Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kitab Kuning: Warisan Intelektual Islam yang Tak Lekang oleh Zaman
18 Desember 2024 16:36 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Fira Khoirunisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kitab kuning, sebutan akrab untuk kitab-kitab klasik karya ulama-ulama Muslim pada zaman dahulu yang mengajarkan tentang berbagai disiplin ilmu seperti nahwu, shorof, tauhid, fiqih, dan lain sebagainya. Dikutip dari Masdar F. Masudi dalam “Literatur Kitab Kuning dan Metode Pengajaran”, dinamakan kitab kuning karena kitab-kitab tersebut kertasnya berwarna kuning, hal ini disebabkan warna kuning dianggap lebih nyaman dan mudah dibaca dalam keadaan yang redup. Ketika penerangan masih terbatas di masa lampau, utamanya di desa-desa, para santri di lingkungan pesantren terbiasa belajar di malam hari dengan pencahayaan seadanya. Meskipun penerangan saat sekarang ini telah mudah, kitab-kitab tersebut sebagian tetap diproduksi menggunakan kertas warna kuning mengikuti tradisi, walaupun ada juga yang telah dicetak pada kertas berwarna putih (HVS).
ADVERTISEMENT
Kitab kuning adalah bukti kejayaan intelektual Islam pada zaman dahulu yang masih terus relevan hingga saat ini. Namun, ditengah arus globalisasi dan digitalisasi apakah kitab kuning tetap mampu bertahan tetap pada peranannya?
Jawabannya dapat kita temukan terutama di lingkungan pondok pesantren yang sampai saat ini para santrinya masih mengkaji kitab kuning secara mendalam. Melalui metode pengajaran dan juga nilai-nilai universal di dalamnya, pondok pesantren memastikan bahwa warisan intelektual umat Islam ini dapat terus hidup dan relevan untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat manusia pada era modern ini. Selain itu, kitab kuning juga termasuk dalam salah satu unsur yang harus ada pada pesantren, seperti dikutip dari Zamakhsyari Dhofier dalam “Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai” yang mengemukakan bahwa pondok, masjid, santri, pengajian kitab Islam klasik, dan kyai merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren.
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah kita bahas pada penjelasan sebelumnya, bahwa kitab kuning meskipun sudah ada sejak berabad-abad yang lalu tetapi isinya masih relevan sampai saat ini. Sehingga para ulama-ulama kontemporer banyak yang mengambil rujukan terkait dengan isu-isu yang terjadi pada masa kini, misalnya isu mengenai lingkungan. Banyak kitab-kitab fiqih yang dijadikan sebagai dasar rujukan bagaimana seharusnya manusia hidup berdampingan dengan alam.
Namun, relevansi kitab kuning bukan berarti tidak ada tantangan, seperti yang kita ketahui generasi muda sekarang hidup di era digital yang lebih suka belajar dengan cara yang cepat dan mudah, seperti lewat gambar atau video. Sehingga kitab kuning yang ditulis menggunakan bahasa arab klasik dianggap kurang menarik. Hal tersebut merupakan salah satu tantangan yang harus kita benahi bersama. Salah satu upaya yang mungkin bisa kita usahakan untuk menarik minat generasi muda adalah dengan cara menerjemahkan kitab kuning ke bahasa yang mudah dipahami atau memanfaatkan teknologi digital untuk menyebarluaskan isinya.
ADVERTISEMENT
Agar kitab kuning ini tetap hidup pada zaman sekarang, perlu ada cara untuk memadukan antara tradisi dan juga inovasi. Salah satu contohnya adalah melakukan digitalisasi kitab-kitab tersebut agar lebih mudah diakses oleh khalayak ramai. Sekarang sudah banyak platform online yang menyediakan kitab kuning dalam bentuk e-book dan aplikasi, sehingga siapapun dapat mempelajarinya tanpa terhalang jarak dan waktu.
Fira Khoirunisa, Mahasiswi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung