Menjahit Tenun Keragaman dalam Bingkai Kesatuan

Gratianus Edwi Nugrohadi
Pengajar Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Konten dari Pengguna
28 Februari 2023 10:47 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gratianus Edwi Nugrohadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi para pekerja. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi para pekerja. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Mengawali tahun 2023, Indonesia dikejutkan oleh adanya bentrokan berdarah antara dua kelompok karyawan yang selama ini bekerja di sebuah perusahaan. Bentrokan tersebut mengakibatkan dua orang pekerja lokal dan satu orang pekerja asing meninggal dunia (www.kontan.go.id).
ADVERTISEMENT
Berpangkal pada fenomena tersebut, berbagai analisis (terlepas dari berbagai isu politis yang berkembang) di media, baik media sosial maupun elektronik, menyimpulkan bahwa kemampuan mengelola keberbedaan belum dimiliki secara memadai oleh warga masyarakat Indonesia.
Premis tersebut semakin menemukan pembenarannya manakala kita menengok pada sejarah negeri ini, di mana peristiwa-peristiwa konfliktual yang berpangkal pada keberbedaan masih belum bisa dikelola secara tepat. Pertanyaannya, bagaimana warga bangsa ini mesti mengelola keberbedaan tersebut?
Secara kodrati, manusia adalah makhluk yang berbeda. Kesadaran akan realitas keberbedaan itu pastinya sudah menginternalisasi dalam diri setiap orang. Jika seseorang ditanya tentang apakah dirinya berbeda dari yang lain, jawaban yang pasti akan muncul adalah dirinya berbeda dari yang lain.
Ilustrasi ilmuwan perempuan dalam sains. Foto: Shutterstock
Bahkan, lebih jauh lagi, para ilmuwan juga sudah mensintesiskan tentang keberbedaan dari anak kembar identik, meskipun secara fisik memiliki kesamaan yang sangat besar.
ADVERTISEMENT
Artinya kemudian adalah bahwa realitas tentang keberbedaan bukan lagi merupakan hal baru, karena realitas tersebut sudah dihadapi oleh manusia sejak keberadaannya dimulai. Namun, hal itu bukan berarti bahwa tidak ada persoalan sama sekali.
Meskipun realitas keberbedaan bukan lagi merupakan hal baru bagi setiap orang, namun mengapa keberbedaan tersebut masih membuat manusia gamang? Mengapa keberbedaan lebih merupakan potensi konflik daripada potensi pembangun?
Dengan meminjam gagasan Peter L. Berger tentang konstruksi sosial, secara argumentatif penulis menjawab pertanyaan tersebut dengan mensintesiskan bahwa tata pikir, tata sikap, dan tata perilaku seseorang yang terkait dengan masalah keberbedaan adalah hasil konstruksi, baik secara sosial, budaya, atau bahkan secara religius.
Ilustrasi konflik. Foto: Shutterstock
Artinya kemudian adalah bahwa meskipun seseorang tahu dirinya berbeda dari yang lain (dan dengan demikian keberbedaan itu adalah hal bisa, dan bukan hal yang bisa menyebabkan munculnya konflik), namun tidak otomatis bahwa hal itu baik-baik saja, tidak otomatis bahwa keberbedaan tidak memunculkan masalah.
ADVERTISEMENT
Mengapa demikian? Karena tata pikir seseorang tentang keberbedaan, tata sikap seseorang terhadap keberbedaan, dan tata perilaku seseorang berhadapan dengan keberbedaan adalah hasil konstruksi (yang sangat mungkin berbeda dengan sintesa alamiah berdasarkan pada realitas kodrati manusia).
Gagasan Peter L. Berger tersebut (tentang tata pikir, tata sikap, dan tata perilaku mengenai keberbedaan yang merupakan hasil konstruksi), secara sosial psikologis, mendapatkan pembenaran secara tidak langsung dari tokoh yang berlatar belakang psikologi sosial.
Hal itu paling tidak tercermin dalam gagasan Hewstone, dkk (2002) tentang intergroup bias, yang memuat kecenderungan sistematis untuk mengevaluasi kelompok keanggotaan sendiri (kelompok dalam) atau anggotanya lebih disukai daripada kelompok non-keanggotaan (kelompok luar).
Ilustrasi team work. Foto: Shutterstock
Istilah intergroup bias itu juga dikenal dengan istilah ingroup bias atau ingroup favouritism. Istilah ingroup bias atau ingroup favouritism menunjuk pada kecenderungan seseorang untuk lebih membantu dan memandang lebih positif terhadap anggota kelompok mereka sendiri dibandingkan dengan anggota kelompok luar.
ADVERTISEMENT
Proses semacam ini sebetulnya bermula dari level individu, terutama saat pembentukan identitas diri, tetapi pada saat seseorang masuk ke dalam suatu kelompok, orang tersebut akan membawa proses itu ke dalam level sosial yang lebih tinggi, yakni ke level kelompok yang dimasukinya (bdk. Reed & Aquino, 2003).
Proses pergeseran dari lingkup individual ke kelompok itu merupakan konsekuensi dari identitas yang dibangun, di mana identitas sosial merupakan bagian dari identitas individual, meskipun dengan beberapa catatan tambahan.
Kelompok rujukan bagi identitas seseorang itu merupakan tempat di mana komitmen individu terhadap kelompok menguat dan menjadi bagian dari identitas dirinya. Seseorang mengambil karakteristik kelompok dan kemudian menjadikannya sebagai bagian dari dirinya.
Ilustrasi team work. Foto: Shutterstock
Kelompok referensi ini memberi keleluasan bagi anggotanya untuk beralih dari identitas individualnya ke identitas kelompoknya. Keanggotaan kelompok mendorong kerjasama di dalam kelompok dan konflik terhadap kelompok di luar kelompoknya.
ADVERTISEMENT
Dorongan konflik terhadap kelompok lain (yang merupakan dampak dari identifikasi yang intensif) akan membentuk komitmen, integritas dan kohesifitas kelompok serta memunculkan perasaan positif tentang ingroup atau ingroup favouritism, dan memunculkan sikap merendahkan outgroup atau juga disebut dengan istilah outgroup derogation (bdk. Rogers, 2003).
Secara konseptual, outgroup derogation dimaknai sebagai perilaku seseorang yang negatif terhadap keluar di luar kelompok dirinya. Bersamaan dengan ingroup favouritism, sebetulnya outgroup derogation merupakan salah satu sumber bias dalam relasi antara kelompok.
Setiap kelompok memiliki identitas yang berbeda dengan kelompok lain. Seorang individu, sebagai anggota suatu kelompok, memiliki identitas sosial (dan juga identitas individual/personal) sesuai dengan identitas kelompoknya.
Ilustrasi bermain media sosial. Foto: Shutter Stock
Perbedaan identitas antar kelompok menumbuhkan kategorisasi sosial. Kategorisasi sosial menumbuhkan perasaan ingroup-outgroup yang kuat di antara kategori-kategori atau kelompok-kelompok yang ada (bdk. Hewstone, dkk., 2002).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pada penjelasan tersebut di atas (salah satunya) itulah fenomena keberbedaan yang rawan potensi konfliknya dapat dijelaskan.
Dalam kerangka berpikir seperti itu, dan juga dengan melibatkan gagasan konstruksi sosial–nya Peter L. Berger, realitas keberbedaan yang sejatinya adalah sesuatu yang kodrati (dan dengan demikian tidak perlu menjadi masalah) justru memiliki potensi untuk menjadi salah satu sumber konflik sosial.
Lalu, bagaimana menghadapinya? Bukankah banyak keberbedaan yang bertebaran dalam lingkup kegidupan kita? Apakah bisa diupayakan langkah konkrit yang solutif untuk menghadapi fenomena tersebut?
Ilustrasi team work. Foto: Shutterstock
Secara sederhana, hal yang harus diupayakan adalah memperbanyak titik temu dari kelompok-kelompok yang berbeda tersebut. Gagasan ini merupakan implementasi dari konsep identitas ganda yang dimiliki oleh seseorang.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana banyak dijumpai, seseorang memiliki identitas lebih dari satu. Saya adalah orang beragama Katolik, saya senang membaca, saya adalah seorang perokok, saya adalah penggemar klub volley profesional yang bernama Surabaya BIN Samator, saya menyukai kegiatan jalan-jalan melihat daerah daru, dan seterusnya.
Setiap orang memiliki identitas sosial yang jamak. Dalam konteks itu, upaya-upaya pokok yang harus dilakukan adalah membangun titik temu dari mereka-mereka yang berbeda. Upaya tersebut, dalam kerangka berpikir penulis, adalah sebuah keharusan, karena dari sanalah, salah satunya, keberbedaan bisa diubah menjadi berkah.
Bangunan titik temu ini akan memetakan wilayah-wilayah mana saja yang identitas sosialnya masuk ke dalam kategori ingroup- ingroup, atau outgroup- outgroup, atau kategori persilangan ingroup-outgroup, atau outgroup-ingroup.
Ilustrasi team work. Foto: Shutterstock
Dengan memahami kategorisasi tersebut, seseorang akan dibantu (dipermudah) dalam membangun relasi sosialnya, meskipun harus membangun relasi dengan kelompok lain yang memiliki kategorisasi sosial yang berbeda dengan dirinya.
ADVERTISEMENT
Caranya bagaimana? Melalui (dengan memanfaatkan) berbagai titik temu yang sudah, sedang, dan akan dibangunnya. Seseorang yang memiliki identitas sosial tertentu, misalnya sebagai anggota pendaki gunung, yang juga sekaligus sebagai pencinta binatang, ketika bertemu dengan orang lain yang juga merupakan anggota pendaki gunung, yang juga pencinta tanaman, maka komunikasi yang harmonis akan dapat dengan mudah diwujudkan.
Mengapa? Karena titik pijak komunikasi mulai dengan titik temu di antara orang yang berkomunikasi tersebut (sebagai sesama pendaki gunung). Bayangkan jika titik awal komunikasi mereka adalah pembicaraan tentang binatang dan tanaman.
Apakah komunikasi akan terjalin dengan baik? Rasanya susah. Hal yang mungkin terjadi justru bisa memunculkan stereotype tertentu, atau prejudice tertentu, atau bahkan perilaku diskriminatif.
Ilustrasi komunikasi terjaga dengan rekan kerja. Foto: Shutterstock
Dalam kerangka tersebut di atas maka berbagai kegiatan yang mempertemukan atau yang mewadahi berbagai pertemuan antara pihak yang berbeda haruslah didukung.
ADVERTISEMENT
Contohnya saja: forum komunikasi, atau dialog (antar umat beragama), atau bahkan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pengenalan hal baru di luar konteks hidup orang tertentu (misalnya saja aktivitas live-in atau mungkin KKN).
Dalam kacamata itu, kegiatan MBKM (merdeka belajar, kuliah merdeka) yang digagas oleh pemerintah, yang memberi peluang kepada mahasiswa untuk belajar di luar prodinya, atau di luar kampusnya, atau bahkan belajar di dunia riil (dalam bentuk magang) harus juga tetap dijalankan dan semakin dikembangkan.
Di sanalah para mahasiswa memiliki salah satu kesempatan untuk membangun titik temu dengan yang lain. Melalui berbagai titik temu itulah masalah bisa menjadi berkah. Semoga.