Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dilema Mahasiswa Santri: Menjaga Keseimbangan Antara Dua Dunia
20 Oktober 2024 4:00 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Khozin Asror tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Meskipun banyak yang menyandangnya, menjadi mahasiwa bukanlah perkara yang ringan. Dari awalan katanya, “maha” sudah dapat dilihat bahwasannya mahasiswa merupakan “maha” segala hal. Artinya, mahasiswa harus bisa semuanya, memiliki pikiran kritis, berperilaku etis, bersikap dinamis, bahkan bergaya modis. Semua ditanggung oleh mahasiwa.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, dimata masyarakat, mahasiwa memliki derajat sedikit lebih tinggi dibanding yang lainnya. Terlebih pada mahasiswa Rantau dari plosok negeri. Mereka disorot sebagai sosok cendekiawan, bahkan intelektual yang mampu menjawab beragam persoalan. Namun, apakah tanggung jawab yang tidak dibebankan tetapi harus diemban itu masih layak diberlakukan pada mahasiswa saat ini?
Ironisnya, mahasiswa saat ini lebih memilih menghabiskan waktunya untuk berselancar di media sosial, tenggelam dalam budaya konsumtif dan hedonisme, bahkan acuh terhadap tumpukan isu sosial masyarakat yang menggenang di sekitarnya. Sehingga mahasiswa saat ini dapat dikatakan jauh dari citra terhormatnya.
Identitas mahasiswa, yang seharusnya menajadi simbol perubahan dan pemikiran kritis, kini meredup seiring direduksinya oleh kenikmatan-kenikmatan sementara saja. Menjadi label yang hampa, kosong, tidak ada gunanya.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, berbeda dengan mahasiwa yang sisi lain kehidupannya dihabiskan menyibukkan dirinya dengan kepadatan jadwal pondok. Mereka tidak sempat berlarut-larut dalam kenikmatan huru-hara per-duniaan mahasiswa, karena mereka dapat membentenginya dengan bekal-bekal keilmuan akhlak yang tidak didapatkan ketika menjadi mahasiswa.
Mahasiswa santri dituntut dapat menyeimbangkan dua identitasnya sebagai mahasiswa dan juga sebagai santri. Oleh karena itu, beban mahasiswa santri lebih berat daripada mahasiswa biasa.
Di satu sisi, mahasiswa sekaligus santri memilki tantangan yang lebih kompleks dari mahasiswa biasa, terlebih dalam hal aktivitasnya. Setelah menjalankan kehidupannya di kampus yang sangat padat, mau tidak mau mereka harus terlibat dalam padatnya kegiatan di pondok.
Apalagi jika pondok yang disinggahinya bukan pondok mahasiswa, yang tidak melihat santrinya sebagai mahasiswa. Santri ya santri, harus mengikuti serangkaian jadwal pondok. Berbeda lagi, jika pondoknya merupakan pondok mahasiswa, yang biasanya kegiatan pondok tersebut menyesuaikan jadwal santrinya sebagai mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Umumnya, mahasiwa yang memutuskan kuliah sambil mondok adalah mahasiswa yang sebelumnya sudah pernah mondok bertahun-tahun. Keputusan tersebut bukan tanpa alasan, malainkan dilandasi keinginan untuk menjaga ilmu yang sudah dipelajarinya selama di pondok sebelumnya. Mereka tidak ingin ilmu yang dipelajari susah payah lenyap begitu saja terkikis oleh aktivitas akademik di kampus.
Selain itu, menjadi mahasiswa santri dapat menjaga moral dan spiritual mereka di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus yang sering digoda dengan kenikmatan duniawi. Memilih hidup di pondok dengan segala aktivitas dan aturan yang ada memungkinkan mereka dapat mengontrol diri mereka, terjaga dari pengaruh negatif seperti perilaku hedonisme, konsumtif dan kecenderungan lalai dari tanggung jawab sebagai mahasiswa.
Mereka berharap dengan menjadi mahasiswa dan santri, dapat mengintegrasikan ilmu pengetahuan modern yang didapatkannya di kampus dengan ilmu agama yang mereka tempuh di pondok demi menjadi pribadi yang tidak hanya unggul secara intelektual saja namun juga memiliki kedalam spiritual dan etika yang kuat.
ADVERTISEMENT
Namun seiring dengan berjalannya waktu, bertambahnya semester, bertambah juga tanggung jawab sebagi seorang mahasiswa. Seperti pada umunya mahasiswa, semakin bertambah semester, beban yang dipikul semakin berat, tugas yang diberikan juga semakin variatif.
Memang pada tahap semester-semester awal tanggung jawab yang diemban mungkin masih terasa ringan karena masih berfokus terhadap materi dan teori dasar. Namun ketika sudah memasuki semester Tingkat lanjut, beban akademik semakin meningkat. Tugas yang dibebankan kepada mahasiswa semakin kompleks dan variatif, sehingga kesibukan mahasiswa juga bertambah.
