Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Kerancuan Berpikir (Tanggapan untuk Rocky Gerung)
9 Januari 2021 9:47 WIB
Tulisan dari Bonifasius070717 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Oleh: Bonifasius Gunung
Salah satu problem sampingan nan serius yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di tengah “at all cost” berjuang menghadapi masalah Pandemi Covid-19, terorisme, radikalisme dan intoleransi adalah pencaplokan ruang publik oleh para intelektual yang tidak bertanggung jawab guna melancarkan narasi-narasi palsu berbasis premis-premis sesat, yang bukan merupakan hasil aktivitas intelektual yang bersifat ilmiah dan obyektif.
ADVERTISEMENT
Kabar Buruk
Seperti biasa, Rocky Gerung (“RG”) kembali hadir membawa pesan hukum dan demokrasi yang sesat di ruang publik. Ia mempersoalkan pernyataan Kepala Negara tentang “negara tidak boleh kalah”. Bagi RG, pernyataan ini salah karena bertentangan dengan prinsip negara hukum. Ia bahkan yakin bahwa pernyataan semacam itu lahir dari sebuah “kedunguan” berpikir sekaligus menandakan demokrasi di Indonesia telah mati.
Dalam acara berjudul “Jokowi Sebut Negara Tidak Boleh Kalah, Rocky Gerung Tersinggung: Dia Hitler Apa?” yang ditayangkan oleh TrilogiTV pada 19 Desember 2019 dengan durasi sekitar 8:45, RG melontarkan paling kurang 795 kata, sebagai tanggapan atas pernyataan Presiden bahwa “negara tidak boleh kalah”.
Pada intinya, RG berkesimpulan bahwa pernyataan “negara tidak boleh kalah” berarti: (1) kalau negara bikin kesalahan, terus negara bilang kita tidak boleh kalah, kita harus menang maka segala cara bisa dipakai untuk memenangkan negara; (2) begitu Presiden bilang bahwa negara tidak boleh kalah maka seluruh aparat menganggap bahwa negara harus dibenarkan; (3) itu artinya, abuse of judicial power, abuse judiciary, dia menghina pengadilan karena dia mendahului pengadilan; (4) jadi prinsip negara tidak boleh kalah adalah positivism in optima forma: pemberlakuan pasal hukum positivistik di tingkat yang paling tinggi; (5) meniadakan peran pengadilan kalau Presiden katakan negara tidak boleh kalah; Prinsip bahwa hukum itu menjamin keadilan artinya masukkan ke pengadilan, bukan negara tidak boleh kalah. Negara bisa dikalahkan di pengadilan; (6) kita dalam keadaan stateism, negara segala sesuatu negara harus dibenarkan. Inilah contoh kemampuan mengolah negara di dalam keadaan kepanikan karena legitimasi berkurang bahkan merosot, lalu dicari cara, negara tidak boleh kalah; (7) Pemerintah tidak boleh menganggap dia adalah negara. Itu artinya dia menjadi sama dengan Louis XIV: aku adalah negara karena itu negara tidak boleh kalah karena aku tidak boleh dikalahkan.
ADVERTISEMENT
Penulis berpendapat bahwa sejumlah konklusi yang dibangun oleh RG atas satu premis “negara tidak boleh kalah” merupakan wujud kerancuan berpikir (fallacy). Inilah yang dimaksud oleh Irving Copi sebagai irrelevant conclusion (ignoratio elenchi) atau konklusi tidak relevan, (B. Arief Sidharta, 2008: 60).
Bagi pemikir yang mau membuang waktu secara sia-sia untuk menganalisis pernyataan RG akan menemukan suatu kebenaran yang tak terbantahkan bahwa kesesatan nalar yang secara intrinsik terkandung dalam pikiran dan cara berpikir RG terletak pada hal ini: “premisnya atas satu atau beberapa fenomena sosial tertentu bukan merupakan hasil dari suatu aktivitas intelektual yang bersifat ilmiah, hal mana terlihat nyata pada tidak adanya hubungan yang logis antara premis dan konklusi yang dibuatnya”. Hal ini sekaligus mengonfirmasi hal lainnya bahwa RG memang tidak mempunyai academic standing yang khusus. Ia mengamati hampir semua hal publik tanpa melalui metode ilmiah tertentu. Ia bicara sesuka hatinya, bahkan dengan enteng menuduh orang lain “dungu” jika tidak sepaham dengannya. Saya pikir, kehadiran RG di ruang publik cenderung menyesatkan dan mengganggu kebeningan intelektual. Pemikir sejati selalu berusaha untuk tidak menjadi importir sampah intelektual ke ruang publik.
ADVERTISEMENT
Untuk memaksakan kebenaran yang dipikirkannya, RG selalu dengan mudah mencap lawan bicaranya “dungu”. Secara acontrario, dapat dipahami bahwa RG sendiri sebenarnya hanya mau menegaskan hal ini: “jika lawan bicaranya tidak “dungu”, maka akan dengan mudah memahami bahwa pikiran dan cara berpikir RG sesungguhnya tidak menyatakan apa pun tentang kebenaran”. Dan “kedunguan” sesungguhnya bersemayam di sana, sedang tidur nyenyak, karena dijaga dan dirawat dengan sangat baik oleh penjaganya yang setia, yang secara sengaja menjadikan “kedunguan” itu sebagai alat produksi.
Nampak jelas bahwa premis-premis yang dibangun oleh RG tentang fenomena sosial, politik dan hukum aktual di Indonesia, lahir dari proses kegiatan berpikir yang tidak jernih bersifat ilmiah. Hal inilah yang kemudian menyebabkan banyak pengamat politik, sosial, hukum dan budaya memandang bahwa kritik-kritik yang dilancarkan oleh RG terhadap kekuasaan sering dipandang sebagai proposisi-proposisi yang irelevan dan tidak lebih dari sekedar ungkapan pernyataan kekecewaan kelompok oposisi pemerintah yang berada di luar sistem. Oleh karena itu, tidaklah heran jika RG sering salah dalam mengambil konklusi atau kesimpulan atas premis-premisnya. Hukum logika berlaku dan tak pernah sesat: “premis salah maka kesimpulan pasti salah”.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini berbasis pada dua premis utama bahwa: (a) “negara boleh kalah merupakan pemikiran yang justru mengidentikkan negara dengan lembaga-lembaga pemangku kekuasaan negara”; dan (b) “negara tidak boleh kalah merupakan refleksi dari pemikiran tentang eksistensi negara yang pada dirinya sendiri adalah benar sehingga tidak perlu dibenarkan oleh lembaga yudikatif sebagai salah satu cabang kekuasaan negara itu sendiri”.
Sebagai penjelasan awal: itulah sebabnya lembaga yudikatif di Indonesia, misalnya, tidak mempunyai wewenang untuk mengubah lima sila Pancasila dan UUD 45 sebagai hukum dasar negara karena Pancasila dan UUD 45 adalah roh dan representasi absolut NKRI yang harus selalu dianggap benar. Sedangkan peraturan perundang-undangan sebagai turunan dari UUD 45 dapat dianggap sebagai representasi relatif negara. Artinya, kemungkinan untuk membuat keputusan atau kebijakan yang salah terletak pada tataran pembuatan undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya oleh pemangku kekuasaan negara bukan negara. Membatalkan keputusan tertentu yang dibuat oleh pemangku kekuasaan negara bukan berarti “negara kalah atau boleh kalah” karena lembaga yudikatif yang menjatuhkan putusan itu merupakan representasi kekuasaan negara juga.
ADVERTISEMENT
Kesesatan Relevansi
B. Arief Sidharta (2008) menjelaskan bahwa kerancuan berpikir (fallacy) adalah kerancuan pada argumen yang premis-premisnya secara logikal tidak relevan atau secara substansial tidak ada sangkut pautnya dengan kebenaran atau kesalahan dari kesimpulan yang mau ditegakkan oleh premis-premis yang diajukan.
Merujuk Irving Copi, Sidharta menjelaskan sepuluh jenis kerancuan relevansi. Empat diantaranya yang relevan dengan tulisan ini adalah: pertama, kerancuan relevansi yang disebut irrelevant conclusion (ignoratio elenchi, konklusi tidak relevan) terjadi jika sebuah argumen yang sesungguhnya dimaksudkan untuk mendukung sebuah kesimpulan tertentu, namun diarahkan dan digunakan untuk membenarkan sebuah kesimpulan yang lain.
Konklusi yang tidak relevan (irrelevant conclusion atau ignoratio elenchi) tersebut jelas terlihat pada kesimpulan RG yang menyatakan bahwa “narasi yang dihidupkan dari Istana adalah negara tidak boleh kalah, dengan kata lain, negara harus dibenarkan at all cost. Itu kedunguan pertama dari kekuasaan”. RG tidak mengajukan argumentasi yang masuk akal untuk menunjukkan adanya hubungan yang logis antara premis “negara tidak boleh kalah” dengan “negara harus dibenarkan at all cost”, lalu dengan serta-merta melompat pada kesimpulan lain lagi bahwa “itu kedunguan pertama dari kekuasaan”. Dengan kata lain, konklusi yang dibangun oleh RG sesungguhnya hanya untuk membuktikan kebenaran palsu atas tuduhannya bahwa “kekuasaan itu dungu”. Hal ini tentu saja tidak relevan, tidak logis dan tidak pantas.
ADVERTISEMENT
Kedua, argumentum ad hominem (abusive) adalah kerancuan yang terjadi jika suatu argumen diarahkan untuk menyerang pribadi orangnya, khususnya dengan menunjukkan kelemahan atau kejelekan orang yang bersangkutan, dan tidak berusaha secara rasional membuktikan bahwa apa yang dikemukakan orang yang diserang itu adalah salah.
Bahwa kerancuan berpikir RG juga nyata dalam kegemarannya menggunakan argumentum ad hominem (abusive) yang dengan mudah menyerang pribadi orang dan menuduh setiap orang yang membantah pemikirannya adalah “dungu”. Dalam video yang ditayangkan oleh Trilogi TV pada 19 Desember 2019, RG menyatakan (berkesimpulan), antara lain: “… dasar pemikiran ini yang tidak dimengerti oleh para pembisik Presiden Jokowi di Istana. Mereka tidak paham tentang sejarah hukum, mereka tidak paham legal philosophy. Jadi bayangkan misalnya diajarkan di fakultas hukum kedunguan-kedunguan seperti ini, lalu masuk ke Istana, lalu Presiden berani bilang negara tidak boleh kalah. Dia Hitler apa? Dia Louis XIV apa?”.
ADVERTISEMENT
Sangat jelas bahwa RG menggunakan argumentum ad hominem (abusive) untuk menyerang pribadi Kepala Negara dan para penasehatnya dengan sebuah pernyataan yang tidak etis dan melawan hukum. Semua tahu banhwa Adolf Hitler (1889-1945), adalah seorang pemimpin Nazi Jerman yang sangat diktator, membunuh jutaan orang Yahudi di Kamp-Kamp Konsentrasi, dan penyebab sekaligus pelaku Perang Dunia II, Ia adalah salah satu contoh penguasa terburuk sepanjang sejarah kekuasaan negara-negara di dunia.
Sementara, Louis XIV (1638-1715) adalah Raja Perancis yang terlama. Ia dinobatkan menjadi raja sejak usia empat tahun (14 Mei 1653) menggantikan bapaknya Raja Louis XIII dan baru menjalankan kekuasaanya secara efektif tahun 1661, ketika Jules Cardinal Mazarin selaku Menteri Utama (Premier Ministre) wafat. Louis XIV dijuluki sebagai Raja Matahari (Le Roi Soleil) atau Louis Yang Agung (Louis Le Grand atau Le Grand Monarque). Dalam masa kekuasaannya yang berlangsung selama 72 tahun, ia selalu terlibat dalam perang, antara lain Perang Devolusi (1667-1668) yang bersamaan dengan Perang Belanda (1672-1678). Raja Louis XIV kemudian menobatkan dirinya sebagai wakil Tuhan di Bumi (www.britannica.com).
ADVERTISEMENT
Dengan menghadirkan dua sosok penguasa yang berwatak buruk ke hadapan publik untuk dibandingkan dengan Presiden Jokowi, RG sesungguhnya hendak menggambarkan Kepala Negara dan Presiden Republik Indonesia berwatak sama dengan Louis XIV dan Adolf Hitler. Ini adalah argumentum ad hominem (abusive), yang bermaksud untuk memperburuk citra orang-orang yang diserangnya secara pribadi.
Ketiga, argumentum ad populum adalah kerancuan yang terjadi jika orang berupaya untuk mengemukakan dan memenangkan dukungan untuk suatu pendapat (pendirian) dengan jalan menggugah perasaan atau emosi, membangkitkan semangat berkobar-kobar, membangkitkan rasa ingin memiliki yang menyala-nyala pada massa ranyat. Argumentum ad populum ini sering digunakan sering digunakan dalam bidang periklanan, politik atau untuk menghasut (demagogi).
Untuk mendapat dukungan banyak pihak atas pendiriannya, RG juga membuat kesimpulan berdasarkan argumentum ad populum. Hal ini terlihat pada jawabannya terhadap pertanyaan moderator: “ketika kekuasaan tertinggi terlihat melabrak prinsip-prinsip hukum, lalu ke mana rakyat akan menyalurkan aspirasinya?”. RG berusaha memanfaatkan kekecewaan sebagian masyarakat pada penguasa dengan menawarkan cara yang sama untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Jalan sesat.
ADVERTISEMENT
RG menjawab: “di tahun 1789 di Perancis itu diselesaikan oleh Pisau Guilottine di Alun-Alun Istana Louis XIV, itu yang dilakukan rakyat. 200 tahun sebelumnya, yaitu 1516, di Jaman Franco Galia dibuat prinsip yang namanya Konstitusionalisme, yaitu hak rakyat untuk membunuh raja. Itu dari konstitusionalisme itu. Kalau ditanya, rakyat sebenarnya mau apa? Mau demo, mau ditangkap? Mau ditembak?”. Kita tahu bahwa Pisau Guilottine adalah alat yang digunakan untuk mengeksekusi Ratu Perancis Marie Antoinette pada 16 Oktober 1793.
Keempat, false causa (kausa palsu). False causa adalah suatu argumen yang secara tidak tepat menyatakan adanya hubungan kausal (sebab akibat) antara dua hal atau lebih, padahal hubungan kausal itu sebenarnya tidak ada. Dua jenis kausa palsu adalah (a) non causa pro causa artinya kerancuan yang terjadi jika sesuatu yang bukan sebab dinyatakan sebagai sebab dari suatu hal, dan (b) post hoc ergo propter hoc, artinya argumen yang menarik suatu kesimpulan bahwa suatu kejadian adalah sebab dari terjadinya suatu peristiwa tertentu semata-mata berdasarkan alasan bahwa kejadian yang disebut pertama itu terjadi lebih dahulu dari peristiwa tertentu tersebut.
ADVERTISEMENT
False causa jenis non causa pro causa ini juga terlihat jelas dalam pernyataan RG bahwa “begitu Presiden bilang bahwa negara tidak boleh kalah maka seluruh aparat menganggap bahwa negara harus dibenarkan. Ini artinya, abuse of judicial power, abuse of judiciary. Dia menghina pengadilan karena dia mendahului pengadilan”. Ini adalah bukti kerancuan berpikir RG yang disebabkan oleh rendahnya pengetahuan tentang negara (negara hukum) dan sistem hukum ketatanegaraan di Indonesia.
