Konten dari Pengguna

Harapan dan Realitas Perempuan di Masa Kini

Khopipah Fauziah
Mahasiswa Ilmu Sejarah UNNES
14 Oktober 2024 16:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khopipah Fauziah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Macam-macam kekerasan seksual berdasarkan merdeka dari kekerasan kemdikbud (dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Macam-macam kekerasan seksual berdasarkan merdeka dari kekerasan kemdikbud (dokumentasi pribadi)
Hampir setiap hari selalu ada berita-berita negatif terkait perempuan baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Menurut data dari Komnas Perempuan Indonesia mencatat sebanyak 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2023. Meskipun mengalami penurunan sekitar 12% atau 55.920 kasus dibanding tahun sebelumnya, namun angka ini dinilai masih tinggi. Data CATAHU (Catatan Tahunan) merupakan gabungan dari kasus-kasus yang dilaporkan dan ditangani oleh lembaga layanan baik dari masyarakat sipil maupun pemerintah, Badan Peradilan Agama (Badilag), rumah sakit, pengadilan, kepolisian dan layanan lainnya. Karakteristik korban masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu lebih muda dan memiliki pendidikan yang lebih rendah dari pelaku.
ADVERTISEMENT
Pelaku kekerasan terhadap perempuan merupakan orang-orang yang seharusnya menjadi panutan dan pelindung. Akar masalah juga terkadang terjadi ketika ada ketimpangan kekuasaan antara pelaku dan korban misalnya seperti memiliki jabatan, kekuasaan politik, pengetahuan, ataupun tokoh keagamaan. Seperti yang diberitakan oleh BBC News Indonesia, Herry Wirawan melakukan pemerkosaan terhadap 13 santriwati sejak 2016 hingga 2021. Perilaku yang tidak manusiawi ini mendapatkan ganjaran hukuman seumur hidup. Namun, perilaku kekerasan seksual terhadap perempuan dari para tokoh agama tidak berhenti saat putusan itu ditetapkan. Kasus lain oleh pelaku bernama Moch Subchi Al Tsani atau Bechi yang telah melakukan kekerasan seksual terhadap para santriwati sejak 10 tahun yang lalu. Mirisnya, ratusan pendukungnya menghalang-halangi proses penangkapan. Mereka juga melakukan intimidasi terhadap korban maupun keluarganya. Bahkan, dalam ruang ibadah pun masih terjadi pelecehan seksual terhadap perempuan seperti yang diberitakan oleh Jawa Pos terkait guru agama sekaligus marbot masjid yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Saat ibadah pun para perempuan tidak bisa merasa aman lalu bagaimana ketika mereka sedang melakukan aktivitas sehari-hari? Lalu, akhir-akhir ini terdapat banyak pemberitaan terkait kekerasan seksual terhadap perempuan seperti pemerkosaan terhadap siswi SMP oleh 6 remaja di Riau, pembunuhan serta pemerkosaan perempuan penjual gorengan di Sumatera Barat, pembunuhan dan pemerkosaan siswi SMP di Palembang oleh empat orang anak, dan masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang terus terjadi.
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus di atas menimbulkan rasa ketidaknyamanan dan ketidakamanan perempuan di berbagai tempat baik ruang publik maupun pribadi. Selain perilaku-perilaku tidak menyenangkan yang terjadi pada perempuan, dalam hal partisipasi perempuan pun masih sangat kecil (Simamora 2024). Komnas Perempuan berharap bahwa DPR yang baru dilantik pada tahun ini dapat menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan sebagai bentuk pertanggungjawaban negara dalam menghormati HAM. Agenda prioritas Komnas Perempuan yaitu mendorong DPR untuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), RUU perlindungan masyarakat adat khususnya perempuan adat dan penganut agama leluhur, memberikan perhatian khusus dalam upaya pemulihan perempuan korban kekerasan dan terkena dampak krisis iklim dalam RUU terkait lingkungan, RUU Kepulauan untuk memperkuat layanan bagi perempuan korban kekerasan, Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, meningkatkan alokasi anggaran dalam pengembangan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, menyetujui dana dukungan bagi korban dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), melakukan tinjauan terhadap pelaksanaan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), memastikan Proyek Strategis Nasional untuk persetujuan yang benar, dan mendorong pengembangan pengawasan terhadap UU Cipta Kerja yang berpotensi rentan eksploitasi terhadap pekerja perempuan (Wiryono & Santoso 2024).
ADVERTISEMENT
Menurut berbagai informan yang kami wawancarai mulai dari pendidik, mahasiswa, ibu rumah tangga hingga anak-anak menghasilkan beragam jawaban terkait harapan yang kami rangkum berikut ini. Pertama, perempuan ingin lebih dihargai peranannya dalam berbagai bidang baik dalam pekerjaan maupun pendidikan. Kedua, perempuan tidak ingin dipandang sebelah mata terutama ketika telah menjadi seorang istri ataupun ibu. Dalam tulisan berjudul Di Bawah Bayang-Bayang Ibu: Stigma, Rasa Malu, dan Kesempatan sebagai Janda menjelaskan bahwa terdapat banyak stereotip yang disematkan kepada perempuan. Ibu misalnya, dianggap sebagai perempuan yang patuh pada biologis sebagai istri dan ibu penuh kasih sayang. Perempuan dituntut untuk selalu menanggung tugas utamanya tersebut meskipun mereka diperbolehkan untuk bekerja. Sementara janda terkadang dianggap sebagai perempuan yang tidak baik akibat ketakutan para istri jika suami mereka diganggu oleh perempuan yang telah bercerai ini. Gosip-gosip yang beredar membuat stigma terhadap perempuan semakin meradang dan mengarah kepada pengucilan dalam kehidupan nyata. Ketiga, perempuan ingin merasa aman baik dalam ranah pribadi maupun ranah publik. Mereka ingin bisa bepergian sendiri secara aman baik untuk menuntut ilmu atau pun bekerja. Selain itu, keamanan dan kenyamanan merupakan hak setiap makhluk hidup yang harus dihormati oleh orang lain.
ADVERTISEMENT
Hampir segala cara digunakan untuk mencari keadilan untuk para perempuan. Namun banyak tantangan serta ancaman ketika partisipasi perempuan dikerdilkan. Diawali dari kecilnya wakil perempuan dalam politik, padahal berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017 dan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bahwa partai politik harus memenuhi persyaratan kuota 30% agar lolos pemilu. Namun, pada Pemilu 2024 mayoritas partai politik tidak memenuhi persyaratan ini (Simamora 2024). Belum lagi pemiskinan terhadap perempuan melalui kebijakan upah murah, kontrak yang pendek serta sistem No Work No Pay dimana perempuan lebih banyak cuti untuk urusan alamiah seperti melahirkan, haid, hamil dan lainnya. Selain itu, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) masih belum terlihat hilalnya. Padahal jika RUU ini disahkan setidaknya dapat membuat perempuan sedikit bernapas.
ADVERTISEMENT
Akhir kata, penulis yang merupakan seorang perempuan dapat memahami kegelisahan-kegelisahan yang terjadi di kalangan kami. Kami merasa takut sekadar untuk mencari makan, takut ketika melewati tempat yang sepi, takut kepada pandangan-pandangan orang dan juga takut terhadap stigma-stigma yang beredar dari mulut ke mulut. Oleh karena itu, tulisan-tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan serta apa yang dirasakan oleh para perempuan diluaran sana yang terus berjuang melawan ketidakadilan.