Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pemungkas Kemalangan
22 Juni 2023 17:25 WIB
Tulisan dari Khoerunisa Mudiyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di malam hari yang sunyi, terdengar suara jangkrik yang menjerit. Seorang anak laki-laki mencari-cari di mana bunyi itu berasal. Ia menelusuri kebun-kebun di tengah desa. Melirik ke kiri dan ke kanan, berharap menemukan sesuatu. Di raba-rabanya ilalang-ilalang yang tinggi. Ia masih belum menemukannya.
ADVERTISEMENT
Keadaan di sekeliling anak laki-laki itu sangatlah gelap. Tiba-tiba, ia melihat seseorang dari kejauhan berlari tergesa-gesa. Seseorang tersebut membawa senter. Cahaya senternya menyorot ke arah wajah anak laki-laki tersebut. Sampai ia harus menutup matanya dengan kedua tangannya.
"FAHRI! FAHRI!" anak laki-laki itupun terkejut. Fahri Arsya namanya. Ya, anak laki-laki itulah yang dipanggil oleh seorang wanita yang membawa senter. Wanita itu adalah Ibunya Fahri. Karena itulah Fahri terkejut. Mengapa Ibunya dapat menemukannya?
Wajah Ibu Fahri menjadi berbinar setelah menemukan anaknya. Dia telah mencari ke sana kemari tidak ketemu. Dia sangat khawatir. Dia sangat bersyukur setelah menemukan anaknya. Ibu Fahri pun memeluk sang anak.
"Fahri kemana aja sih? Ibu nyariin tau gak. Jangan buat Ibu khawatir dong, Nak." kekhawatiran terpancar di wajah Ibu Fahri.
ADVERTISEMENT
"Fahri cuma lagi mencari suara jangkrik, Bu. Fahri gak akan ninggalin Ibu."
"Ya ampun, Nak. Buat apa suara jangkrik dicari? Malah buat Ibu khawatir yang ada."
"Maaf ya, Bu."
"Yaudah, ayok sekarang kita pulang."
Ibu Fahri khawatir, namun tetap dia merasa sedikit lega melihat anaknya baik-baik saja. Ibu Fahri tidak tega untuk memarahinya setelah melihat wajah anak kesayangannya.
Setelah sampai di rumah, Fahri mencuci wajah, kaki dan tangannya. Bersiap untuk tidur. Saat sudah di atas tempat tidurnya, dia bersiap untuk berdoa. Namun Ibunya menghampirinya.
"Nak, janji ya gak akan ninggalin Ibu." ucap sang Ibu sambil mengusap kening sang anak. Janji itu sering kali terucap oleh sang Ibu semenjak kepergian Bapaknya Fahri.
ADVERTISEMENT
"Iya, Bu."
"Ibu cuma punya kamu. Bapak kamu sudah pergi, Nak. Jadi Ibu hanya ingin selamanya sama kamu."
"Iya, Bu. Fahri paham. Fahri sayang sama ibu."
"Ibu juga. Dah tidur ya, Nak."
Ibu Fahri tersenyum menatap anaknya yang sudah mulai tumbuh besar. Ada secercah harapan dalam kedua matanya. Ibu Fahri berharap dapat melihat Fahri hingga menjadi anak yang sukses nantinya.
Kemudia Ibu Fahri keluar dari kamar Fahri. Melihat Ibunya keluar kamar, Fahri termenung sebelum menutup matanya. Dia ingin mengungkapkan kepada dunia kalau dia menyayangi Ibunya. Dia juga rindu Bapaknya.
Mereka sudah terbiasa hidup berdua sejak lima tahun yang lalu. Mereka bergantung satu sama lain. Mereka menyayangi satu sama lain. Namun, Fahri tetap sesekali teringat oleh Bapaknya. Dia rindu masa-masa indah saat keluarga mereka lengkap.
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya...
Fahri berangkat ke sekolah dengan sepedanya. Fahri duduk di bangku kelas 7 SMP saat ini. Dia menggoes sepedanya sambil bersenandung. Melihat ke kanan dan ke kiri yang ramai pagi itu. Dia senang menghirup udara yang segar.
Sampai di sekolah, Fahri manaruh sepedanya di tempat biasanya dia menaruh sepeda. Dia bergegas ke kelas. Saat hendak mendudukan dirinya, tiba-tiba seorang guru memanggilnya.
"Fahri, boleh ikut Ibu sebentar?" tanya Ibu Guru.
Fahri mengurungkan niat untuk mendudukan dirinya. Dia kembali bangkit dan menghampiri sang Ibu Guru.
"Ada apa, Bu?"
"Fahri, anak pintar. Ibu yakin kamu anak hebat. Yang sabar ya, Nak." tutur Ibu Guru berlinang air mata.
"Ibu, kenapa nangis?" tanya Fahri kebingungan.
ADVERTISEMENT
"Nak, Ibu benar-benar tidak tega melihat kamu," sang Ibu Guru tak kuasa menahan tangisnya.
"Nak, maafkan Ibumu ya. Ibumu harus menyusul bapakmu. Ibu dapat telepon dari tetanggamu Pak Dani, beliau bilang ibumu sudah meninggal."
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, Fahri sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan Ibu Gurunya. Badannya bergetar. Pikirannya melayang entah kemana. Hatinya bergemuruh. Bulir-bulir bening lolos dari matanya. Dia tidak tersimpuh, kakinya melemas.
"Hah? Bagaimana bisa, Bu? Tadi Ibu yang memasakkan aku telor ceplok. Ibu juga menyuapi saya,"
"Sebelum berangkat saya berpamitan dan bersalaman dengan Ibu. Apa benar Ibu saya meninggal, Bu?" tanya Fahri kacau.
"Fahri, tenang. Sekarang Ibu antar kamu pulang, ya."
Fahri pun menurut. Saat sudah dekat dengan rumahnya, hatinya semakin bergemuruh. Melihat sekitar rumahnya dikerumuni oleh banyak orang. Mereka sibuk berlari kesana kemari, ada yang membawa kain, ada yang membawa macam-macam bunga, ada yang menangis, dan ada pula yang mematung dengan wajah yang sendu.
ADVERTISEMENT
Deg.
Fahri juga melihat bendera kuning yang tertaut di pagar rumahnya.
Fahri kehilangan keberanian. Dia tidak ingin melihat Ibunya jika benar Ibunya yang telah tiada. Fahri tidak siap menghadapi ini. Fahri tidak siap hidup sebatang kara. Fahri takut hidup sendiri.
"Ibu, saya gak mau pulang, Bu. Saya gak mau liat Ibu seperti liat Bapak waktu itu,"
"Saya gak mau melihat Ibu yang pucat seperti Bapak sambil menutup matanya. Saya gak mau, Bu." ujar Fahri kepada Ibu Guru yang mengantarnya pulang.
"Fahri, anak pintar. Kamu harus ketemu Ibumu ya. Ibu kamu pasti butuh kamu di sampingnya saat masa terakhirnya ini,"
"Ibu khawatir kamu akan menyesal jika tidak melihat Ibumu sekarang. Sebelum Ibumu dimakamkan."
ADVERTISEMENT
Setelahnya, Fahri menangis sejadi-jadinya. Hal yang membuatnya trauma terulang lagi. Trauma akan lima tahun yang lalu. Kehilangan seseorang yang dia cintai.
Saat Bapaknya meninggal, ada Ibunya yang membantu menenangkannya. Sekarang, saat Ibunya meninggal, harus kemana dia menangis, meluapkan kesedihannya.
Dia hanya bisa menangis, menjerti, di hadapan semua orang. Tetapi tidak dapat merasakan kehadiran orang-orang. Dia merasa menangis sendirian. Dia hanya membutuhkan Ibunya di sampingnya.
Fahri teringat akan Ibunya yang selalu meminta Fahri untuk tidak meninggalkannya. Fahri pun tersadar. Dia memang menepati janjinya untuk tidak meninggalkan Ibunya sampai akhir hayatnya. Namun, Fahri juga sadar bahwa dia tidak pernah meminta Ibunya untuk berjanji akan selalu berada di sisi Fahri selamanya.
ADVERTISEMENT
Sang Ibu Guru menangis, seraya berkata.
"Nak, kamu tinggal dengan Ibu saja ya"
"Nggak, Bu. Fahri maunya sama Ibu Fahri, Bu."
"Yang sabar, yang ikhlas, Nak. Masih ada Ibu yang siap menemani kamu hingga besar nanti." Sang Ibu Guru pun menarik Fahri ke dalam dekapannya.
Beberapa tahun berlalu...
Fahri kini sudah di puncak akhir masa SMAnya. Dia sedang dipusingkan dengan menentukan fakultas mana yang dia minati dan ingin di perguruan tinggi mana dia melanjutkan pendidikannya.
Di sisi lain, dia merasa bangga dengan diri sendiri karena telah berhasil melalui semuanya. Dia berhasil bertahan sampai mencapai titik ini.
Dia sangat bersyukur dipertemukan dengan Ibu Guru yang tulus menyayangi, merawat dan mendidiknya hingga saat ini. Dia seperti menemukan sosok Ibu yang baru setelah ditinggal pergi selamanya oleh Ibu kandungnya.
ADVERTISEMENT
Ibu Guru yang merawatnya selalu berkata "Fahri, anak Ibu yang hebat, Ibu yakin kamu bisa membuat bangga Ibu dan Ibu kandungmu." Kata-kata tersebut yang selalu menjadi motivasi bagi Fahri untuk membuktikan bahwa dirinya bisa membuat kedua Ibunya bangga.
Fahri selalu berjanji pada dirinya sendiri untuk membuat bangga Ibu kandungnya di surga dan juga Ibu Guru yang merawatnya. Fahri akan selalu menyayangi keduanya. Fahri bersyukur menemukan dua sosok Ibu yang begitu hebat.