Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Refleksi Pemilu 2024: Kontestasi Politik Jadi Arena Eksploitatif Anak
22 Maret 2024 11:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Assyifa Uzzahro Khoerunnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi anak berbohong. Foto: takayuki/Shutterstock](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01hrv8vvyna1b4c8jmr8vqphsf.jpg)
ADVERTISEMENT
Pemilu 2024 telah berlangsung dengan serangkaian aksi kampanye di berbagai daerah. Rangkaian kolase pendukung berbagai paslon mengucurkan dukungannya terhadap pilihan mereka. Namun, kontestasi pemilu ini menjadi arena eksploitatif manakala anak-anak yang belum mendapat hak pilih didapati terlibat dalam rangkaian kampanye.
ADVERTISEMENT
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan terdapat lima belas bentuk eksploitasi pada anak yang terjadi pada pemilu tahun ini, baik keterlibatan anak dalam bentuk fisik maupun publikasi.
Banyak kontestan pemilu menjadikan anak sebagai juru kampanye melalui unggahan video dan poster promosi di ruang publik, mengenakan alat peraga kampanye (APK) serta dibawa orang tuanya mengikuti kampanye. Lalu, apakah praktik-praktik seperti ini wajar untuk dilanggengkan?
Jurang Antara Perayaan Demokrasi dan Perlindungan Hak Asasi
Pemilu merupakan pilar demokrasi Indonesia yang menaungi rakyat pada pesta harapan perubahan dan memberi kebebasan penuh untuk memilih siapa representasi mereka di kursi eksekutif. Namun, proses demokrasi ini bukan berarti dilakukan sebebas-bebasnya. Ada bingkai regulasi yang membatasi proses itu untuk melindungi hak-hak asasi semua yang terlibat, termasuk salah satunya adalah hak asasi anak sebagai kelompok rentan dalam ajang elektoral ini.
ADVERTISEMENT
Anak (seseorang yang belum berusia delapan belas tahun) menjadi kelompok rentan yang tidak boleh terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, kecuali bagi mereka yang mendapat hak pilih pada usia 17 tahun. Hal ini bukan untuk membatasi demokrasi, namun justru melindungi hak asasi yang dimiliki oleh anak untuk mendapat perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik sesuai dengan pasal 15a UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Larangan keikutsertaan anak dalam penyelenggaraan pemilu khususnya pada masa kampanye juga jelas tertuang pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 280 Ayat (2) huruf k yang menyatakan bahwa pelaksana atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan warga negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.
ADVERTISEMENT
Hal ini diperkuat dengan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum pasal 72 nomor (1a), yakni pelaksana kampanye pemilu, peserta dan tim kampanye dilarang melibatkan anak.
Ketidakterlibatan anak dalam penyelenggaran pemilu merupakan langkah melindungi anak-anak dari hal-hal yang akan berdampak negatif pada dirinya, terutama secara psikologis dan sisi keamanan. Ketika anak terlibat dalam kampanye salah satu calon, tidak menutup kemungkinan mereka akan mendapat sikap dan perkataan sentimental dari pihak oposisi yang akan mengganggu psikis anak-anak, padahal mereka tidak mengerti apa-apa.
Keramaian saat kampanye juga akan membahayakan keselamatan anak-anak, bukan berarti ketika mereka dibawa oleh orang tua mereka akan terhindar dari kekerasan fisik baik disengaja maupun tidak di tengah kerumunan dengan gejolak menggebu memenangkan paslon.
ADVERTISEMENT
Ekspose materi politik yang tidak sesuai pun dapat mengganggu tumbuh kembang anak dan mengancam masa depan mereka. Jadi, jelas bahwa melibatkan anak sebagai kelompok rentan dalam penyelenggaraan pemilu merupakan bentuk eksploitasi dan pelanggaran hak anak.
Sinergi Membersihkan Eksploitasi Anak di Panggung Kontestasi Pemilu Selanjutnya
Keterlibatan anak dalam penyelenggaraan pemilu merepresentasikan kurangnya pengetahuan masyarakat akan hak-hak anak dan regulasi penyelenggaraan kampanye. Orang tua sebagai perisai utama perlindungan anak harus memahami bahwa anak-anaknya yang belum memiliki hak pilih tidak boleh diikutsertakan dalam kontestasi politis ini.
Komunikasi efektif menjadi kunci untuk menyampaikan sekaligus mengedukasi masyarakat untuk mencegah eksploitasi melalui sosialisasi yang masif. Pemerintah, KPU, maupun lembaga masyarakat harus bersinergi dalam menempuh langkah-langkah strategis untuk mengantarkan pesan, seperti media sosial maupun dialog tatap muka.
ADVERTISEMENT
Masyarakat pun harus aktif berpartisipasi untuk melaporkan jika terjadi pelanggaran. Pemahaman karakteristik masyarakat dan penyesuaian penyampaian akan membantu efektivitas pesan di masyarakat, mengingat rasionalitas pemilih di Indonesia masih kalah terdominasi oleh emosional dan fanatisme yang seringkali menerobos aturan berdasarkan dalil keterdesakan kepentingan individu.
Sinergi seluruh pihak untuk menciptakan pemilu ramah anak adalah bentuk kesungguhan mempersiapkan masa depan bangsa melalui anak-anak yang terlindungi dan berkualitas.