Penulis berpendapat bahwa kesimpulan “seluruh aparat menganggap bahwa negara harus dibenarkan” tidak memiliki hubungan kausalitas (sebab akibat) yang logis dengan pernyataan “negara tidak boleh kalah”, karena:
ADVERTISEMENT
Demikian juga kesimpulan bahwa pernyataan “negara tidak boleh kalah” merupakan “abuse of judicial power; abuse of judiciary; menghina pengadilan karena mendahului pengadilan” merupakan konklusi yang tidak relevan karena:
ADVERTISEMENT
Konteks Premis
Pertama, pernyataan Kepala Negara, bahwa “negara tidak boleh kalah”, itu diungkapkan dalam konteks menghadapi 4 (empat) masalah serius sekaligus: darurat kesehatan masyarakat akibat Pandemi Covid-19, radikalisme, terorisme dan intoleransi. Pernyataan itu adalah wujud nyata komitmen serius Kepala Negara RI untuk merealisasikan tujuan negara sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 45. Bahwa pembentukan NKRI bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dari ancaman dalam bentuk apa pun, harus tetap menjadi prioritas pertama dan terutama dalam situasi dan keadaan apa pun. Artinya, sejauh demi mewujudkan tujuan negara, “negara memang tidak boleh kalah”. Dalam konteks sekarang, hal itu diwujudkan, antara lain dalam bentuk perlindungan bangsa Indonesia dari ancaman radikalisme, terorisme, tindakan intoleransi dan mengendalikan Pandemi Covid-19. Jadi, pernyataan “negara tidak boleh kalah” dalam konteks tersebut di atas dapat dianggap sejalan dengan tujuan UUD 45.
ADVERTISEMENT
Bahwa atas premis “negara tidak boleh kalah”, RG lalu mengambil konklusi bahwa “itu kedunguan pertama dari kekuasaan”. Hal ini membuktikan tidak adanya hubungan logis antara premis dengan konklusi. Lebih jauh, hal itu justru membuktikan bahwa RG tidak mempunyai kepekaan sosial, yang menyebabkannya tidak mempunyai semacam sense of crisis di tengah begitu beratnya beban bangsa ini menghadapi Pandemi Covid-19 dan berbagai persoalan serius lainnya: radikalisme, terorisme dan intoleransi.
Kedua, pernyataan Kepala Negara bahwa “negara tidak boleh kalah” merupakan bagian dari upaya untuk membangun spirit kolektif seluruh komponen bangsa dalam menghadapi krisis bangsa yang teramat serius. Pernyataan semacam itu merupakan refleksi dari eksistensi negara, yang memang sejak awal didirikan oleh the founding fathers untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Untuk itulah, Kepala Negara beserta seluruh komponen bangsa harus selalu mampu memastikan “negara tidak boleh kalah” dalam menghadapi masalah semacam terorisme, radikalisme dan intoleransi, termasuk ketika menghadapi musuh negara, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pernyataan Kepala Negara bahwa “negara tidak boleh kalah” adalah relevan dengan spirit yang terkandung dalam Pancasila dan konstitusi dasar negara UUD 45 agar bangsa Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (“NKRI”) tetap hidup kekal dan abadi.
Apakah negara boleh kalah?. Jawaban Penulis adalah “negara tidak boleh kalah”. Mengapa? (a) karena pada hakekatnya negara dibentuk atas kehendak bersama warganya untuk melindungi kepentingan bersama; (b) negara adalah organisasi yang pada hakekatnya berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan kepentingan bersama; (c) untuk itu negara diberikan kekuasaan oleh warganya untuk menyelenggarakan kepentingan umum; dan (d) kekuasaan negara bersifat pasif. Agar kekuasaan negara aktif, maka dibentuklah organ negara, yaitu pemerintahan dalam arti luas.
ADVERTISEMENT
Charles-Louis Secondant atau Montesquieu (1689-1755) mengajarkan Teori Trias Politika, yaitu teori tentang pembagian cabang kekuasaan negara: eksekutif untuk melaksanakan atau menyelenggarakan kekuasaan eksekutif berdasarkan peraturan perundang-undangan; legislatif yang berwenang untuk membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaan undang-undang; dan yudikatif untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dalam hal menegakkan hukum dan menyelesaikan segala sengketa hukum yang terjadi.
