ISWANTO, SENIMAN SAMPAH DARI DESA SUKUNAN

Konten dari Pengguna
5 Maret 2018 0:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khotijahtus Sadiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi di kota-kota besar di Indonesia, berdampak pada peningkatan jumlah sampah yang dihasilkannya. Permasalahan sampah merupakan masalah yang belum dapat terselesaikan dengan baik di Indonesia. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dinyatakan bahwa setiap harinya masyarakat Indonesia memproduksi 70 juta ton setiap harinya. Di DKI Jakarta sendiri jumlah sampah yang dihasilkan mencapai 70 ribu ton per harinya. Sebanyak 60% dari sampah tersebut merupakan sampah domestik atau rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Rata-rata setiap tahunnya, produksi sampah di Indonesia mengalami kenaikan sebanyak 1 juta ton. Sayangnya kenaikan produksi sampah ini tidak diikuti dengan peningkatan pengelolaan sampah yang baik. Permasalahan sampah di Indonesia diperparah dengan adanya paradigma sistem pengelolaan sampah kumpul-angkut-buang yang telah membudaya lama di masyarakat. Selain itu, masyarakat yang peduli dengan masalah sampah ini juga dapat dikatakan masih kecil.
Diantara sedikit masyarakat yang peduli dengan sampah itu terdapat nama Iswanto Noto, pria asli Yogyakarta ini mendedikasikan hidupnya untuk persoalan lingkungan, khususnya sampah. Jangan salah sangka ya, meskipun bergumul dengan sampah, Iswanto bukan tidak memiliki pekerjaan tetap. Pria lulusan Program S3 Ilmu Lingkungan dari Unversitas Gajah Mada ini, sehari-harinya merupakan dosen tetap Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Berawal dari permasalahan yang kerap muncul akibat sampah di lingkungan tempatnya tinggal, Desa Sukunan, Kelurahan Banyuraden, Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Iswanto kini berhasil menggerakkan penduduk di desanya untuk mengelola sendiri sampahnya (swakelola). Untuk menerapkan swakelola sampah ini, Iswanto harus mengubah persepsi penduduk setempat terkait sampah. Perlahan namun pasti, Iswanto dapat mengubah pandangan masyarakat dari konsep “membuang” ke konsep “mengolah”. Iswanto mengakui pendidikan mengenai sampah harus ditanamkan sedini mungkin, dan disini peranan keluarga, masyarakat, dan sekolah, menjadi sangat penting.
Setelah konsep “mengolah” sampah tertanam, masyarakat mulai mengubah cara pandangnya mengenai sampah. Disini, Iswanto memperkenalkan konsep 3R, yaitu Reduce (mengurangi sampah, misalnya menggunakan sapu tangan, bukan tisu), Re-use (meggunakan kembali barang yang masih bisa dipakai), dan Recycle (daur ulang sampah). Akibat inovasinya dalam pengelolaan sampah, masyarakat Desa Sukunan mampu mengolah sendiri sampahnya, tanpa memberikan beban pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
ADVERTISEMENT
Dalam pelaksanaannya, sistem pengelolaan sampah yang ia rilis terbilang sederhana. Langkah mendasar yang ia lakukan bersama-sama dengan masyarakat sekitarnya ialah memilah sampah menjadi tiga kategori sesuai jenis sampah: sampah organik, sampah jenis plastik, dan sampah jenis lain (berupa sampah logam, kaca, dan sebagainya).
Penanganan Sampah Organik
Penanganan sampah organik ditujukan pada pembuatan kompos mandiri. Pembuatan kompos ini dilakukan pada tiap rumah tangga dan tiap Rukun Tetangga (RT) kampung. Prosesnya sangat mudah, murah, serta bermanfaat. Sampah organik dibedakan menjadi 2, yaitu sampah dapur dan sampah pekarangan.
Sampah dapur tiap rumah diselesaikan dirumah masing-masing. Tiap rumah diberikan 2 buah gentong yang tujuannya untuk dipakai bergantian tiap kali gentong penuh. Gentong yang akan dipakai sebelumnya sudah dibolongi bagian bawahnya, dan berisi kerikil dan sampah yang hampir menjadi kompos. Akselerator pembusuk berupa inokulen akan diberikan untuk mempercepat proses pembusukan, dan harus diaduk. Jika gentong 1 sudah penuh maka proses pembuatan kompos pindah digentong ke-2 sambil menunggu panen kompos di gentong pertama. Begitu berselang seling gentong satu dan dua.
ADVERTISEMENT
Sampah pekarangan seperti (kebanyakan) dedaunan kering disatukan pada bak besar yang ditepatkan strategis di tiap RT untuk diolah menjadi kompos juga. Proses pengolahannya hampir sama dengan kompos dapur. Tetapi kali ini sebagai “kompos jadi” pada layer pertama diisi oleh kotoran hewan.
Hasil kompos produk rumah tangga biasanya mereka pakai sendiri untuk sawah mereka atau jika kelebihan mereka bisa menjualnya ke koperasi dusun yang khusus mengurusi kompos. Hasil penjualan yang terkumpul digunakan lagi untuk mengolah sampah dan untuk upah angkut sampah. Dengan alur seperti itu, warga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mengelola sampah mereka.
Penanganan Sampah Non-Organik
Tiap rumah tangga akan diberikan 3 tong sampah untuk memisahkan sampah plastik, logam dan kaca, serta kertas kemudian membuangnya ke tong-tong sampah sesuai jenis sampah dusun untuk dikekola lebih jauh. Sampah sampah ini akan dibawa ke tempat pengumpulan sampah sementara dusun untuk dipilah mana yang masih dapat dijual mana yang tidak laku dijual. Hampir semua sampah non-organik laku dijual ke pengepul kecuali : Styrofoam, bekas pembalut/pampers, dan bungkus makanan yang berlapis alumunium foil.
ADVERTISEMENT
Sampah yang tidak laku dijual ini oleh desa diolah menjadi ‘barang’ lagi. Sampah plastik dari bungkus makanan/minuman sachet yang berlapis alumunium, misalnya, dimanfaatkan untuk dibuat kerajinan, berupa tas, dompet, topi, dan masih banyak lagi. Styrofoam dapat dihancurkan menjadi bubur styrofoam untuk diolah menjadi pot dan batako yang dicampurkan dengan semen dan pasir (dengan takaran tertentu) untuk dijual. Iswanto mengakui bahwa keuntungan ekonomi hanyalah salah satu sarana untuk memancing kesadaran masyarakat dari sistem swakelola sampah ini, selain keuntungan dalam aspek kesehatan dan kebersihan lingkungan.
Pemanfaatan sampah plastik dari bungkus makanan/minuman sachet berlapis alumunium, untuk dibuat kerajinan tangan berupa tas, dompet, topi, dan lain-lain.
Penanganan Sampah Jenis Lain
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan sampah non-organik, untuk sampah-sampah yang terbuat dari bahan gelas, kaca, dan sebagainya, masyarakat Sukunan memanfaatkannya untuk dijadikan batako berbahan dasar kaca.
Kini Masyarakat Desa Sukunan masih mengelola sendiri sampahnya. Atas keberhasilannya dalam menyandang pelopor pengelolaan sampah berbasis komunitas, tidak heran jika Iswanto meraih penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia pada tahun 2012. Tidak jarang Iswanto juga meladeni tamu yang datang ke kediamannya untuk melakukan studi banding sistem swakelola sampah di komunitas. Sejak tahun 2009, Desa Sukunan resmi menjadi kampung wisata berbasis lingkungan (eco-tourism) bagi mereka yang ingin berwisata sambil belajar pengolahan sampah.
Setiap harinya, Desa Sukunan kedatangan wisatawan domestik dan mancanegara yang ingin berwisata sambil belajar pengelolaan sampah dengan konsep 3R
ADVERTISEMENT
Ketika berkesempatan untuk mengunjungi Desa Sukunan, saya sulit untuk menemukan sampah. Di depan gerbang masuk desa, terdapat larangan bagi pemulung untuk masuk, karena semua sampah akan dikelola secara mandiri oleh semua masyarakat. Masyarakat dapat menikmati hasil nyata dari swakelola sampah mereka. Petani tidak lagi merugi karena tidak ada lagi sampah plastik masuk area persawahan mereka yang dapat menghambat pertumbuhan akar padi dan tingkat kesuburan tanah.
Sampah-sampah di Kampung Sukunan berubah menjadi barang yang berguna. Yang paling penting, sistem swakelola ini bisa memacu daya kreatifitas dan kemandirian masyarakat. Dengan demikian, masyarakat benar-benar memiliki daya untuk mengurus dan mengembangkan dirinya. Inilah kenapa Iswanto layak disebut seniman sampah dari Desa Sukunan dan konsep swakelola sampah layak untuk dicontoh oleh daerah-daerah lain.
ADVERTISEMENT