Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Menanti Gemerlap Listrik Surya Atap
8 Juli 2021 12:16 WIB
·
waktu baca 4 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:50 WIB
Tulisan dari Khoiria Oktaviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepuluh tahun lalu kita mungkin hanya bisa membayangkan listrik bertenaga surya dari foto sahabat yang tinggal di Asia Timur, Eropa atau Amerika. Tapi kini, hamparan panel surya pada atap maupun sisi luar gedung pencakar langit bukan lagi sebuah pemandangan asing di ibukota.
ADVERTISEMENT
Bahkan, rumah pribadi juga telah banyak yang menggunakannya sebagai sumber energi. Perlahan tapi pasti, listrik tenaga surya telah bertransformasi menjadi gaya hidup nir emisi para kaum penggiat green energy.
Saat ini Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) memang tengah berkembang menjadi primadona. Sebelumnya energi nuklir cukup mendominasi. Namun, pasca-tragedi Fukushima Daiichi di tahun 2011 yang mengguncang dunia, energi terbarukan lain mulai menjadi incaran baru penopang kebutuhan energi, surya salah satunya. Sumber yang melimpah dan instalasi yang mudah membuat listrik surya kemudian menjadi yang terdepan dalam perkembangannya.
Pada tahun 2019, International Renewable Energy Agency (IRENA) mencatat Tiongkok masih mendominasi pemanfaatan energi surya ini dengan kapasitas terpasang sebesar 263 GW, diikuti Amerika Serikat dan Jepang, masing-masing memiliki PLTS berkapasitas 62 GW dan 61 GW. Ketiganya terus berlomba, baik dari sisi teknologi maupun kapasitas. Bagaimana dengan Indonesia?
ADVERTISEMENT
Dilalui garis khatulistiwa membuat negara kita memiliki potensi energi surya yang sangat luar biasa. Equator yang membentang melewati Kota Bonjol di Sumatera Barat hingga Pulai Amberi di utara kepala burung Papua, mencatatkan potensi energi surya sebesar 207,8 giga watt (GW), atau hampir tiga kali kapasitas total pembangkit yang dimiliki Indonesia saat ini (73 GW). Sayangnya, potensi tersebut baru termanfaatkan sekitar 154 megawatt (MW), kurang dari satu persennya saja.
Pembangunan PLTS pun terus dikejar. Tak tanggung-tanggung, Pemerintah menargetkan kapasitas PLTS terpasang sebesar 6,5 GW pada 2025. PLTS dianggap sebagai solusi energi alternatif yang ramah lingkungan dan paling cepat diimplementasikan, bagian dari kontribusi nyata Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim dunia.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, 7 PLTS telah dioperasikan. Setelah menambah tiga PLTS dengan total kapasitas 15 Megawatt (MW), pada medio 2019 PLN kembali menambah kapasitas listrik dengan mengoperasikan PLTS Sambelia di Lombok Utara. Tak mau kalah, NTT dan Kalbar berencana membangun PLTS skala besar. Bahkan di Provinsi Babel dan beberapa provinsi lainnya, PLTS akan didirikan di lahan bekas tambang.
ADVERTISEMENT
Yang masih hangat di ingatan, PLTS terapung Cirata dengan kapasitas “raksasa” siap dibangun, ditandai dengan ground breaking yang dilakukan akhir tahun lalu. PLTS ini merupakan hasil patungan PLN dengan Masdar, sebuah perusahaan EBT yang berbasis di Abu Dhabi, dengan nilai investasi sebesar USD129 juta. Saat beroperasi nanti, PLTS ini digadang-gadang akan menjadi PLTS terapung terbesar di ASEAN berkapasitas 145 MW.
Dari sisi biaya produksi, PLTS (solar photovoltaic) semakin bersaing. Dalam satu dekade terakhir, penurunan biaya produksi PLTS mencapai lebih dari 80%, paling tajam dibanding jenis energi terbarukan lain. Dampaknya, semakin banyak pula konsumen yang mulai melirik, tak hanya dalam skala besar, tapi juga ketertarikan sektor bisnis dan rumah tangga yang ingin membeli secara “ketengan”.
ADVERTISEMENT
Peluang penghematan tagihan juga menjadi tawaran yang menjanjikan. Mendorong pemanfaatan PLTS Atap, lahir beleid yang mengatur keleluasaan meng-ekspor kelebihan listrik yang dihasilkan ke PLN dan bisa mengurangi tagihan listrik di bulan berikutnya. Dengan skema ekspor-impor ini, penghematan tagihannya bisa mencapai 30 persen.
Meski dalam jangka panjang investasi listrik surya ini sangat menguntungkan, PLTS Atap di sektor rumah tangga sebagian besar masih dinikmati masyarakat kelas menengah atas. Biaya awal pemasangan sekitar Rp20 juta per kW masih dirasa cukup mahal, belum menjadi prioritas masyarakat Indonesia pada umumnya.
Bagaimana dengan konsumen dengan kantong pas-pasan yang ingin berkontribusi terhadap penurunan emisi lewat pemasangan surya atap?
Skema yang terjangkau dan memungkinkan untuk kalangan rumah tangga saat ini adalah melalui koperasi. Koperasi Amoghasiddhi di Kota Denpasar menjadi salah satu pionir skema pinjaman PLTS Atap. Memasang harga paket pinjaman senilai Rp35 juta untuk kapasitas PLTS Atap 1 kWp, koperasi tersebut memberikan tenor cicilan selama maksimal 3 tahun.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, perbankan dan lembaga keuangan lainnya masih enggan memberikan skema pinjaman PLTS Atap. Resiko gagal bayar masih menjadi isu bagi pembiayaan sektor rumah tangga. Berbeda dengan motor atau mobil yang bisa langsung ditarik saat gagal bayar, PLTS Atap dipasang khusus sesuai tipikal masing-masing rangka atap/dinding. Hingga saat ini masih belum ditemukan skema jaminan yang bisa diterima perbankan ketika terjadi gagal bayar.
Ke depan, dibutuhkan sinergi dari semua pihak untuk mendukung program ini. Mungkin akan lebih baik pula bila kemudian lahir sebuah lembaga konsultasi yang secara khusus menangani pembangunan surya atap, sehingga percepatan program tak hanya sebatas wacana. Bila sudah banyak pihak yang ingin berkontribusi, gemerlap listrik dari surya atap di berbagai kota mungkin bukan mimpi lagi. Masih menunggu jadi konglomerat untuk memasang listrik surya atap?
ADVERTISEMENT