Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Budaya Matrilineal: Paradoks Ruang Aman bagi Perempuan dari Kekerasan
15 Desember 2023 12:56 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Kholisha Husna Syihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Selama 10 tahun terakhir tren laporan kekerasan perempuan mengalami fluktuasi. Tahun 2022 menjadi tahun dengan jumlah tertinggi pelaporan kasus kekerasan perempuan di Indonesia. Lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 1.
Adapun, definisi mengenai kekerasan terhadap perempuan menurut Komnas Perempuan adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian ekonomi, sosial, budaya dan atau politik (Komnas Perempuan, 2018)
Secara umum, Komnas Perempuan membagi kekerasan terhadap perempuan dan anak ke dalam tiga ranah, yakni personal (privat)–konteksnya rumah tangga dan termasuk relasi kekerasan dalam pacaran dan relasi intim–(Masruchah, 2017), komunitas (publik)–kekerasan yang terjadi di masyarakat di ruang publik–, dan negara–ketika aparat negara yang bertanggung jawab sebagai pelaku kekerasan atau melakukan pembiaran ketika pelanggaran HAM terhadap perempuan terjadi.
ADVERTISEMENT
Dari ketiga ranah tersebut, ranah personal selalu mendominasi laporan kasus di tiap tahunnya. Pada tahun 2022, Kekerasan di ranah personal sebesar 99% atau 336.804 kasus. Pada tahun 2021, sebesar 335.336 kasus. Kemudian di tahun 2020 juga masih mendominasi dengan 6.480 kasus. Dari laporan kasus ranah personal tersebut, pada tahun 2022, sebesar 91% adalah kasus KDRT (Sinombor, S.H. 2023).
Berbagai literatur menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan—dalam hal ini kasus KDRT—terjadi, salah satunya, karena telah mengakarnya budaya patriarki di Indonesia. Patriarki sendiri adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki memiliki kekuasaan dan kontrol yang lebih tinggi daripada perempuan (Fushshilat, S. R., & Apsari, N. C.2020). Hal tersebut tercermin dari laporan kasus KDRT, korbannya selalu didominasi oleh perempuan (Apriliandra, S., & Krisnani, H. 2021).
ADVERTISEMENT
Walaupun budaya patriarki telah terpatri dan ternormalisasi di tengah masyarakat Indonesia, hal berbeda terjadi di Sumatera Barat. Suku Minangkabau di Sumatera Barat adalah penganut budaya matrilineal terbesar di dunia (KEMENKUMHAM, n.d). Sistem kekerabatan matrilineal menempatkan perempuan Minangkabau mempunyai posisi yang penting. Sebagaimana nama panggilan kepada perempuan yang telah menikah yakni Bundo Kanduang–ibu sejati bagi keluarga.
Sehingga, harta dikuasai oleh perempuan, laki laki yang dituakan dalam keluarga bertugas sebagai pemimpin namun tetap sesuai dengan arahan, petunjuk dan persetujuan Bundo Kanduang. Pewarisan gelar adat juga didasarkan pada garis ibu, dan pasangan baru yang telah menikah akan tinggal di keluarga istri (matrilokal) (Agustin. A, 2022).
Dengan fakta demikian, idealnya, kekerasan terhadap perempuan seharusnya tidak terjadi di wilayah yang kental akan matriarki. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Sebagaimana data yang dikumpulkan LSM Nurani Perempuan dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi 480 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 270 kasus kekerasan seksual di Sumatera Barat (Elian, P. 2021).
ADVERTISEMENT
Pun, Organisasi Women's Crisis Center/WCC mencatat sepanjang tahun 2021 angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ KDRT di Padang meningkat hingga menduduki angka 104 kasus (Rahma, 2023). Padahal jika keputusan tertinggi dalam sistem matrilineal memang dipegang oleh Bundo Kanduang, tentu Bundo Kanduang akan menegur niniak-mamak yang menormalisasi kekerasan terhadap perempuan.
Secara konstitusional pun, Indonesia telah memberikan perlindungan secara khusus terhadap perempuan khususnya dalam rumah tangga melalui UU Nomor 7 Tahun 1984 dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Nisa, H. 2018).
Berdasarkan fakta dan data tersebut, penulis tertarik untuk menilik bagaimana realitas KDRT di dalam keluarga suku Minangkabau, Sumatera Barat yang notabenenya menganut matrilineal. Dengan mencari tahu bagaimana bentuk-bentuk kekerasan yang diterima perempuan Minang—Bundo Kanduang—dan apa yang menjadi faktor penyebab hal tersebut terjadi?
ADVERTISEMENT
Laporan dari Kepala Dinas DP3AP2KB menemukan bahwa terjadi peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di Sumatera Barat pada tahun 2020-2022. Meningkat dari 8.864 (2020) menjadi 8.686 (2021) dan 10.247 (2022) (Silvianetri, S., & Irman, I. 2022). Adapun berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2022, 2021, dan 2020 masing-masing sebanyak 8.702; 9.201; dan 130 kasus.
Walaupun terdapat perbedaan besaran jumlah antara data lokal dan data dari Komnas Perempuan, namun, dapat dipahami bahwa di wilayah yang menganut matriarki–Sumatera Barat–, jumlah kasus yang terjadi tidak sedikit dan terjadi peningkatan. Hal tersebut dapat menyiratkan dua hal, pertama, diketahuinya sekian jumlah kekerasan ini, terhadap perempuan minang karena secara nyata di dalam masyarakat terjadi demikian; kedua, terjadi peningkatan kesadaran masyarakat untuk melaporkan kekerasan kepada lembaga berwenang.
ADVERTISEMENT
Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Bundo Kanduang
Dalam penelitian Silvianetri, S., & Irman, I. (2022) di salah satu daerah Sumbar yang memiliki tingkat perceraian yang tinggi yakni Lintau Buo Utara, terungkap bahwa kekerasan dalam rumah tangga telah memicu tingginya angka perceraian di wilayah tersebut. Bahkan, yang menjadi korban dalam KDRT tersebut dominannya adalah perempuan. Lebih lanjut, dalam penelitian Anggraini, N. (2007) dijelaskan secara rinci bagaimana bentuk-bentuk KDRT terhadap perempuan di Sumatera Barat, khususnya kota Bukittinggi sebagai pusat kebudayaan Minangkabau.
Responden dalam penelitian tersebut sebanyak 30 orang perempuan yang berstatus sebagai istri–Bundo Kanduang. Dari 30 orang responden diperoleh data sebanyak 33,33% mengalami KDRT secara fisik dalam bentuk perilaku dipukul, dicekik, ditampar, dijambak, dipotong rambutnya dan didorong sampai jatuh serta ditendang. Selanjutnya, secara psikologis (emosional), seperti dimarahi, dibentak dengan kata-kata kasar, diejek/dihina, diancam dan diusir, dialami oleh 70% responden.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sebesar 46,67% mengalami KDRT secara ekonomi dalam bentuk tidak diberi uang belanja dan menghabiskan uang istri. Terakhir adalah melakukan hubungan suami istri tanpa persetujuan istri dan tanpa memperhatikan kepuasan pihak istri, ditemui sebanyak 10%. Pun dalam penelitian Suryani, I. (2022) yang mewawancarai perempuan Minang di komunitas Bundo Kanduang dan Ninik Mamak yang berada di Kabupaten Tanah Datar yakni, Kecamatan Limokaum, Kecamatan Tanjung Emas, dan Kecamatan Lintau Buo Utara mengenai bentuk-bentuk KDRT yang pernah diterimanya.
Hasilnya, tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang penulis kutip sebelumnya. Mayoritas jawaban dari informan penelitian tersebut, mengenai bentuk-bentuk kekerasan yang dialami, seperti kata-kata kasar, kekerasan fisik terutama tangan, mengancam, dan penelantaran nafkah. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi kekerasan terhadap perempuan di tengah masyarakat matrilineal tidak terelakkan.
ADVERTISEMENT
Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan terhadap Bundo Kanduang
Selanjutnya, membahas mengenai faktor-faktor yang menyebabkan KDRT pada perempuan Minang. Pertama, berdasarkan informasi dari Koordinator Divisi Layanan Nurani Perempuan, salah satu pemicu masih tingginya kasus kekerasan tersebut karena faktor pendidikan termasuk cara pandang yang berbeda terhadap kekerasan (Nasution, M. 2018). Kedua, terjadi perubahan fungsi dan peran keluarga (Zurwanty, R. H. (2020).
Posisi perempuan minang dalam keluarga modern relatif lebih rentan terhadap kekerasan terutama berkaitan dengan semakin jaraknya perempuan dengan kerabat matrilineal (Suryani, I. 2022). Ketiga, kegagalan sosialisasi di masyarakat terkait pemahaman terhadap norma, aturan, dan peraturan yang ada (Zurwanty, R. H. 2020). Keempat, terdapat kecenderungan praktik budaya matrilineal di Sumatera Barat, saat ini, mencirikan budaya matrilineal patriarki.
ADVERTISEMENT
Artinya, konsep kekuasaan perempuan di Minangkabau hanya sebatas kelanjutan garis keturunan, sedangkan kekuasaan strategis masih dipegang oleh laki-laki (Bahardur, I. 2023). Terakhir, pemicunya dapat terjadi karena emosional atau kesal terhadap perilaku istri, tidak patuh kepada suami, pertengkaran karena masalah anak, ekonomi, tidak beres mengurus rumah tangga sampai karena faktor cemburu (Anggraini, N. 2007).
Dengan demikian, eksistensi budaya matrilineal dalam suatu masyarakat, ternyata tidak menjamin ruang aman bagi perempuan dari tindak kekerasan. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh Bundo Kanduang di Sumatera Barat menjadi buktinya. Berbagai faktor penyebab kekerasan tersebut menjadi gambaran bahwa apabila tidak adanya kesadaran dari masing-masing individu–utamanya pelaku KDRT–untuk bisa mengontrol diri dan memahami kekerasan itu sendiri, bentuk-bentuk kekerasan sebagaimana yang telah dijelaskan akan terjadi tanpa memandang hormat, adat yang seharusnya diingat.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga perlu menjadi perhatian pemerintah setempat serta pemerintah Indonesia secara umum, untuk selalu berupaya menciptakan ruang aman bagi semua, terutama perempuan yang rentan akan kekerasan. Caranya dapat dengan memperkuat penegakan hukum kepada pelaku kekerasan, melindungi korban dan melakukan tindakan preventif berupa sosialisasi mengenai kekerasan, khususnya KDRT pada suami-istri, agar lebih memahami batasan-batasan yang seharusnya dihindari demi kehidupan yang harmonis.