Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Problematika Yuridis Penerapan Asas Lex Favor Reo Dalam UU Nomor 1 Tahun 2023
12 Februari 2024 8:52 WIB
Tulisan dari Muhammad Kharisma Bayu Aji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hukum pidana adalah keseluruhan hukum yang terdiri dari perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang diperintahkan dan disertai dengan sanksi berupa pidana bagi setiap orang yang melanggar larangan dan tidak melaksanakan perintah. Adapun menurut Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Prinsip-Prinsip Hukum Pidana fungsi khusus hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan individu, kepentingan masyarakat, dan kepentingan negara. Dalam rangka mempermudah untuk memberi ikhtisar atau penjelasan terhadap suatu norma maka dibutuhkan asas hukum. Pada umumnya asas hukum bersifat abstrak dan tidak tertulis dalam suatu aturan tertentu. Namun terkadang asas hukum juga tertulis secara tersirat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Salah satu asas yang paling mendasar dalam hukum pidana setelah asas legalitas adalah asas lex favor reo sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP Lama dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP Baru.
ADVERTISEMENT
Secara singkat, pengertian asas lex favor reo/ transition adalah apabila terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, maka dikenakan sanksi pidana yang paling menguntungan bagi terdakwa. Artinya dalam hal terdapat aturan baru yang mengatur hal yang sama atas perbuatan yang telah terjadi yang dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana dengan ancaman pidana yang lebih ringan atau lebih berat, maka dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana yang paling ringan bagi terdakwa. Dalam berbagai literatur, fungsi dari asas lex favor reo adalah untuk mengimbangi asas legalitas yang terlalu menekankan prinsip lex scripta (hukum pidana harus tertulis), lex stricta (hukum pidana harus ditafsirkan dengan ketat), lex certa (hukum pidana harus dirumuskan harus jelas), dan lex praivea (hukum pidana tidak dapat diberlakukan atas perbuatan yang terjadi sebelum peraturannya ada/ berlaku surut). Adapun bunyi asas lex favor reo sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP Lama adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
“Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”
Apabila dicermati dalam ketentuan tersebut, yang dimaksud dengan ketentuan yang paling menguntungkan adalah ketentuan peraturan perundang-undangan yang memiliki sanksi yang paling ringan apabila terjadi perubahan peraturan perundang-undangan baik yang terdapat dalam peraturan yang lama, maupun pada peraturan yang baru. Artinya terdapat dua kemungkinan dalam hal adanya perubahan peraturan perundang-undangan pada saat perbuatan pidana dilakukan, yaitu terdakwa dikenakan ketentuan pidana yang lama atau ketentuan pidana yang baru. Tergantung dimana dari dua ketentuan pidana tersebut yang paling menguntungkan terdakwa yaitu mempunyai sanksi pidana yang lebih ringan. Jika dilihat dari ketentuan tersebut, sekilas tidak terlihat adanya permasalahan dalam tataran praktis karena dapat ditafsirkan bahwa terdakwa hanya dapat diberikan sanksi pidana yang lebih ringan apabila perkara masih dalam proses pemeriksaan di persidangan atau pada tahap sebelumnya yaitu penyidikan dan penuntutan.
ADVERTISEMENT
Potensi permasalahan yuridis praktis terkait dengan asas lex favor reo muncul setelah pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada tanggal 2 Januari 2023 dengan ketentuan undang-undang a quo akan berlaku 3 (tiga) tahun sejak diundangkan atau mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026. Adapun permasalahan yuridis normatif tersebut menurut hemat penulis adalah ketentuan dalam Pasal 3 ayat (7) undang-undang a quo yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan putusan pemidanaan disesuaikan dengan batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru”
Adapun penjelasan dari Pasal 3 ayat (7) undang-undang a quo adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
“Yang dimaksud dengan “disesuaikan dengan batas pidana” adalah hanya untuk putusan pemidanaan yang lebih berat dari ancaman pidana maksimal dalam peraturan perundang-undangan yang baru, termasuk juga penyesuaian jenis ancaman pidana yang berbeda”
Apabila dicermati dalam pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa apabila terjadi perubahan peraturan perundang-undangan setelah perkara diputus dan putusannya berkekuatan hukum tetap serta terbit aturan baru yang ancaman pidananya lebih ringan, maka pelaksanaan putusan pemidanaan disesuaikan dengan batas pidana menurut peraturan yang baru tersebut. Adapun apabila ketentuan ayat tersebut dihubungan dengan penjelasan ayatnya, maka hanya putusan pemidanaan yang pidananya lebih berat dari ancaman pidana pada peraturan yang baru saja yang dapat disesuaikan dengan ancaman pidana pada peraturan yang baru.
ADVERTISEMENT
Menurut Penulis ketentuan ini tidak menjamin kepastian hukum dan mempersulit jaksa selaku eksekutor putusan hakim dalam menentukan sanksi pidana yang akan dikenakan kepada terpidana dalam hal putusan telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini terkait dengan perumusan ancaman pidana (strafmaat) dan perumusan jenis pidana (strafsoort). Sehubungan dengan potensi permasalahan yang timbul akibat perumusan ancaman pidana, dapat terjadi dalam hal suatu ketentuan pasal menganut Sistem Maksimum Khusus (indefinite sentence) dan Sistem Minimum Khusus (indeterminate sentence). Dalam Sistem Maksimum Khusus menghendaki hanya membatasi maksimum pidananya, sedangkan minimum pidana mengikuti minimum umum (jika pidana penjara dan kurungan minimum khususnya adalah satu hari). Adapun Sistem Minimum Khusus membatasi baik maksimum maupun minimum khusus pidananya. Kedua sistem perumusan ancaman pidana tersebut pada dasarnya memberikan kebebasan pada hakim untuk menjatuhkan pidana sesuai dengan fakta hukum yang terbukti di persidangan dengan mendasarkan minimum dua alat bukti dan keyakinan hakim dengan tetap mengacu pada maksimum dan/atau minimum pidana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, sehubungan dengan perumusan jenis pidana (straftsoot) potensi permasalahan dalam tataran praktis dapat timbul dalam hal sistem perumusan jenis pidana menggunakan sistem alternatif dan sistem kumulasi alternatif. Dalam sistem alternatif perumusan sanksi pidana dirumuskan dalam dua jenis sanksi pidana pokok atau lebih dengan kata sambung “atau”. Konsekuensi dari ketentuan ini adalah hakim dalam menjatuhkan putusan harus memilih salah satu sanksi pidana yang terdapat dalam suatu pasal. Contoh dari penerapan sistem alternatif adalah ketentuan Pasal 340 KUHP lama yang berbunyi sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, dalam sistem kumulasi alternatif, sanksi pidana rumuskan dengan dua jenis pidana pokok atau lebih dengan kata sambung “dan/ atau”. Konsekuensi dari ketentuan ini adalah hakim dapat memilih untuk menjatuhkan seluruh atau salah satu dari jenis pidana yang terdapat dalam suatu ketentuan pasal. Contoh penerapan dari sistem kumulasi alternatif adalah Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar Rupiah)”
ADVERTISEMENT
Terhadap dua bentuk perumusan ancaman pidana (straftmaat) dan perumusan jenis pidana (straftsoot) tersebut serta dihubungan dengan Pasal 3 ayat (7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP Baru berikut dengan penjelasannya, potensi permasalahan dalam tataran yuridis praktis adalah dengan produk hukum apa terpidana akan dijatuhkan jenis sanksi pidana dalam hal terdapat perbedaan jenis pidana dari ketentuan pasal sebelumnya dengan ketentuan pasal yang diberlakukan kemudian setelah putusan berkekuatan hukum tetap serta bagaimana mekanisme “penyesuaian” sanksi pidana dari ketentuan yang terdahulu dengan ketentuan yang diberlakukan kemudian yang lebih rendah ancaman pidananya.
Lebih lanjut, apabila dicermati kembali ketentuan Pasal 3 ayat (7) KUHP Baru tersebut terlalu sumir. Meskipun dalam penjelasannya telah diberikan solusi berupa pembatasan mengenai penyesuaian batas pidana yang hanya dapat dikenakan terhadap putusan pidana yang lebih berat dari batas pengenaan pidana yang terdapat dalam ketentuan yang baru. Namun menurut Penulis seharusnya diberikan uraian pasal yang lebih jelas dalam mengatur penyesuaian jenis pidana dan berat ringannya pidana yang dijatuhkan kepada terpidana setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Hal ini karena menurut Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia menganut asas keseimbangan yang berarti dalam penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia (dalam hal ini adalah harkat dan martabat terpidana) dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat yang tercederai akibat dari perbuatan pidana yang dilakukan oleh terpindana. Oleh karena itu, baik kepentingan hukum individu, masyarakat, dan negara yang tercederai akibat dari perbuatan pidana yang dilakukan oleh terpidana dengan perlindungan terhadap harkat dan martabat terpidana selama proses hukum berjalan harus sama-sama dijunjung tinggi oleh negara sejak dari perumusan kebijakan hukum pidana melalui peraturan perundang-undangan atau lebih dikenal dengan legal substance sampai dengan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum yang berlaku atau lebih dikenal dengan legal structure.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan uraian diatas, seharusnya pembentuk undang-undang dapat lebih antisipatif terhadap potensi permasalahan yuridis praktis dalam penerapan asas lex favor reo yang tersirat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (7) KUHP Baru dengan menambah ketentuan teknis penyesuaian sanksi pidana yang lama dengan sanksi pidana yang baru yang lebih ringan terhadap putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).