Konten dari Pengguna

Toxic Positivity: Kata-Kata Semangat Malah Menjadi Racun

Khusnul Maylinda Priyana
Mahasiswi Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29 November 2024 19:17 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khusnul Maylinda Priyana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Toxic Positivity :
Sumber : www.freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : www.freepik.com
Fenomena Toxic Positivity
Pernahkah kalian mendengar kata-kata “Jangan sedih ya, semua pasti ada hikmahnya!” atau “Sabar ya, di luar sana masih banyak yang lebih menderita”. Kalimat-kalimat tersebut terdengar positif, bukan? Namun, terkadang kalimat tersebut justru menjadi racun bagi seseorang. Fenomena ini dikenal sebagai toxic positivity.
ADVERTISEMENT
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah dorongan untuk berpikir positif secara berlebihan dan mengabaikan perasaan negatif. Saat mengalami hal ini, seseorang bisa merasa bahwa emosinya tidak penting. Akibatnya, hal ini dapat malah memperburuk kesehatan mental dan merusak hubungan sosial. (Jati et al., 2020)
Jati dkk. telah melakukan survei pada Generasi Z dan menemukan bahwa hamper semua responden pernah menerima ucapan toxic positivity. “Sabar ya, masih banyak kok yang lebih susah dari kamu” Alih-alih menghibur, ucapan ini justru membuat responden merasa sedih, tidak nyaman, bahkan marah.
Menghindari Toxic Positivity
Bagaimana cara menghindari perilaku ini? Berikut beberapa Langkah yang dapat dilakukan:
1. Terima dan Validasi Emosi
Menurut Widiasari (2022), kita tidak boleh menekan emosi negatif seperti kesedihan atau kekecewaan. Emosi merupakan bagian alami dari kehidupan. Dengan menerima dan memvalidasi emosi, kitab bisa lebih mudah mengelola perasaan dan mencari solusi yang tepat.
ADVERTISEMENT
2. Latih Self-Compassion
Ada tiga hal utama self-compassion, yaitu :
a. Bersikap lembut pada diri sendiri (self-kindness),
b. Menyadari bahwa semua orang menghadapi tantangan (common humanity),
c. Menerima keadaan tanpa menghakimi (mindfulness).
Tiga hal tersebut dapat membantu kita menghindari tekanan untuk berfikir positif secara tidak realistis. (Widiasari, 2022).
3. Gunakan Media Sosial dengan Bijak
Media sosial sering kali hanya menampilkan sisi terbaik kehidupan orang lain. Hal tersebut dapat memicu perasaan yang tidak baik seperti kurang percaya diri dan tenakan yang tidak realistis. Dengan menyaring konten dan mengurangi waktu penggunaan media sosial, kita dapat menjaga kesehatan mental dari dampak toxic positivity (Widiasari, 2022).
Dengan demikian, toxic positivity adalah contoh bahwa hal positif tidak selalu berdampak positif. Jika tidak disampaikan di waktu dan konteks yang tepat, kalimat positif justru dapat melukai perasaan seseorang. Mari kita belajar untuk lebih mendengarkan dan memahami tanpa memaksakan kebahagiaan. Kadang cukup mendengarkan dan mengatatakan “Aku ada untukmu,” itu sudah sangat berarti.
ADVERTISEMENT
Referensi
1. Paula Jati, J., Aliifah, J., Damayanti, Y. P., & Pangestu, C. N. (2020). Pemahaman Generasi Z mengenai pengaruh toxic positivity terhadap hubungan sosial individu. Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
2. Widiasari, N. (2022). Pengaruh Toxic Positivity di Media Sosial Terhadap Kesehatan Mental Dewasa Muda.