Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Etika Botox: Haruskah Kita Menerimanya atau Menghindarinya?
31 Januari 2025 17:18 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Kimberly Kayla Kitzie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Botox telah menjadi bagian umum dari budaya kecantikan modern, telah menjadi pilihan populer bagi jutaan orang yang sebagian besar dipilih oleh wanita untuk menghaluskan kerutan, mencegah tanda-tanda penuaan, mengobati kondisi medis, dan meningkatkan fitur wajah yang mungkin mulai memudar seiring bertambahnya usia. Namun, popularitasnya yang meningkat juga memicu perdebatan etika. Apakah botox merupakan pilihan yang memberdayakan untuk perawatan diri, atau apakah ia mempromosikan standar kecantikan yang tidak realistis dan intervensi medis yang tidak perlu?
ADVERTISEMENT
Argumen untuk Botox
Banyak orang menganggap botox sebagai keputusan pribadi yang meningkatkan kepercayaan diri dan membantu mereka merasa lebih baik tentang penampilan mereka. Para pendukung berpendapat bahwa botox adalah bentuk perawatan diri, seperti halnya tata rias, perawatan kulit, atau rutinitas kebugaran, botox dapat menjadi cara untuk mempertahankan penampilan awet muda dan merasa percaya diri. Salah satu alasan mengapa orang melakukan suntik botox biasanya karena suntik ini mencegah munculnya kerutan yang lebih dalam, beberapa dokter kulit menyarankan botox sebagai tindakan pencegahan, menghentikan garis-garis halus berubah menjadi kerutan yang lebih dalam seiring berjalannya waktu. Meskipun demikian, di luar estetika, botox juga menawarkan manfaat medis nyata seperti bagaimana botox banyak digunakan untuk kondisi medis seperti migrain kronis, keringat berlebih juga dikenal sebagai hiperhidrosis, dan gangguan TMJ.
ADVERTISEMENT
Argumen Menentang Botox
Kritikus botox menyuarakan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap standar kecantikan dan harga diri, dengan alasan bahwa botox memperkuat diskriminasi usia. Kita semua tahu bagaimana masyarakat sudah memberi tekanan pada orang-orang, terutama wanita, untuk mempertahankan penampilan awet muda tanpa memandang usia. Botox dapat berkontribusi pada gagasan bahwa penuaan alami tidak diinginkan. Hal ini dapat menyebabkan siklus ketergantungan. Setelah seseorang mencobanya, mereka mungkin merasa tertekan untuk terus menjalani perawatan botox tanpa batas waktu, karena takut jika berhenti, penampilan mereka akan semakin buruk atau kepercayaan diri mereka akan hilang sama sekali, dan mereka merasa tidak cantik jika tidak menggunakan botox. Yang perlu dikhawatirkan adalah meningkatnya normalisasi botox, terutama di kalangan orang muda, dapat membuat penuaan alami tampak tidak dapat diterima.
ADVERTISEMENT
Botox dan Persetujuan yang Diinformasikan
Pertanyaan etika lain muncul seputar bagaimana botox dipasarkan dan diberikan. Ada pembicaraan tentang kurangnya transparansi prosedur botox, beberapa penyedia layanan kesehatan mengecilkan risiko atau tidak sepenuhnya mendidik pasien tentang kemungkinan efek samping yang dapat sangat menyesatkan bagi pasien, mereka tidak akan menyadari sepenuhnya apa yang mereka hadapi. Masalahnya sama dengan bagaimana influencer dan selebriti media sosial sering mempromosikan botox tanpa membahas implikasi lengkapnya, yang mengarah pada keputusan yang tidak tepat.
Hal lain yang perlu diwaspadai adalah banyaknya praktisi yang tidak berlisensi, maraknya penyuntik ilegal atau yang kurang terlatih telah menyebabkan prosedur yang gagal dan masalah keselamatan. Dengan mengingat hal ini, pastikan untuk melakukan riset menyeluruh tentang tempat untuk mendapatkan hasil prosedur botox terbaik.
ADVERTISEMENT
Jadi, apakah botox etis? Etika botox sangat bergantung pada bagaimana botox digunakan dan dipersepsikan oleh orang lain. Jika botox didekati sebagai pilihan pribadi yang berdasarkan informasi, bukan sebagai keharusan yang didorong oleh harapan masyarakat, botox dapat menjadi alat yang memberdayakan. Namun, normalisasi botox menimbulkan kekhawatiran yang valid tentang tekanan untuk mempertahankan penampilan yang sempurna. Kuncinya terletak pada promosi kebebasan memilih dan penerimaan diri, memastikan bahwa orang membuat keputusan berdasarkan keinginan mereka sendiri, bukan tekanan eksternal. Pada akhirnya, lakukan apa yang membuat diri kita bahagia, bukan orang lain.