Konten dari Pengguna

Urgensi Kriminalisasi Dalam Perkawinan Siri di Indonesia

Muhammad Kharisma Bayu Aji
Pelajar/ Mahasiswa
22 Agustus 2022 17:16 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Kharisma Bayu Aji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku nikah. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku nikah. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Pada umumnya setiap orang menginginkan hidup dalam hubungan keluarga yang tenteram dan bahagia bersama pasangan yang dicintainya. Dalam rangka memfasilitasi hal tersebut, negara hadir untuk memberikan perlindungan bagi setiap warga Negara yang akan melangsungkan perkawinan. Salah satu bentuk perlindungan hukum dari Negara kepada warga Negara yang akan melangsungkan perkawinan adalah melalui pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang mengamanatkan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pasal 1 UU Perkawinan mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada hakikatnya perkawinan telah sah sepanjang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya (vide Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). Namun, suatu perkawinan yang tidak dicatat dan didaftarkan kepada Negara melalui Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam atau Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, maka dianggap tidak pernah ada oleh negara dan akibat hukumnya tidak memperoleh kepastian hukum berupa perlindungan hukum kepada pihak dalam suatu perkawinan baik hak-hak suami, isteri, dan anak yang dihasilkan dalam suatu perkawinan.
ADVERTISEMENT
Pencatatan perkawinan dalam suatu akta otentik berupa buku nikah bertujuan untuk melindungi dan menjamin hak-hak para pihak yang ada dalam suatu ikatan perkawinan. Dapat dibayangkan apabila seorang pria dan wanita menikah tanpa dilakukan pencatatan di KUA atau Kantor Catatan Sipil dan kemudian melahirkan seorang anak, kemudian terjadi pertengkaran antara pasangan suami isteri tersebut dan berujung pada sang suami yang meninggalkan isteri dan anak tanpa ada pemenuhan kewajiban suami kepada isteri dan anaknya berupa nafkah sebagaimana ajaran agama, tentu hal tersebut akan merugikan isteri dan anak yang lahir dalam perkawinan tersebut.
Sebaliknya, hal yang berbeda apabila perkawinan tersebut dilakukan pencatatan dan dikeluarkan buku nikah oleh pejabat yang berwenang, maka apabila terjadi hal demikian, isteri dapat mengajukan gugatan perceraian beserta tuntutan nafkah dan harta bersama sang suami kepada isteri dan anak-anaknya ke pengadilan. Mengutip teori Kontrak Sosial (du contract social) sebagaimana dikemukakan oleh Jean Jacques Rousseau pada intinya menyatakan bahwa masing-masing individu melimpahkan segala hak perorangannya kepada komunitas sebagai suatu keutuhan dan dengan demikian segala hak alamiah, termasuk kebebasan penuh untuk berbuat sekehendak hati yang dimiliki oleh orang-orang dalam kehidupan alamiah tersebut pindah ke komunitas (Lihat Jean Jacques Rousseau, Kontrak Sosial, alih bahasa Sumardjo, Jakarta, Erlangga hlm. 14) atau dalam bahasa yang lebih sederhana dapat diartikan sebagai rakyat memberikan sebagian kekuasaannya kepada Negara, agar Negara dapat menggunakan kekuasaannya tersebut untuk melindungi hak asasi rakyatnya secara menyeluruh. Bentuk nyata dari kontrak sosial ini dalam perspektif ketatanegeraan berupa adanya konstitusi negara in casu di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang merupakan sumber hukum tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia yang salah satunya mengatur mengenai pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dari setiap warga negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan teori tersebut, kewajiban dan tanggung jawab Negara dalam konsep HAM yaitu Negara wajib untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) HAM yang melekat pada setiap warga negara dan merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945 yang mengamanatkan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab Negara, terutama pemerintah” dan Pasal 71 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang mengatur “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Berdasarkan pasal-pasal a quo, maka negara in casu pemerintah selaku pemegang kekuasaan eksekutif wajib dan bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM yang melekat pada setiap warga negara Indonesia termasuk warga Negara yang hendak melaksanakan perkawinan.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, khusus mengenai hak asasi wanita dan anak yang dihasilkan dalam suatu perkawinan telah dijamin juga dalam hukum positif di Indonesia di mana seorang isteri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama dan anak yang dihasilkan dalam suatu perkawinan berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa (vide Pasal 51 ayat 1 jo. Pasal 57 ayat 1 UU HAM). Pencatatan perkawinan merupakan salah satu jenis instrumen hukum yang bertujuan untuk melindungi HAM yang dimiliki oleh setiap warga negara yang telah melaksanakan perkawinan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya. Lebih lanjut mengutip keterangan pemerintah dalam uji materiil Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK No. 46 PUU-VII/2010, pencatatan perkawinan bertujuan untuk:
ADVERTISEMENT
a. Tertib administrasi perkawinan;
b. Memberikan kepastian dan perlindungan terhadap status hukum suami, isteri maupun anak; dan
c. Memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang timbul karena perkawinan seperti hak waris, hak untuk memperoleh akta kelahiran, dan lainnya.
