaut-sautan dari toa masjid. Hening malam digantikan dengan ramai masyarakat yang menyambut hari raya.
ADVERTISEMENT
Hari yang ditunggu oleh umat muslim hadir dengan sukacita dan syukur. Perayaan besar setelah berpuasa sebulan penuh dan kembali ke fitrah sebagai hamba yang taat. Tak terkecuali, limpahan karunia Allah yang tercurahkan.
Perayaan Idulfitri sebagai bentuk kemenangan oleh umat muslim yang jatuh pada tiap 1 Syawal. Idulfitri yang identik dengan serba baru mulai pakaian hingga sepatu baru yang melekat di masyarakat. Namun, perayaan kemenangan ini lebih dari sekadar hal tersebut.
Selain bentuk rasa syukur dan sukacita, Idulfitri juga menjadi perwujudan refleksi diri dalam bersikap dan berbicara kepada sesama, serta saling memaafkan terhadap kesalahan dan kekhilafan yang telah dilakukan.
Kegembiraan Idulfitri juga dirasakan olehnya. Suasana pagi yang syahdu dengan lantunan takbir yang terdengar dari masjid-masjid di sekitar. Senyuman hangat dari matahari pun mulai mewarnai dunia.
ADVERTISEMENT
Langit biru dan udara sejuk menerobos masuk ke hidungnya. Jalanan lengang dari kendaraan dan bebas dari kepulan asap knalpot. Kini, hanya dipenuhi oleh umat muslim yang akan melaksanakan salat Idulfitri.
Langkah demi langkah ia jejaki dengan ringan menuju surau. Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya. Perasaan bahagia menyeruak setiap kali bisa berjumpa dengan Ramadan dan Idulfitri.
Ratusan jemaah membeludaki surau. Kedamaian menyelimuti prosesi ibadah. Untaian ayat- ayat suci Al-Qur’an dilantukan dengan merdu dan indah. Ia dengarkan dengan penuh penyerahan dan kebulatan hati. Sebagaimana Allah berfirman di surah Al-A’raaf ayat 204, yang berbunyi:
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat”.
Usai menunaikan salat banyak jemaah yang terburu-buru pulang. Di dalam hatinya berkata “Mengapa jemaah lain bergegas bangkit dan melangkahkan kaki keluar masjid? Bukankah salat Idulfitri hanya dilakukan setahun sekali?”
ADVERTISEMENT
Ia dan keluarganya tetap duduk seraya mendengarkan ceramah. Telinga ia buka lebar-lebar supaya bisa mengambil makna dan hikmah khotbah.
Pandangannya mulai menyelisik satu per satu kawasan masjid. Matanya tertuju pada serakan koran dan plastik yang digunakan sebagai alas.
Jemaah yang berjalan keluar dengan santai meninggalkan sampah dan menendang-nendangnya. Gumpalan itu menumpuk di depan pintu keluar. Pintu keluar yang semula besar menjadi terasa sesak dan sempit.
“Apa yang ada di dalam pikiran orang seperti itu?” batinnya. Hari raya yang seharusnya menjadi pribadi lebih baik, tetapi sudah mengawali kemenangan dengan mengotori masjid. Masjid yang sudah dibersihkan oleh para pengurus rasanya menjadi sia-sia karena perbuatan tangan tak bertanggung jawab.
Setiap tahun jemaah terus mengulang kebiasaan buruk itu tanpa berpikir panjang. Padahal sudah selalu diingatkan untuk selalu membersihkan sampah setelah ibadah.
ADVERTISEMENT
“Memang sudah biasa mereka seperti itu, sedari awal pihak penyelenggara berulang kali mengingatkan baik sebelum salat maupun setelahnya,” ucap pihak penyelenggara.
Kebersihan sebagian dari iman, begitu pula dengan halabihalal untuk mempererat persaudaraan. Momen maaf-maafan lumrah dilakukan dari kaum muda ke kaum dewasa.
Namun, baginya tak melulu harus golongan belia meminta maaf kepada yang lebih tua sebab setiap insan yang terlahir di bumi tak pernah luput dari kesalahan.
Tradisi ini bukan sekadar ucapan formalitas, tetapi memiliki makna yang dalam. Saling memohon maaf dapat membersihkan hati dari segala kesalahan dan kekhilafan yang pernah dilakukan.
Sebagai manusia, makhluk hidup yang tak pernah luput dari kesalahan baik disengaja maupun tanpa sengaja sudah sepatutnya membuka hati dengan lapang, ikhlas, dan saling memaafkan. Ia pun selalu berusaha memaafkan orang lain sebab amalan memaafkan adalah amalan yang dicintai Allah .
ADVERTISEMENT
Usai melaksanakan salat Idulfitri dan bersilaturahmi dengan para tetangga, ia pun melanjutkan perjalanan menuju ke rumah kerabat. Sengatan matahari menusuk-nusuk kulitnya. Mentari tepat berada di atas kepala. Panas, gerah, dan pengap menjadi satu. Derap kaki ia percepat supaya bisa segera masuk ke rumah kerabat yang dikunjungi.
Ia mendaratkan bokong di tikar karet yang terbentang. Tangannya sibuk mencari keberadaan kipas tangan di dalam tas. Naik turun ayunan kipas dikepakkan dengan penuh energi. Segelas air mineral dingin menjadi teman penghilang dahaga.
Sanak saudara mulai berdatangan bergabung di ruang tengah. Suara cengkerama terdengar ramai. Berbagai macam topik diceritakan. Namun, yang paling banyak ia dengar adalah gibah.
“Baru saja bermaaf-maafan sudah bergunjing lagi,” gumamnya lirih.
ADVERTISEMENT
Bukankah momen lebaran manusia menjadi suci kembali, lantas mengapa sudah dinodai dengan perkataan yang belum tahu kebenarannya? Tentu saja umat muslim — termasuk mereka, tahu betul akibat yang ditimbulkan dari gibah.
Suasana kian ramai dengan percakapan ringan dan santai, serta senda gurau yang dilontarkan. Beragam topik menjadi hangat diperbincangkan oleh mereka, baik mengenai kebaikan maupun keburukan orang lain.
“Memang benar ya kalau suaminya itu sudah menikah siri dengan perempuan lain? Kasihan anak-anak dan istrinya, bagaimana perasaannya dan nasibnya nanti itu mereka,” ucap salah seorang kerabat.
“Iya kok bisa sih sampai sejauh itu, apa enggak mikir itu suaminya. Saya sampai enggak percaya dengar hal itu. Zaman sekarang memang makin aneh orang-orang.” sahut seseorang.
ADVERTISEMENT
Momen berkumpul bersama kerabat yang seharusnya dihiasi dengan hal baik ternoda oleh cerita yang menjurus pada gibah. Obrolan itu jelas memojokkan seseorang seakan lumrah untuk dibicarakan.
“Bukan gibah, cuma berbicara fakta yang tertunda kebenarannya saja.” ucap seseorang saat dinasehati.
Ia risih dengan celotehan itu. Dengan sigap ia bangkit dari tikar karet dan melipir ke tempat yang lebih tenang. Penyuara kuping menyumbat rapat-rapat telinganya.
Tidak bisakah bertukar cerita tanpa menggunjing orang lain?
Tidak bisakah terkekeh bersama akibat lelucon konyol tanpa menyakiti orang lain?
Tidak bisakah mengintrospeksi diri sebelum berbicara?
Ia rindu momen lebaran yang hanya asyik berlarian ke sana-kemari dengan leluasa. Tanpa ada ocehan yang terdengar buruk di telinganya. Idulfitri seharusnya untuk bersyukur, bermaaf-maafan, dan berbagi kebahagiaan bersama.
ADVERTISEMENT