Terlebih lagi jika mahasiswa tersebut merupakan tipikal mahasiswa yang tidak cukup hanya berpangku tangan di kelas saja. Mahasiswa seperti ini biasanya menambahkan kegiatan mereka dengan aktif di organisasi atau bergabung dengan unit kegiatan mahasiswa di kampusnya. Mereka tidak puas dengan ilmu yang mereka dapatkan di kelas, mereka ingin juga mengembangkan potensi bidang mereka pada kegiatan-kegiatan yang mereka gemari.
ADVERTISEMENT
Tentunya kehidupan mahasiswa seperti ini semakin padat dengan rapat, proyek organisasi, dan acara kampus yang mana semuanya menuntut komitmen yang tinggi. Lalu bagaimana jika mahasiswa tipikal seperti ini adalah mahasiswa santri?
Jelas mereka akan merasa menjadi mahasiswa tersibuk seantero Nusantara. Kehidupan mereka semakin padat dari apa yang dibayangkan saat memutuskan untuk kuliah sambil mondok. Tuntutan akademik yang terus bertambah, keaktifan dalam organisasi, kewajiban di pondok, dan kehidupan pribadi yang butuh diperhatikan, semuanya harus berjalan dengan seimbang.
Kehidupan mahasiswa tipikal seperti ini memunculkan pandangan orang-orang disekitarnya yang menganggap mereka serba bisa dalam segala hal. Padahal hal tersebut menjadi suatu tekanan tersendiri yang harus mereka tanggung. Mereka dituntut untuk memenuhi ekspektasi orang lain yang mana hal itu sangat melelahkan. Apalagi jika tempat yang disinggahinya setelah kepadatan aktivitas di kampus tidak memperdulikannya. Pastinya mereka akan merasa tertekan dan sedikit menyesal telah memutuskan kuliah sambil mondok.
ADVERTISEMENT
Namun, kembali lagi pada sifat dasar manusia, yakni keinginan untuk memiliki segal hal yang diinginkan. Untuk menaklukannya, mereka berusaha untuk mengemban tanggung jawab, baik dalam akademik, organisasi, pondok, maupun urusan pribadi.
Mereka menyusun stretegi dengan bijak, mencoba merapikan semuanya supaya setiap aktivitasnya dapat berjalan dengan maksimal. Setiap kegiatan diatur secara terperinci, diperhatikan semuanya, mulai dari waktu belajar, waktu untuk organisasi, bahkan pengalokasian waktu untuk beribadah.
Demi tetap menjaga eksistensi sebagai mahasiswa dan santri, mereka rela mengorbankan waktu istirahat dan bersantai mereka. menurut mereka, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Manajemen waktu dan skala prioritas merupakan senjata ampuh mereka.
Namun, secara hukum alam, segala hal yang kita inginkan tidak dapat terpenuhi sepenuhnya. Salah satu dari dua tanggung jawab besar – kehidupan kampus dan kehidupan pondok – pasti salah satunya akan ada yang harus dikorbankan. Keduanya dengan tuntutan yang berbeda, seringkali tidak dapat berjalan secara seimbang. Meskipun dengan mempraktikkan strategi manajemen waktu dan skala prioritas yang kuat, tetap saja salah satu akan dikorbankan.
ADVERTISEMENT
Berbagai kasus yang ada, mahasiswa santri harus fokus terhadap tuntutan akademik yang semakin hari semakin kompleks dan berat. Sehingga kewajibannya sebagai seorang santri akan menurun, bahkan terabaikan. Namun, juga karena dorongan spiritual dan kehidupan pondok yang ketat, mahasiswa santri lebih mengedepankan kegiatan pondoknya dan mengindahkan tuntutan akademiknya di kampus. Namun, hal tersebut tidak menghilangkan eksistensi mereka sebagai mahasiwa santri.
Pada akahirnya, meskipun niat mereka untuk dapat menjalankan dua sisi kehidupan yang berbeda itu secara beriringan, realitas menunjukkan bahwa prioritas sering kali berubah. Salah satu peran antara mahasiswa dan santri akan lebih mendominasi diri ini. Hal ini bukan berarti yang tidak dominan lenyap begitu saja, tetapi tetap berjalan namun ala kadarnya.
ADVERTISEMENT
Manusia terbatas dalam menjaga keseimbangan diantara tuntutan-tuntutan kehidupan yang kompleks ini. Semuanya akan kembali kepada mereka sendiri untuk memilih prioritasnya sebagai mahasiswa atau santri.
M. Khozinatul Asror, Mahasiswa S1 Bahasa dan Sastra Arab UIN Malang