Pembagian kekuasaan negara bermaksud untuk terwujudnya checks and balances antara cabang kekuasaan negara. Juga untuk memastikan tidak adanya monopoli kekuasaan negara yang pelaksanannya dimandatkan kepada ketiga cabang kekuasaan negara tersebut. Untuk itu, negara sendiri memiliki kekuasaan untuk menguji keabsahan atas tindakan penyelenggara kekuasaan melalui cabang kekuasaan yudikatif.
Jika dalam menyelenggarakan kekuasaan negara oleh pelaksana kekuasan negara itu terjadi kesewenang-wenangan, melanggar hak asasi manusia, atau melanggar hukum yang sudah ditetapkan bersama, maka warga negara diberikan hak hukum untuk menuntut pembatalan terhadap keputusan atau ketetapan tersebut. Jika dalam due process of law terbukti bahwa ketetapan atau keputusan yang dibuat oleh pelaksana kekuasaan negara bertentangan dengan hukum, maka lembaga yudikatif berwenang untuk membatalkannya. Hal ini tidak berarti negara kalah, karena lembaga yudikatif yang menjalankan kekuasaan mengadili itu juga bertindak untuk dan atas nama negara. Artinya, negara boleh mengoreksi dirinya sendiri demi menjaga maksud dan tujuan keberadaannya. Karena negara tidak boleh kalah, maka tidak ada satupun Lembaga hukum di dunia yang diberikan wewenang untuk membubarkan negara, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Keempat, jika RG membaca secara benar makna kekuasaan yang diberikan kepada Kepala Negara oleh konstitusi dasar negara UUD 45, maka RG tentu tidak terperosok dalam jebakan premis sesat yang dibuatnya sendiri. Maksud Penulis adalah bahwa makna yang terkandung dalam ketentuan konstitusi UUD 45 yang menempatkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Undara, Angkatan Laut dan Angkatan Udara (lih. Pasal 10 UUD 45), tidak lain adalah untuk memastikan negara selalu dan tetap unggul (“menang”) melawan musuh negara termasuk ketika berhadapan dengan problem serius berbangsa dan bernegara. Untuk itu, negara diberikan wewenang atau boleh melakukan tindakan represif dalam batasan yang dibolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kelima, berpijak pada beberapa argumentasi di atas, dapat disimpulkan bahwa konklusi RG atas pernyataan Kepala Negara “negara tidak boleh kalah merupakan kedunguan pertama kekuasaan”, bukan saja merupakan persoalan etika, melainkan masuk dalam persoalan yang dapat diuji secara pidana dalam kaitannya dengan ketentuan tentang tindak pidana pelecehan atau pencemaran nama baik Kepala Negara. Kita semua paham bahwa dalam masyarakat beradab, kata “dungu” sangat tidak pantas untuk diungkapkan oleh dan terhadap siapapun, apalagi ditujukan kepada Kepala Negara yang dipilih secara demokratis oleh seluruh rakyat Indonesia. Kepala Negara mungkin tidak mempunyai waktu untuk menggunakan haknya menuntut RG, namun hal itu tidaklah boleh dijadikan alasan bagi RG untuk terus-menerus mengucapkan kata yang sangat tidak pantas itu. RG perlu insaf bahwa makna atau pengertian baku kata “dungu” itu diukur berdasarkan pengertian yang termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”), bukan berdasarkan tafsir lepas-liar RG sendiri.
ADVERTISEMENT
Keenam, RG sengaja memotong dan memisahkan pernyataan itu dari konteksnya. Dan hal inilah yang kemudian mendorong pendengar untuk terbawa dalam cara berpikir RG yang sejatinya sesat. Kita tahu bahwa pernyataan “negara tidak boleh kalah” diucapkan oleh Presiden dalam konteks melawan kekuatan kelompok radikal yang secara faktual melakukan gerakan atau tindakan melawan hukum dalam berbagai bentuk: merusak fasilitas publik, melakukan sweeping terhadap warga negara lain, melecehkan ideologi Pancasila, menghina Pemerintahan yang sah seenaknya, membakar bendera kebangsaan Merah Putih, menyemburkan ujaran kebencian terhadap orang lain, menguasai jagat media sosial untuk menyebarluaskan kebohongan, mengganggu warga negara lain yang sedang menjalankan ibadah, membakar tempat ibadah, memaksa pemerintah yang sah untuk tidak menerbitkan ijin pendirian rumah ibadah, dan berbagai tindak kejahatan lainnya, yang sudah sangat meresahkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Jika pernyataan “negara tidak boleh kalah” ditempatkan dalam konteks itu, maka argumentasi RG terbukti tidak relevan. Sebaliknya, pernyataan “Negara tidak boleh kalah” justru membawa pesan kuat tentang adanya komitmen Kepala Negara untuk menegakkan hukum secara tegas tanpa pandang bulu demi terwujudnya keamanan, kenyamanan, ketertiban dan stabilitas sosial dalam terang prinsip hukum “the rule of law” dan “due process of law”.
Lagi pula, komitmen Pemerintah untuk menegakkan hukum secara tegas terhadap siapapun yang melakukan perbuatan yang mengganggu ketertiban masyarakat adalah perwujudan dari prinsip hukum “the rule of law (pengaturan oleh hukum atau supremasi hukum)”. Hal ini ditandai dengan proses penegakkan hukum oleh Polri selaku penegak hukum. Dan penegakkan hukum oleh Polri justru untuk mewujudkan prinsip hukum “equality before the law”. Bahwa tidak boleh ada sekelompok masyarakat yang merasa berada di atas hukum atau tidak tersentuh hukum. Semua orang sama di hadapan hukum. Dilarang main hakim sendiri. Setiap warga negara yang merasa haknya dilanggar atau dirugikan akibat perbuatan orang lain berhak untuk meminta penegak hukum guna memberikan perlindungan hukum untuk dirinya.
ADVERTISEMENT
Ketujuh, argumentasi RG bahwa pernyataan “negara tidak boleh kalah” sebagai bukti telah matinya demokrasi di Indonesia. Tidak diragukan sedikitpun bahwa premis RG ini menyesatkan, ahistoris. Dalam dua dekade lebih terakhir, ekspresi nilai demokrasi yang tidak di/terkontrol adalah kebebasan berkumpul dan berekspresi menyatakan pendapat, baik melalui media massa maupun melalui kegiatan demonstrasi. Dan RG sendiri adalah bukti bahwa demokrasi di Indonesia tidak mati. Sebab kalau benar demokrasi telah mati, tentu RG tidak mempunyai kesempatan sedikitpun untuk menyuarakan aspirasinya ke ruang publik. Kita tahu, RG selalu dan akan terus menggunakan ruang publik untuk menyatakan pendapatnya, sekalipun sering tidak logis, tidak masuk akal dan mengada-ada. Menyatakan secara terbuka bahwa orang lain “dungu”, tidak hanya membuktikan RG mengidap kerancuan berpikir, tapi juga menunjukkan karakter RG sebagai seseorang yang sangat berambisi memonopoli kebenaran serentak menempatkan orang lain yang bertentangan dengan pandangannya sebagai subjek tak berpengetahuan, sekalipun dalam batasan yang amat minimal. Artinya, bahwa ruang kebebasan masih terbuka lebar, termasuk untuk menyuarakan kebodohan.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, Saya menyampaikan pesan bahwa jika RG berkesempatan membaca tulisan pendek ini, Saya berharap mendapat tanggapan dari Anda dalam bentuk tulisan juga. Mari kita berdiskusi secara terbuka dalam suasana saling meghargai pendapat satu sama lain dan beradab. Hanya dengan itu, “kedunguan” berhenti berkarya dalam lorong-lorong gelap kehidupan.
Bonifasius Gunung, S.H.
Advokat; Direktur Eksekutif Institut Transformasi Hukum Indonesia