Konten dari Pengguna

Refleksi Pilpres 2024: Apakah Ideologi Masih Ada Artinya di Negeri Ini?

Khrisna Alzura Santoso
Socio-Political Enthusiast
30 Januari 2025 18:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khrisna Alzura Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hampir genap 1 tahun setelah Indonesia menjalani pesta demokrasi, yakni Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Meskipun pesta demokrasi ini telah usai, ini seolah menjadi pertanda akan babak baru dalam sejarah politik tanah air. Namun, di balik euforia demokrasi, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 di Indonesia memunculkan pertanyaan mendasar yang tidak hanya relevan untuk konteks politik hari ini, tetapi juga untuk refleksi sejarah bangsa: apakah ideologi masih berarti dalam politik Indonesia, ataukah kita telah sepenuhnya tenggelam dalam pragmatisme?
Nasionalisme Mencari Ideologi karya Jose Eliseo Rocamora (Dokumentasi Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Nasionalisme Mencari Ideologi karya Jose Eliseo Rocamora (Dokumentasi Pribadi)
Sebagai titik tolak, melalui refleksi ini menyoroti hubungan yang rumit antara ideologi, pragmatisme, dan dinamika politik di negeri ini. Salah satu pengingat pentingnya adalah melalui karya "Nasionalisme Mencari Ideologi" dari Jose Eliseo Rocamora, yang menggambarkan perjalanan ideologi Partai Nasional Indonesia (PNI) di masa awal kemerdekaan.
ADVERTISEMENT

Ideologi : Sebuah Refleksi dari Masa Lalu

PNI, sebagai salah satu partai yang sering disebut ideologis, ternyata memperlihatkan realitas berbeda ketika diamati lebih dalam. Ideologi bagi PNI, menurut analisis Rocamora, seringkali muncul "setelah" fenomena politik terjadi, bukan sebagai fondasi awal untuk mengambil keputusan atau mengarahkan kebijakan. Dengan kata lain, ideologi menjadi alat untuk membenarkan atau menjelaskan tindakan pragmatis, bukan sebaliknya.
Sebagai contoh, Saat rakyat dipenuhi semangat anti-imperialisme, PNI mendukung nasionalisasi perusahaan Belanda. Ketika membutuhkan suara dan dukungan dari daerah, PNI menggunakan narasi tradisionalisme Jawa untuk menarik hati para priyayi. Ketika merasa terancam oleh pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI), PNI mengembangkan "radikalisme kiri" yang moderat. Dalam setiap langkah ini, terlihat bahwa ideologi lebih sering menjadi respons terhadap kebutuhan pragmatis, ketimbang sebagai pemandu moral atau cita-cita politik yang konsisten.
ADVERTISEMENT

Pilpres 2024: Ideologi di Bawah Payung Pragmatisme

Fenomena yang terjadi pasca-Pilpres 2024 menunjukkan pola serupa. Koalisi besar partai-partai politik di Indonesia kini dijiwai oleh analogi "ideologi tenda besar," yaitu kombinasi kompromi, konformitas, dan konsensus—dengan pragmatisme sebagai payung besarnya.
Realitas ini mencerminkan pendekatan politik yang telah lama dikenal dalam sejarah Indonesia. Ketika kepentingan kekuasaan dan stabilitas menjadi prioritas, ideologi sering kali hanya menjadi ornamen retorika belaka. Alih-alih memperdebatkan gagasan besar, partai-partai memilih untuk berkompromi demi membentuk koalisi luas yang mengamankan posisi mereka di pemerintahan.
Pragmatisme ini tidak hanya mencerminkan kepentingan elite politik, tetapi juga pola pikir masyarakat yang semakin jauh dari afiliasi ideologis. Alih-alih memilih kandidat berdasarkan platform ideologi, publik lebih tertarik pada janji-janji programatik yang dapat langsung dirasakan dampaknya, seperti subsidi, pembangunan infrastruktur, janji pemberdayaan ekonomi, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT

Apakah Ideologi Pernah Berarti di Indonesia?

Melalui refleksi ini, muncul pertanyaan yang lebih besar: apakah ideologi pernah benar-benar berarti dalam politik Indonesia? Sejak masa awal kemerdekaan, perdebatan ideologi sering kali tidak sepenuhnya terhubung dengan kebijakan yang diambil. Sebaliknya, ideologi digunakan untuk menjelaskan kebijakan yang sudah diputuskan berdasarkan kalkulasi pragmatis.
Pilpres 2024 menjadi pengingat bahwa sejarah ini terus berulang. Dengan munculnya koalisi besar lintas ideologi, terlihat bahwa politik Indonesia telah sepenuhnya meninggalkan perdebatan ideologis dan bergerak menuju pragmatisme sebagai nilai utama. Tentu, hal ini bukan sepenuhnya buruk. Pragmatisme sering kali dibutuhkan untuk menjaga stabilitas di tengah keberagaman politik, sosial, dan budaya yang kompleks.
Namun, tanpa fondasi ideologis yang jelas, arah politik menjadi kabur. Keputusan-keputusan politik berisiko menjadi sekadar respons jangka pendek terhadap tuntutan kekuasaan, tanpa visi jangka panjang yang mampu memandu bangsa menuju masa depan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Refleksi ini mengingatkan kita bahwa ideologi tetap memiliki peran penting dalam politik, bukan sebagai dogma yang kaku, tetapi sebagai pemandu moral yang memberikan arah. Ketika ideologi sepenuhnya digantikan oleh pragmatisme, politik kehilangan maknanya. Kebijakan hanya akan menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk menciptakan perubahan yang berarti.
Dalam konteks politik pasca-Pilpres 2024, tantangan terbesar adalah menemukan kembali makna ideologi dalam politik Indonesia. Bagaimana politik dapat melampaui sekadar kompromi pragmatis dan kembali ke perdebatan ideologis yang substantif? Bagaimana kita, sebagai masyarakat, dapat menuntut pemimpin politik untuk tidak hanya bertindak pragmatis, tetapi juga memiliki visi dan nilai yang jelas untuk membimbing bangsa ini?
Melalui refleksi ini, kita mungkin tidak akan menemukan jawaban langsung untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, pertanyaan ini tetap penting untuk terus diajukan, karena pada akhirnya, di sinilah letak masa depan demokrasi dan politik yang bermakna bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT