Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perjalanan Media Massa dari Orde Baru hingga Reformasi
13 Juni 2022 14:41 WIB
Tulisan dari khoirul trianita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Media massa memiliki peran yang sangat penting dalam menyebarkan informasi kepada publik. Hal ini dapat dilihat dari kualitas informasi yang di dapat oleh publik dari publikasi media terutama pers. Semakin baik kualitas media dalam mengemas informasi maka akan semakin baik pula kualitas informasi yang di dapat oleh masyarakat. Sayangnya, banyak faktor yang dapat mempengaruhi kualitas informasi yang dikemas oleh media, salah satunya adalah kebebasan media dalam mencari, mengolah, dan menyebarkan informasi.
ADVERTISEMENT
Pers di Indonesia
Pers di Indonesia sendiri telah berkembang sejak zaman penjajahan, dimana pada pertengahan abad ke-18 orang belanda mulai memperkenalkan penerbitan surat kabar di Indonesia. Hingga pada tahun 1746 Indonesia dapat merilis surat kabar pertama yaitu Bataviase Nouvelles yang kemudian menjadi awal mula perkembangan surat kabar di Indonesia.
Pada awal kemerdekaan dan sepanjang masa Demokrasi Terpimpin hingga menjelang masa Orde Baru (1966) kehidupan politik terutama dunia kepartaian sangat mempengaruhi kehidupan pers nasional. Terdapat pola pertentangan antara kelompok pemerintah dan kelompok oposisi dalam dunia kepartaian yang kemudian ditumbuhkan dalam dunia pers. Hal tersebut menyebabkan adanya pihak pers pendukung pemerintah (pro kabinet) dan pihak pers oposisi.
Pada masa Demorasi Terpimpin dimana diberlakukannya kembali UUD 1945, pola pertentangan partai masih bertahan. Pada masa Demorasi Terpimpin tersebut, wartawan Indonesia dan Persatuan Wartawan Indonesia tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Masa Orde Baru
Inge Hutagalung dalam artikelnya yang berjudul Dinamika Sistem Pers di Indonesia yang diterbitkan di Jurnal Interaksi Vol. 2 No. 2 (2013) menjelaskan bahwa pada masa Orde Baru, pers dinyatakan sebagai salah satu media pendukung keberhasilan pembangunan. Sehingga bentuk isi pers Indonesia perlu mencerminkan pembangunan. Dari kenyataan ini terlihat jelas bahwa pers Indonesia tidak mempunyai kebebasan karena pers harus mendukung program pemerintah Orde Baru.
Awal masa orde baru, Soeharto menjanjikan adanya kebebasan pers melalui Undang-Undang Pokok Pers Nomor 11 Tahun 1966. Nyatanya, banyak peristiwa yang membuktikan bahwa justru pada masa orde baru kebebasan pers sangat dibatasi bahkan dirampas. Menurut jurnal yang ditulis Satrio Saptohadi, Universitas Jendral Soedirman yang berjudul ‘Pasang Surut Kebebasan Pers di Indonesia’, sepintas, UU No.11 Tahun 1966 ini memberikan kemerdekaan pers.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika ditelusuri lebih lanjut mengenai pasal-pasal yang terkandung di dalamnya justru banyak hal yang bertentangan dengan kebebasan pers yang dijanjikan. Salah satu hal yang tidak wajar adalah adanya pasal yang berlawanan, misalnya dalam Pasal 5 Undang-undang No.11 Tahun 1966, disebutkan “Terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan”. Namun pada pasal 20 ayat 1 dikatakan “Untuk menerbitkan pers diperlukan Surat Izin Terbit”.
Undang-undang No.11 Tahun 1966 ini kemudian diganti dengan Undang-undang No.21 Tahun 1982 tentang Surat Izin Usaha Percetakan dan Penerbitan (SIUPP), tetapi tidak ada perubahan secara substansial. Kebebasan pers tetap dikontrol oleh pemerintah melalui surat izin terbit yang semakin diperkuat melalui SIUPP. Bahkan surat izin terbit ini menjadi salah satu ladang korupsi bagi pemerintah karena banyaknya permintaan namun begitu sulit mendapatkan izin.
ADVERTISEMENT
Masa Reformasi
Pada tahun 1998, lahir gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru yang kemudian melahirkan peraturan perundang-undangan sebagai pengganti peraturan perundangan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Berdasarkan teori media normatif, pers di era reformasi menggambarkan liberal pluralis or marked model, dimana isu-isu yang diliput oleh pers semakin beragam. Banyak bermunculan penerbitan baru baik bentuk tabloid, majalah, maupun surat kabar. Sayangnya, peningkatan kualitas media belum disertai dengan perbaikan kualitas jurnalisme. Sehingga banyak media yang menuliskan informasi yang tidak berdasarkan dengan data dan fakta.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Yin dengan judul Beyond The Four Theoiries of The Press: a New Model Fot The Asian & The Word Press (2008), bahwa sistem pers di Indonesia pada era reformasi termasuk sistem pers bebas dan tidak bertanggung jawab. Artinya, sistem pers di Indonesia benar-benar telah begitu bebas, sehingga gagal untuk mengedepankan prinsip-psinsip dasar jurnalistik dan tidak memiliki peran positif dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Banyak media yang melanggar prinsip dasar jurnalisitik, yaitu dalam menyampaikan kebenaran. Sistem pers di dekte oleh kekuatan pasar, isinya cenderung sensasional, kurang penghargaan pada etika, serta banyak kekerasan dan pornografi. Pers kerap digunakan sebagai kepentingan politik pribadi maupun kelompok tertentu. Hal ini sebagai dampak pemusatan kepemilikan media pada segelintir orang.