Suatu perkawinan dilangsungkan sesuai dengan hukum agamanya, namun tidak dilakukan pencatatan sering dinamakan sebagai “kawin siri”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kawin siri adalah perkawinan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi namun tidak melalui Kantor Urusan Agama. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk melindungi hak-hak warga negara dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan, serta memastikan pemenuhan hak suami, isteri, dan anak-anaknya. Dalam Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU Perkawinan tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan “… bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”. Berdasarkan penjelasan a quo, maka jelas bahwa pencatatan perkawinan bukanlah menentukan sahnya perkawinan, namun merupakan kewajiban administratif bagi para pihak yang telah melangsungkan perkawinan.
ADVERTISEMENT
Menurut MK sebagaimana tercantum dalam halaman 34 Putusan MK No. 46 PUU-VII/2010, pencatatan perkawinan secara administratif mempunyai fungsi agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak. Dengan kata lain, MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa dengan adanya pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan adanya buku nikah, maka menjadi buku nikah tersebut menjadi akta otentik yang kekuatan pembuktiannya bersifat sempurna dan tidak terbantahkan (probatio plena).
ADVERTISEMENT
Angka pemohonan itsbat nikah di peradilan agama menunjukkan tingginya angka perkawinan siri yang terjadi dalam suatu wilayah tertentu. Tercatat dalam periode tahun 2020 s/d 2021 terdapat 55.413 (lima puluh lima ribu empat ratus tiga belas) permohonan itsbat nikah yang didaftarkan ke seluruh pengadilan agama di Indonesia (sumber: Laporan Pelaksanaan Kegiatan 2019, 2020, dan 2021, Ditjen Badilag MA. RI). Selain itu, di tempat penulis bertugas saat ini (red: Pengadilan Agama Maumere/ PA Maumere) dalam kurun waktu 2019 s/d 2021 terdapat 82 (delapan puluh dua) permohonan itsbat nikah yang didaftarkan ke PA Maumere (sumber: Sistem Informasi Penelusuran Perkara PA Maumere). Angka permohonan itsbat nikah di PA Maumere tersebut mungkin termasuk kecil, namun apabila angka permohonan itsbat nikah tersebut dibandingkan dengan rasio jumlah penduduk muslim di Kabupaten Sikka/ kompetensi relatif PA Maumere yang sejumlah 37.720 (tiga puluh tujuh ribu tujuh ratus dua puluh) penduduk pada tahun 2019 atau sekitar 11,37% dari jumlah penduduk Kabupaten Sikka secara keseluruhan (sumber: Kemenag Kanwil NTT 2019), maka angka permohonan itsbat nikah tersebut termasuk tinggi. Berdasarkan data empiris tersebut, menunjukkan bahwa angka perkawinan siri di Indonesia cukup tinggi.
ADVERTISEMENT
Dalam hukum positif di Indonesia belum ada aturan yang secara tegas mengatur mengenai larangan perkawinan siri, dimana dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan hanya mengatur mengenai kewajiban pencatatan perkawinan tanpa adanya sanksi yang dijatuhkan kepada para pihak yang melangsungkan perkawinan tanpa dilakukan pencatatan atau dalam konteks teori disebut sebagai aturan tanpa sanksi (lex imperfecta). Adapun hukum positif yang mendekati mengenai larangan perkawinan siri diatur dalam Pasal 279 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi sebagai berikut:
1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
1. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
ADVERTISEMENT
Maksud dari pasal a quo adalah mengatur mengenai larangan untuk melakukan perkawinan bagi setiap orang yang sudah terikat dalam suatu perkawinan sebelumnya atau pada umumnya dikenal sebagai poligami. Namun sayangnya penggunaan pasal tersebut di pengadilan belum konsisten, di mana sebagian hakim menyatakan tidak menjadi masalah apabila yang dilakukan adalah perkawinan siri, sehingga bagi pihak yang sebelumnya telah menikah secara siri dan kemudian menikah lagi tanpa izin isteri, maka tidak dapat dikenakan pasal tersebut karena perkawinan sebelumnya tidak dicatatkan. Namun sebagian hakim juga ada yang menyatakan bersalah dan melanggar pasal tersebut walaupun perkawinan yang dilakukan sebelumnya hanyalah perkawinan siri. Lebih lanjut, pasal tersebut hanya mengatur larangan perkawinan bagi mereka yang sudah menikah, namun tidak mengatur mengenai larangan perkawinan siri.