Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
UU Minerba: Kontroversi dan Keuntungan Pihak Tertentu
17 Desember 2020 7:49 WIB
Tulisan dari Muhammad Khansa Fernandra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak asing bagi kita masyarakat Indonesia mendengar tentang UU Minerba yang baru saja disahkan pada 12 Mei 2020. Dalam hal ini banyak orang mengatakan bahwa pengesahan UU Minerba ini terburu-buru terlebih lagi, pengesahannya dilakukan saat pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia. UU Minerba yang berisi tentang revisi UU Minerba sebelum nya banyak mencuat pro dan kontra bagi masyarakat dan pekerja di bidang mineral dan batubara juga merugikan dari sisi Sumber Daya Alam (SDA).
ADVERTISEMENT
Pengesahan UU Minerba tahun 2020 memiliki
keuntungan bagi pemerintah dan memudahkan perusahaan tambang dalam memperpanjang serta mempermudah pemisahan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun hal ini dianggap ganjil, karena keputusan tersebut memiliki dampak negatif terhadap beberapa pihak, seperti kemudahan perusahaan tambang dalam memperpanjang kontrak yang memungkinksn mereka berbuat curang, serta pengesahan UU Minerba tahun 2020 yang dinilai membuka kesempatan bagi oknum yang ingin melakukan tindak pidana korupsi.
Hal ini terkait isi UU Minerba tahun 2020 pada pasal 169 A yang menyebutkan bahwa KK dan PKP2MB diberikan jaminan dalam perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian, setelah memenuhi persyaratan tersebut. Pasal ini menguntungkan pihak tertentu dengan mudahnya perpanjangan kontrak atau operasi yang menjadi IUPK tanpa lelang dan jaminan perpanjangan dan luas wilayah tanpa harus di kecilkan.
ADVERTISEMENT
Dalam pengesahan UU Minerba pasal yang menjadi sorotan adalah karena pasal ini sangat merugikan masyarakat. Pasal 162 yang berisikan “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang Izin Usaha Tambang (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) atau Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB) yang telah memenuhi syarat sebagai yang dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda [paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). Tentu pasal ini sangat berlatar belakang dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 karena dianggap perusak lingkungan. Juga dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009 pasal 66,menyatakan bahwa para pejuang lingkungan hidup atau masyarakat yang memperjuangkan kelestarian lingkungan tak boleh dikriminalisasi baik pidana maupun perdata.
ADVERTISEMENT
Dampak yang dapat dirasakan dengan adanya pengesahan UU Minerba tahun 2020 ini, ada pada (SDA) dan penambahan denda bagi perusahaan yang tidak melakukan reklamasi dan pemberdayaan masyarakat. Tentu pasal ini sudah ada dalam UU Minerba sebelumnya tetapi yang menjadi sorotan, acuhnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam permasalahan dan dampak wilayah pasca tambang, serta lemahnya penegakan hukum yang ada. Fakta nya sekitar 50% wilayah Kalimantan Timur yang terdampak pasca tambang, sampai saat ini belum direklamasi.
Dampak lain dari pengesahan UU Minerba tahun 2020 dapat dirasakan oleh pekerja dibidang mineral dan batubara, karena dalam UU Minerba yang baru saja disahkan, perusahaan dibidang tersebut dapat melakukan PHK terhadap para pekerja nya. Tentu saja hal ini merugikan para pekerja dengan pemutusan tersebut pekerja akan kehilangan sumber pendapatannya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah mempunyai peran andil dalam pengesahan UU Minerba tahun 2020 pada UU tersebut terdapat Pasal 4 ayat (2) yang menyebutkan bahwa penguasaan mineral dan batubara sepenuhnya diatur oleh pemerintah pusat, pada UU Minerba sebelumnya pasal ini juga memberikan kewenangan terhadap pemerintah daerah serta memberikan izin usaha mineral dan batubara. UU Minerba yang baru ini memberikan seluruh kewenangan perizinan kepada pemerintah pusat. Tentu ini membuat sentralisasi yang bertentangan dengan prinsip otonomi daerah, karena setiap daerah mempunyai kebutuhan dan kultur yang berbeda.