Konten dari Pengguna

Pengalaman Makan di Baraka Warung Buana Lombok

Rizky A Brilianti
Dosen di Universitas Pembangunan Jaya
26 Juli 2023 16:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky A Brilianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bukit Selong di Lombok. Foto: Helmy fauzi harharah/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Bukit Selong di Lombok. Foto: Helmy fauzi harharah/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Wisata kuliner kami saat liburan ke Lombok NTB baru dimulai saat di Senggigi. Malam itu kami bingung mencari tempat makan malam karena Senggigi sepi. Sangat terasa suasana perjuangan mempertahankan kejayaannya yang perlahan "dicuri" oleh Kuta Mandalika.
ADVERTISEMENT
Setengah hati, suami sempat menawarkan untuk makan di hotel saja. Selain sarapan, makan di hotel hanya kami lakukan saat kepepet. Walau hotel punya beberapa resto, biasanya cita rasa masakannya tetap sama. Lagipula rasanya sayang sekali jika sudah jalan-jalan ke Lombok, tetapi tidak mencoba makanan lokal.
Buka Grabfood dan Gofood tidak ada yang menarik hati. Kalau pun ada, lokasinya jauh. Akhirnya kami buka Google map dan mengetuk "restaurants" untuk mendeteksi keberadaan resto terdekat. Kami fokus ke arah kanan dari gerbang keluar hotel Aruna, tempat kami menginap, karena saat perjalanan dari Gili ke hotel kami sempat lihat beberapa plang resto.
Ikan Bakar Si Pitung, Pasta Pojok, Hamburger Ya, Baraka Warung Buana. Duh! Lagi-lagi makanan ala bule, pikir saya. Setelah 3 hari 2 malam di Gili Terawangan, rasanya saya sudah bosan bolak-balik makan pizza, pasta, dan sejenisnya. Pilihan saya, sih Ikan Bakar Si Pitung, tetapi dari lokasi di peta sepertinya kurang meyakinkan. Ternyata benar saja, saat kami berjalan keluar, Ikan Bakar Si Pitung ternyata warung tenda kaki lima yang berdiri di trotoar hotel.
ADVERTISEMENT

Resto Pilihan Suami

"Nah! Ini aja, nih!" Seru suami. "Tempatnya lucu, kayak kafe-kafe di Bali," tambahnya berusaha meyakinkan kami. Ya sudah, saya pasrah. Cek Google map, hanya 400 meter. Setelah lelah dan lapar akibat bolak-balik main air di pantai dan kolam renang, jarak 400 meter hanya dengan 5 menit berjalan kaki adalah pilihan terbaik. Ternyata tak sampai 5 menit kami sudah sampai.
Terlihat bangunan seperti rumah diterangi lampu dengan sinar kuning lembut yang hangat. Pekarangannya dipagari dengan tanaman. Kami masuk melalui jalan setapak yang membelah pekarangan berumput yang rapi. Di sebelah kanan adalah arena bermain yang juga ditata rapi. Ayunan, perosotan, kuda-kudaan plastik, dan trampolin kecil sangat menghibur 3 anak bule yang juga sedang makan di sana bersama orang tuanya.
ADVERTISEMENT
Kami memilih duduk di luar, menikmati udara malam Senggigi yang walaupun di musim panas tetap terasa sejuk dan bersih. Jauh beda dengan udara Jakarta yang padat polusi. Hampir semua meja di resto terisi, tetapi suasana tetap tenang dan santai. Sangat nyaman dan terasa seperti di rumah sendiri. Semua tamunya malam itu bule kecuali kami berempat.
Wah! Ada tapas dan paella! Namun setelah berenang sejak siang sampai matahari terbenam, saya butuh makanan berkuah yang hangat. Akhirnya saya pesan soto ayam. Anak-anak kami yang memang sudah berlidah bule, pesan patatas bravas, beef and onion pizza, dan pesto. Suami tetap teguh pada pesanan standarnya, nasi goreng. Awalnya jujur saja, saya tidak berharap banyak. Itu juga mengapa saya tidak mau pesan menu yang aneh-aneh. Makanannya pun keluar cukup lama. Untungnya saat saya sudah mulai gelisah, datanglah si patatas bravas.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya patatas bravas adalah makanan sederhana, hanya kentang potong dadu yang digoreng apa adanya lalu disajikan dengan salsa brava (saus tomat warna merah) dan garlic aioli (saus mayonaise warna putih). Saya comot sebuah. Kentang cokelat keemasan bertabur potongan daun celery (seledri tetapi yang besar) saya cocolkan ke saus putih, wah! Saya tak menduga kalau rasanya istimewa.
Kentangnya, yang ternyata masih panas, tidak genit dengan banyak garam atau bumbu macam-macam apalagi MSG. Bagian luarnya kering sedikit garing dengan bagian dalam yang sangat lembut. Cocol ke saus merah, AH! Lagi-lagi juga istimewa. Kedua sausnya benar-benar seimbang perpaduan bahannya. Saus putihnya lembut, creamy, gurih, dengan rasa bawang putih yang halus. Saus merahnya terasa segar, ringan, asam manis alami dari tomatnya, ditambah sengatan rasa pedas di akhir yang sebentar saja lalu hilang.
ADVERTISEMENT
Sesaat kemudian secara bertahap menu lain yang kami pesan berdatangan. "Idih, soto ayam, kok, pakai wortel," batin saya mulai takut pesanan saya gagal. Lalu, srupuuuut saya cicip sedikit kuahnya, ulala!!! Jika saya seorang food influencer saya pasti akan bilang, "Guys! Gak ngerti lagi, deh! Ini kuahnya aja bikin mau nangis karena emang seenak itu!" Selain wortel, sotonya juga diberi serundeng kelapa yang sempat mengingatkan saya pada soto lamongan dengan bubuk koyanya.
Awalnya saya pikir wortel dan serundeng ini hanya akan jadi tambahan tak matching yang akan mengganggu rasa sotonya, tetapi tidak! Serundengnya menambah wangi dan melengkapi tekstur soto. Gremet-gremet sedikit garing serundengnya dengan aroma kelapa kering dalam kuah soto yang gurih hangat membaur di dalam mulut, oh my my! Sempurna. Tak usahlah ditambah kecap lagi karena rasa sotonya sudah pas, mantap, nikmat! Jika suka pedas, tambahkan saja sambalnya yang pedasnya dapat, tetapi tidak mengganggu rasa sotonya.
ADVERTISEMENT
Penasaran, saya pun mencicipi pesto, pizza, dan nasi gorengnya. Semua enak dan indah. Pizza dan pestonya terasa buatan rumah, bukan pakai resep template ala resto. Begitu pula nasi gorengnya. Ada komposisi bahan dan teknik tersendiri sehingga tercipta rasa yang beda dan tercirikan. Secara keseluruhan, pengalaman makan di Baraka meninggalkan jejak rasa yang bukan saja nikmat, tetapi juga indah sehingga terekam kuat di ingatan kami sekeluarga.
Pizza dan soto ayam Baraka Warung Buana. Foto: Dokumentasi pribadi.
Makan di Baraka itu seperti yang sering saya tonton di acara makanan yang digawangi koki terkenal. Dalam petualangan makannya, koki tersebut diundang makan di rumah kenalannya lalu dihidangkan makanan rumahan yang dimasak langsung oleh kenalannya itu.
Dengan resep turun-temurun, berikut teknik memasak yang juga dipelajari dari generasi sebelumnya di dapur yang hangat dan akrab hingga akhirnya lahirlah makanan sederhana dengan rasa luar biasa yang tak hanya sampai di lidah, tetapi mengena jauh ke lubuk hati. Seperti itulah kira-kira pengalaman kami makan di Baraka Warung Buana.
ADVERTISEMENT
Teman-teman pembaca boleh buktikan sendiri dengan datang langsung ke Baraka Warung Buana di Senggigi. Semoga mendapatkan pengalaman rasa seindah yang kami rasakan. Jika tidak, jangan juga kecewa, mungkin itu hanya masalah selera kita yang berbeda.