Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Kepincangan Trias Politica
15 Agustus 2023 14:13 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Khulaifi Hamdani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konsep trias politica pertama kali didengar dari seorang pemikir politik Inggris pada abad ke-17 bernama John Locke. Dalam karyanya yang berjudul Two Tritis Government, Locke percaya bahwa kekuasaan pemerintahan harus dipisahkan menjadi tiga bagian yaitu eksekutif, legislatif, dan federatif.
ADVERTISEMENT
Adapun dari ketiga bagian itu, yang mana legislatif bertanggung jawab membuat undang-undang, eksekutif menjalankan undang-undang tersebut, sementara federatif bertanggung jawab mengurus hubungan luar negeri.
Selain John Locke, filsuf Prancis bernama Montesquieu juga memiliki pandangan penting tentang trias politica. Montesquieu mengusulkan bahwa kekuasaan negara harus dibagi menjadi tiga pilar yang independen yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dalam konsep atau pandangan Montesquieu ini, eksekutif bertugas menjalankan kebijakan harian, legislatif membuat undang-undang, sementara yudikatif bertugas untuk menegakkan hukum serta mengadili sengketa.
Trias politica ini dapat berdiri dengan tegak jika setiap pembagian kekuasaan menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Berkaitan dengan kekuasaan yudikatif sebagai lembaga peradilan.
Kamu pasti pernah mendengar kasus korupsi Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Tapi apakah kamu pernah mendengar serangan-serangan terhadap hakim yang dapat mempengaruhi independensi hingga keselamatan hakim?
ADVERTISEMENT
Termasuk, kasus hakim Khairul di Pengadilan Negeri Palopo yang diburu oleh terpidana mati kasus kolor ijo karena menjatuhkan hukuman mati kepadanya dan kasus pelemparan kursi sidang kepada hakim di Pengadilan Agama Lumajang oleh pihak yang berperkara. Pernah dengar?
Kejadian ini sudah berulang kali terjadi. Sebut saja pada tahun 1987, bukan kursi yang dilempar ke hakim, tetapi sandal. Kasus tersebut benar-benar terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, saat hakim Abdul Razak membacakan vonis 10 bulan penjara untuk Ny Nani alias Ny Tong tahun 1987.
Kasus serupa terulang kembali 20 tahun kemudian atau pada tahun 2017 saat Deddy Sugarda, terdakwa kasus pembakaran gedung Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, yang divonis 5 tahun penjara di PN Bandung melemparkan sepatunya. Namun, kali ini sasaran amarah Deddy adalah jaksa penuntut umum Kejari Bandung, Taufik Hidayat.
ADVERTISEMENT
Tak hanya sandal yang melayang, terkadang sangkur yang menghunjam. Hal ini terjadi di Pengadilan Agama Sidoarjo pada 21 September 2005 saat M Taufik, hakim agama PA Sidoarjo, membacakan putusan dalam sidang perkara harta gono-gini Kolonel (Laut) M Irfan.
Tak hanya Taufik yang menjadi korban, tetapi istri Taufik juga mengembuskan nyawa akibat peristiwa tersebut. Sebelumnya, pada 2001, peristiwa penembakan Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita mengguncang negeri ini karena melibatkan putra Presiden kedua RI Soeharto, yakni Tommy Soeharto.
Bukan hanya hakim yang menjadi sasaran amarah, melainkan gedung pengadilan terkadang menjadi tempat pelampiasan kekecewaan. Pada tahun 2019, sarana dan prasarana di kantor PN Bima dan PN Bulukumba dirusak massa. Mengapa hal ini terjadi, dan siapa yang akan melindungi hakim?
ADVERTISEMENT
Sebelum berangkat ke pembahasan tersebut, terlebih dahulu kita akan membahas, jenis kebenaran secara keilmuan dalam hal ini hukum sebagai ilmu. Prof. Peter Mahmud Marzuki, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga di dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum menjelaskan jenis-jenis kebenaran.
Pertama, kebenaran koherensi yang mana sesuatu dikatakan benar ketika antara satu pernyataan dengan pernyataan lain koheren. Kebenaran koherensi dalam persidangan digunakan dalam menemukan kebenaran saat proses pembuktian yang melahirkan fakta-fakta persidangan, di sinilah dilibatkan saksi-saksi).
Kedua, kebenaran korespondensi yaitu suatu dianggap benar ketika antara pernyataan sesuai dengan kenyataan. Dan ketiga, kebenaran pragmatis yakni kebenaran yang benar jika mayoritas menyepakati bahwa itulah yang benar.
Pedoman yang digunakan oleh hakim dalam memutus suatu perkara dalam persidangan adalah, benar secara koherensi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Serta benar secara korespondensi yakni perbuatan yang dituntutkan terhadap dirinya dengan diungkapnya bukti-bukti dan fakta-fakta dalam persidangan.
ADVERTISEMENT
Sehingga jika pihak merasa benar, namun tidak mampu menghadirkan kebenaran secara koherensi dan korespondensi maka sama dengan tidak benar.
Jika tindakan-tindakan yang menyerang martabat dan perilaku hakim ini terus terjadi hingga saat ini, maka akan sangat besar potensi kemerdekaan hakim dalam memutus perkara. Jenis-jenis kebenaran hukum secara koheren dan korespondensi ini akan patah dengan hal yang bersifat pragmatis atas dasar mayoritas mengatakan dirinya benar.
Penting untuk mengadvokasi hakim sehingga hakim merasa aman dalam memutus suatu perkara dengan benar sebagaimana adanya. Komisi Yudisial menjadi bagian penting dalam menjaga hakim.
Jika hakim merasa aman dan merdeka dalam memutus perkara, maka kekuasaan yudisial akan kokoh dalam menciptakan keadilan. Lembaga yudikatif yang kuat dan merdeka akan melahirkan negara dengan trias politica tanpa kepincangan.
ADVERTISEMENT
Live Update