Konten dari Pengguna

Mitos dan Fakta: Mengungkap Stigma Masyarakat terhadap Penderita Hipertensi

Khansa Raihan Athallah Hakim
Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya
4 Desember 2024 16:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khansa Raihan Athallah Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva.com
ADVERTISEMENT
Hipertensi merupakan sebuah penyakit tidak meneular (PTM) yang merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Menurut Status Global Noncommuncable Disease pada tahun 2016, sebanyak 71% atau 41 juta orang meninggal akibat penyakit tidak menular. Menurut WHO terdapat beberapa penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, stroke, kanker, diabetes, dan penyakin saluran pernapasan dan penyakit tidak menular lainnya yang mengakibatkan kematian terbanyak di dunia (WHO,2018). Hipertensi juga sering disebut sebagai The Silent Killer. Namun bukan berarti penyakit hipertensi ini tidak dapat dicegah atau dihindari, dengan menerapkan pola hidup sehat seseorang dapat menghindari resiko terkena penyakit hipertensi.
ADVERTISEMENT
Hipertensi yang kerap disebut sebagai darah tinggi merupakan gangguan kesehatan yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah sitolik yang lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg (Smeltzer & Brenda,2002). Hasil Riskesdas pada tahun 2018 tentang penderita hipertensi di Indonesia didapati 34,1% berumur 18 tahun keatas dan 20,1% berumur 25 sampai 34 tahun (Jasmine, et. al, 2022). Hal ini membuktikan bahwa tidak sedikit masyarakat di Indonesia yang memiliki penyakit hipertensi atau darah tinggi. Menurut Lany dalam (Ikhwan, et. al, 2017) hipertensi juga dapat dibagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu pre-hipertensi, hipertensi stage 1, dan hipertensi stage 2.
Dengan tingginya angka tersebut mulai muncul stigma di dalam masyarakat bahwa orang penderita hipertensi atau darah tinggi merupakan orang yang pemarah atau suka marah-marah. Stigma tersebut perlahan-lahan mulai mengakar dan menjadi sebuah stigma yang ditujukan kepada penderita hipertensi. Lantas apakah stigma ini adalah mitos atau fakta?.
ADVERTISEMENT
Menurut (Alberta, 2022) melebeli penderita hipertensi sebagai orang yang mudah marah atau pemarah sebenarya kurang tepat. Memang pada saat kita marah terdapat lonjakan hormon adrenalin yang meningkatkan tekanan darah dengan membuat jantung berdetak lebih kencang dan mempersempit pembuluh darah. Namun hal tersebut tidak semata-mata dapat melabeli penderita hipertensi adalah orang yang pemarah. Karena faktanya kemarahan bukanlah penyebab utama seseorang terjangkit penyakit hipertensi. Marah dan setres memang dapat menjadi salah satu faktor penyebab hipertensi bila dilakukan dalam jangka yang lama, tetapi hal ini tidak dapat digeneralisasi kepada semua penderita hipertensi. Bahkan menurut Dr. Didi Kurniadhi dari RS EMC Pulomas dalam (Harsono, 2023) menyebutkan bahwa tidak semua penderita darah tinggi merupakan orang yang pemarah, “Banyak kok orang darah tinggi yang penyabar dan enggak pemarah” ucapnya pada dialog Healhty Monday pada 25 September 2023 lalu. Selain itu Prof. Dr. Moh. Hasan Machfoed Sp.S(K), M.S juga mengatakan bahwa hipertensi tidak memiliki kaitan langsung dengan kecenderungan seseorang untuk marah dan cerewet.
ADVERTISEMENT
Menurut WHO (2023) terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan penyakit pre-hipertensi dan hipertensi, seperti faktor genetik, umur, ras atau etnik, jenis kelamin, gaya hidup obesitas, stress dan penggunaan alat kontrasepsi hormonal. Selain itu faktor penyebab hipertensi dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor yang tidak dapat dikontrol seperti keturunan, jenis kelamin, dan umur. Serta daktor yang dapat dikontrol seperti kegemukan, gaya hidup, pola makan, aktivitas, kebiasaan merokok, serta alkohol dan garam (Ikhwan, et. al, 2017).
Jadi dapat disimpulkan bahwa stigma yang ada di dalam masyarakat terhadap penderita darah tinggi atau hipertensi merupakan orang yang pemarah atau suka marah adalah salah atau mitos. Faktanya tidak ada para ahli dan penelitian yang menyebutkan bahwa penderita hipertensi adalah orang yang pemarah.
ADVERTISEMENT
Khansa Raihan Athallah Hakim, Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya.
Referensi
Alberta. (2022). Kenapa Penderita Tekanan Darah Tinggi Mudah Marah?. Klikdokter.com. Diakses Sabtu 30 November 2024 pada https://www.klikdokter.com/info-sehat/jantung/kenapa-penderita-tekanan-darah-tinggi-mudah-marah
Harsono, F. H. (2023). Orang yang Suka Marah-Marah Sudah Pasti Tekanan Darah Tinggi?. Liputan6.com. Diakses Sabtu 30 November 2024 pada https://www.liputan6.com/health/read/5407552/orang-yang-suka-marah-marah-sudah-pasti-tekanan-darah-tinggi?page=2
Ikhwan, M., Livana, P. H., & Hermanto, H. (2017). Hubungan Faktor Pemicu Hipertensi Dengan Kejadian Hipertensi. Jurnal Kesehatan, 10(2), 68-78.
Jasmine, M., Maulida, D., Pradana, D. A., Nanjar, I. I., & Idya, S. (2022). Kajian literatur: Faktor risiko pre-hipertensi dan hipertensi pada dewasa muda di beberapa negara. Tropical Public Health Journal, 2(1), 24-34.
Smeltzer & Brenda. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, volume 3, Jakarta: EGC.
ADVERTISEMENT
World Health Organization. (2018). Noncommunicable Disease Country Profiles. Diakses Sabtu 30 November pada https://www.who.int/publications/i/item/9789241514620
World Health Organization. (2023). Hypertension. Diakses Sabtu 30 November 2024 pada https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hypertension