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks teori, norma hukum memiliki kelebihan tersendiri dari norma lainnya, yaitu norma hukum memiliki sanksi yang pelaksanaanya dapat dipaksakan oleh negara melalui lembaga yang berwenang. Lebih khusus apabila kita berbicara mengenai hukum pidana, maka menurut Vos dan Hart, Sudarto sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, fungsi khusus dari hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum yang hendak memperkosanya dengan sanksi berupa pidana. Lebih lanjut, tujuan hukum pidana menurut teori relatif adalah untuk mencari dasar pemidanaan melalui penegakan ketertiban masyarakat dan mencegah terjadinya kejahatan. Apabila teori tersebut dihubungkan antara kekosongan hukum mengenai sanksi perkawinan siri di Indonesia, maka hukum pidana dapat dijadikan sarana untuk penanggulangan serta pencegahan perkawinan siri. Meskipun secara teoritis, hukum pidana berfungsi sebagai ultimum remidium atau upaya hukum terakhir dalam penegakan hukum, namun karena adanya tuntutan masyarakat terhadap kepentingan hukum baru yang harus dilindungi oleh hukum pidana berupa hak-hak suami, isteri, dan anak yang dihasilkan dalam perkawinan serta norma hukum perdata yang terdapat dalam UU Perkawinan membutuhkan sanksi hukum pidana untuk memperkuat norma dan nilainya karena memang belum ada norma yang mengatur mengenai sanksi perkawinan siri, maka hukum pidana dapat berlaku sebagai alat utama penegakan hukum atau primum remidium dalam kasus perkawinan siri. Hal ini sesuai dengan teori psychologischezwang atau paksaan psikologis yang dikemukakan oleh Von Fuerbach yang berarti adanya pidana yang dijatuhkan terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana berupa kejahatan atau pelanggaran, maka akan memberikan rasa takut kepada orang lain untuk melakukan perbuatan pidana tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam hukum pidana istilah untuk menetapkan suatu perbuatan sebelumnya bukan merupakan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana yang diatur oleh undang-undang disebut sebagai kriminalisasi. Lebih lanjut, ukuran untuk mengkriminalisasikan suatu perbuatan tergantung dari nilai-nilai dan pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar, yang bermanfaat atau sebaliknya. Dalam hal ini, karena sifat dan akibat dari perkawinan siri tersebut yang sangat besar di kemudian hari sebagaimana telah penulis jelaskan di atas, maka berdasarkan fungsi khusus hukum pidana yaitu untuk melindungi kepentingan hukum yang hendak memperkosanya dan teori relatif dari tujuan pidana yaitu untuk mencari dasar pemidanaan melalui penegakan ketertiban masyarakat, sudah saatnya perkawinan siri dimasukkan sanksi pidana dalam produk legislasi nasional untuk mencegah dan memberikan efek jera bagi masyarakat yang hendak melakukan atau turut serta melakukan perkawinan siri.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya hal yang perlu diperhatikan untuk meng kriminalisasikan perkawinan siri adalah mengenai kualifikasi delik dan sanksi pidana yang diatur dalam delik tersebut. Menurut penulis, formulasi larangan perkawinan siri sebaiknya dikualifikasikan menjadi delik pelanggaran. Hal ini karena akibat yang ditimbulkan dari perkawinan siri tidak dirasakan secara langsung pada saat perkawinan siri dilakukan dan agar percobaan untuk melakukan perkawinan siri tidak dipidana seperti percobaan untuk melakukan kejahatan yang dipidana dengan ancaman pidana maksimum ancaman pidana dikurangi sepertiga (vide Pasal 53 ayat 2 KUHP). Selain itu untuk mencegah terjadinya kelebihan penghuni (over capacity) Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), maka sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku perkawinan siri sebaiknya adalah pidana pokok berupa pidana denda atau disesuaikan dengan sanksi pidana yang telah diatur dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang terdiri dari atas pidana pokok dan pidana tambahan dengan rincian sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Pidana Pokok
a. Pidana penjara;
b. Pidana tutupan;
c. Pidana pengawasan;
d. Pidana denda; dan
e. Pidana kerja sosial.
2. Pidana Tambahan
a. Pencabutan hak tertentu;
b. Perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan;
c. Pengumuman putusan hakim;
d. Pembayaran ganti rugi;
e. Pencabutan izin tertentu; dan
f. Pemenuhan kewajiban adat setempat.