Konten dari Pengguna

Polemik All Eyes on Papua

Khofifah Azzahro
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Brawijaya
2 Juni 2024 18:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khofifah Azzahro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Persoalan konflik masyarakat adat dan pemerintah kembali terulang, #AllEyesOnPapua saat ini ramai digunakan di media sosial guna membantu masyarakat adat Marga Awyu dan Woro menyuarakan konflik ini dengan tujuan supaya pembukaan perkebunan sawit dapat dibatalkan sehingga dapat menyelamatkan hutan mereka. Sudah sejak dari ratusan tahun lalu dan bahkan sebelum adanya negara Indonesia, masyarakat adat papua telah melakukan aktivitas berburu dan meramu untuk kelangsungan hidup mereka secara turun-temurun. Dengan kata lain hutan merupakan pusat dari kehidupan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sumber : Diedit oleh Penilis di Canva.com
Konflik ini bermula dari hutan seluas separuh jakarta atau seluas 36.094 hektar yang berlokasi di boven Digul, Papua akan dibabat untuk pembukaan lahan perkebunan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari. Suku Awyu dan Woro yang merupakan salah satu dari ratusan masyarakat adat di Papua merasa kehidupan mereka akan terancam oleh adanya proyek tersebut. Oleh karena itu mereka melakukan perlawanan. Hutan milik masyarakat Awyu yang sebelumnya memang sudah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia melalui Proyek Tanah Merah. Dimana disebutkan PT IAL tersebut memang telah mengantongi izin lingkungan yang sebagian berada di hutan adat marga Moro, bagian dari suku Awyu.
ADVERTISEMENT
Pemberian izin lingkungan tersebut yang kemudian digugat oleh Hendrikus Woro di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura pada Kamis, (10/8/2023). Dilansir dari laman Greenpeace Pada persidangan tersebut, Sekar Banjaran Aji yang merupakan anggota kuasa hukum masyarakat adat suku Awyu menyebutkan “Ketiga saksi menjelaskan mereka hanya mendengar ada perusahaan yang masuk, tapi tidak pernah ikut dalam sosialisasi perusahaan atau pemerintah daerah. Jadi, bisa dipastikan bahwa amdal dibuat tanpa pelibatan dan persetujuan masyarakat. Ketiga saksi juga menggambarkan kehidupan rata-rata masyarakat suku Awyu yang tidak punya akses terhadap koran atau internet, sehingga pengumuman yang diklaim sudah dilakukan oleh perusahaan tidak menjangkau mereka. Ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah tidak memperhatikan keberadaan masyarakat yang terdampak”. Namun sayangnya gugatan tersebut kalah, dan saat ini Mahkamah Agung (MA) merupakan harapan terakhir untuk menyelamatkan hutan mereka.
ADVERTISEMENT
Pada Senin, (27/5/2024) Suku Awyu dan Moi melakukan aksi damai dengan mendatangi gedung Mahkamah Agung di kawasan Jakarta Pusat pada pagi ini. Mengenakan busana khas suku masing-masing, mereka menggelar doa dan ritual adat di depan kantor lembaga peradilan tertinggi itu, diiringi solidaritas mahasiswa Papua dan sejumlah organisasi masyarakat sipil. Lewat aksi damai tersebut mereka berharap MA dapat menjatuhkan putusan untuk melindungi sumber kehidupan mereka. Mengutip laman Greenpeace “Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan ini,” kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu.
ADVERTISEMENT
Menurut Undang-undang Otonomi khusus Papua, semua Orang Asli Papua (OAP) merupakan masyarakat adat. Hampir seluruh sumber daya di hutan baik kayu maupun non kayu memberikan manfaat besar dalam kehidupan Orang Papua yang sebagian besar hidup bergantung kepada hutan dengan berburu dan meramu. Tak hanya sebatas untuk pemenuhan jasmani, namun masyarakat papua memiliki hubungan yag mendalam dengan hutan secara spiritual dan religi.
Dilansir dari postingan Instagram @walhi_papua yang melakukan Diseminasi Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI dan diskusi publik yang berkolaborasi dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Budi Luhur, kamis (16/5/2024) Indonesia memiliki 91 juta hektar kawsan berhutan, 40% diantaranya berada di tanah Papua. Rencana pembangunan kebun tebu 2 juta hektar dan konsesi tambang yang luasnya lebih dari 200 kali DKI Jakarta mengancam PAPUA sebagai Rimba Terakhir. Rimba terakhir Papua merupakan harta yang tak ternilai bagi manusia.
ADVERTISEMENT
Rimba Papua adalah rumah bagi berbagai spesies langka dan endemik yang tidak bisa ditemui di tempat lain di dunia. Kehadiran rimba ini juga membawa manfaat ekologis yang besar bagi keseimbangan lingkungan global. Sehingga sudah sepatutnya di era modern seperti sekarang, rimba ini merupakan aset yang seharusnya dijaga, dilindungi, dan dilestarikan dengan memanfaatkan kemajuan IPTEK. Konflik seperti bukan pertama kali terjadi, seharusnya pemerintah melalui pengalaman-pengalaman yang serupa seperti ini melakukan tinjauan dan lebih memperketat kembali terkait regulasi yang berlaku, terutama dengan mengutamakan sekaligus memastikan keterlibatan masyarakat dan pakar terkait dalam pembentukan AMDAL.