Konten dari Pengguna

Nasib Perjanjian & Kontrak Jika Pandemi Covid-19 Dinyatakan Sebagai Force Majeur

Khazza Kayvana Affadya
Mahasiswa Fakultas Hukum
16 Desember 2020 18:23 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khazza Kayvana Affadya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Nasib Perjanjian & Kontrak Jika Pandemi Covid-19 Dinyatakan Sebagai Force Majeur
zoom-in-whitePerbesar
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang melanda hampir seluruh negara di dunia tidak kunjung usai sampai saat ini. Pandemi COVID-19 ini sangat berimbas pada sektor ekonomi yang semakin hari semakin lemah. Tidak hanya pada sektor ekonomi, pandemi COVID-19 ini juga berimbas pada sektor hukum, terutama mengenai perjanjian hukum dan kontrak. Dengan keadaan yang tidak terkendali dan lemahnya sektor ekonomi saat pandemi ini, banyak pengusaha atau mitra bisnis yang menunda atau bahkan membatalkan perjanjian hukum atau kontrak tanpa adanya denda dengan alasan bahwa pandemi COVID-19 ini merupakan Force Majeure. Ditambah lagi dengan pernyataan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu yang mengeluarkan Keppres No.12/2020 tentang Penetapan Bencana non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional. Keppres ini pun menimbulkan polemik terkait dengan legitimasi force majeure. Sejumlah pihak menyebut bahwa Keppres ini menjadi legitimasi atau payung hukum bahwa pandemi COVID-19 adalah force majeure. Lalu apakah itu force majeure? Dan apakah benar pandemi COVID-19 ini dapat dikualifikasikan sebagai force majeure? Serta bagaimana nasib perjanjian hukum dan kontrak jika pandemi COVID-19 dinyatakan sebagai force majeure?
ADVERTISEMENT
Keadaan memaksa atau force majeur adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatya perjanjian yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya. Dalam hal ini debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko dan tidak dapat menduga terjadinya suatu kejadian tersebut pada waktu akad perjajian dibuat. Force majeur akibat kejadian tidak terduga tersebut bisa dikarenakan terjadinya suatu hal yang diluar kekuasaan debitur yang mana keadaan tersebut bisa dijadikan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi atau denda.
Force Majeure harus sesuai dengan unsur-unsur yang ada dalam Pasal 1244 KUH Perdata, antara lain sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Berdasarkan sifatnya, force majeure memiliki 2 macam, yakni force majeure absolut dan force majeure relatif. Force majeure absolut adalah suatu keadaan debitor sama sekali tidak dapat melaksanakan prestasinya kepada kreditor, yang dikarenakan gempa bumi, banjir, dan adanya lahar. Sedangkan force majeure relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitor masih mungkin untuk memenuhi prestasinya. Namun, pemenuhan prestasi tersebut harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang begitu besar. Pada kasus pandemi COVID-19 ini lebih mengarah pada force majeure relatif karena pada sektor ekonomi contohnya perhotelan mengalami penurunan pendapatan secara drastis, namun di satu sisi pada sektor kesehatan, pendapatan dan permintaan justru meningkat drastis.
ADVERTISEMENT
Dari Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional di atas, COVID-19 dapat dinyatakan sebagai force majeure (lebih mengarah pada force majeure relatif). Namun, dengan adanya Keppres tersebut, tidak menjadikan debitor dapat menunda atau membatalkan perjanjian. Dalam disiplin hukum perjanjian, dikenal salah satu asas yang begitu penting. Adapun asas yang dimaksud adalah asas kekuatan mengikatnya perjanjian (Pacta Sunt Servanda). Asas ini bermakna bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus melaksanakan perjanjian tersebut. Dalam asas ini, kesepakatan para pihak mengikat sebagaimana layaknya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Asas Pacta Sunt Servanda dapat kita temui dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Di mana, Pasal 1338 KUH Perdata mengatur bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berlaku sebagai udnang-undang bagi mereka yang membuatnya berarti bahwa undang-undang mengakui dan memposisikan kedua belah pihak sejajar dengan legislator.
ADVERTISEMENT
Dari penjelasan asas Pacta Sunt Servanda di atas, kedua belah pihak hanya melaksanakan perjanjian sesuai klausul perjanjian. Para pihak tidak boleh melaksanakan perjanjian di luar klausul perjanjian.
Pada umumnya, ketentuan force majeure dituangkan dalam klausul perjanjian dengan menguraikan peristiwa apa saja yang termasuk force majeure. Dengan diuaraikannya peristiwa apa saja yang termasuk force majeure dalam klausul perjanjian, para pihak dapat menunda atau membatalkan perjanjian. Dengan demikian, jika para pihak mengkategorikan COVID-19 sebagai force majeure dalam klausul perjanjian, maka salah satu pihak dapat menunda atau renegosiasi atau bahkan membatalkan perjanjian. Lain halnya, meskipun para pihak menuangkan ketentuan force majeure dalam klausul perjanjian, namun jika COVID-19 tidak dikategorikan sebagai force majeure, maka debitor yang wanprestasi tidak serta merta dapat menunda atau membatalkan perjanjian tersebut dengan alasan COVID-19.
ADVERTISEMENT