Konten dari Pengguna

Bisakah Hukum di Indonesia Memberikan Perlindungan Bagi Korban Revenge Porn?

Kimberly Natali
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
10 Desember 2022 22:57 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kimberly Natali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Shutterstocks dan Ilustrasi oleh Claire Merchlinsky
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Shutterstocks dan Ilustrasi oleh Claire Merchlinsky
ADVERTISEMENT
Saat ini kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), salah satunya kasus pornografi balas dendam atau revenge porn sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Disahkannya UU TPKS memberikan payung hukum bagi korban kekerasan seksual. Namun, kini yang menjadi permasalahan adalah apakah UU TPKS mampu memberikan penegakan hukum dan perlindungan hukum bagi korban pornografi balas dendam dengan baik.
ADVERTISEMENT

Meningkatnya Kasus Pornografi Balas Dendam

Semenjak pandemi Covid-19, kasus pornografi balas dendam terus meningkat. Berdasarkan Lembaran Fakta dan Temuan Kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2019 terjadi peningkatan kasus pornografi balas dendam sebesar 33%. Hal ini dilatarbelakangi dari kewajiban untuk melakukan seluruh kegiatan dari rumah, sehingga interaksi secara langsung menjadi terbatas. Hal ini mengakibatkan banyak pasangan yang saling mengirimkan konten eksplisit satu sama lain untuk memenuhi hasrat seksual semata. Sayangnya, banyak dari pasangan-pasangan tersebut yang tidak bertanggung jawab dan menyebarkan konten eksplisit tersebut tanpa persetujuan ke media sosial. Fenomena inilah yang disebut sebagai pornografi balas dendam atau revenge porn. Pornografi balas dendam merupakan penyebaran konten seksual milik pribadi ke internet yang dilakukan tanpa persetujuan dari pihak yang ada di dalam konten tersebut. Porrnografi balas dendam dapat menyerang siapa saja tanpa memandang gender dan usia, tetapi umumnya yang menjadi korban adalah perempuan dan anak. Saat ini, pornografi balas dendam diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
ADVERTISEMENT

Apakah UU TPKS Dapat Memberikan Perlindungan Hukum Bagi Korban Pornografi Balas Dendam?

Disahkannya UU TPKS memang memberikan dampak yang cukup positif bagi penanganan kasus kekerasan seksual yang ada di Indonesia. Namun, dalam materi substansi dan dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak kekurangan. Pertama, UU TPKS hanya mendefinisikan KBGO ke dalam tiga bentuk, yaitu menangkap atau memotret tanpa izin, mengirimkan informasi elektronik bermuatan seksual di luar kehendak penerima, dan menguntit untuk tujuan seksual. Padahal, menurut Center for International Governance Innovation (CIGI) dan UN Women, KBGO memiliki sekitar 15 bentuk. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya elaborasi lebih lanjut dan rinci terkait bentuk-bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online dalam UU TPKS.
Kedua, pemulihan korban yang diatur di dalam UU TPKS juga dirasa belum cukup. Pasal 30 UU TPKS mengatur mengenai dua bentuk pemulihan korban kekerasan seksual, yaitu restitusi dan penyajian konseling. Seharusnya, pemulihan korban juga termasuk dalam penghapusan konten yang sudah disebarluaskan. Upaya penghapusan konten ini membutuhkan kerja sama dari banyak pemangku kepentingan, mulai dari pengambil keputusan, penyedia layanan, platform, website, pengembang hingga pengguna. Melihat banyaknya pihak yang harus bekerjasama, tentunya hal ini akan sulit untuk dilakukan. Apalagi dalam praktiknya penghapusan konten ini dapat menguntungkan beberapa pihak dan merugikan pihak yang lain. Melihat kenyataan ini, perlu diadakan pembaruan substansi mengenai bentuk pemulihan korban KBGO dalam UU TPKS.
ADVERTISEMENT
Ketiga, terdapat permasalahan dalam implementasi UU TPKS. Dalam implementasinysa diperlukan peningkatan kapasitas Aparat Penegak Hukum, baik dalam kemampuan sumber daya peralatan, pengetahuan tentang keamanan digital, dan pengetahuan serta rasa sensitivitas tentang kasus pornografi balas dendam. Dalam menangani kasus masih banyak Aparat Penegak Hukum yang menganggap kalau antara korban dan pelaku saling kenal, maka tindakan kekerasan seksual yang dilakukan itu, atas dasar suka sama suka, sehingga penyelidikan dapat dihentikan. Tentunya perspektif ini adalah salah dan harus segera diperbaiki karena kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang relasi antara pelaku dan korban. Sikap Aparat Penegak Hukum yang terkesan menyalahkan korban menyebabkan banyak korban kekerasan seksual yang takut untuk melaporkan pelaku ke kepolisian.
ADVERTISEMENT
Permasalahan berikutnya, saat ini masih terdapat peraturan-peraturan yang mengatur tentang tindakan pornografi balas dendam yang bertentangan dengan UU TPKS. Contohnya, Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur mengenai larangan distribusi, transmisi, dan dapat diaksesnya konten dengan muatan yang melanggar kesusilaan. Pasal tersebut cenderung berpotensi mengkriminalisasi korban. Sayangnya, dalam UU TPKS belum ada pasal pengakuan (bridging article) yang menjamin tindak pidana pornografi balas dendam wajib diproses dengan UU TPKS dan bukan Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Hal ini menyebabkan perlindungan bagi korban rentan dan tidak optimal.
Melihat kondisi ini, sejatinya UU TPKS sudah menjadi payung hukum bagi korban kekerasan seksual yang memperhatikan perspektif korban dibandingkan peraturan-peraturan yang ada sebelumnya. Namun, masih terdapat banyak kekurangan dalam materi substansial dan implementasinya. Untuk itu, perlu adanya elaborasi dan pembaruan substansi mengenai bentuk pornografi balas dendam dan bentuk pemulihan korban. Selain itu, diperlukan juga adanya hukum acara, sehingga UU TPKS dapat diimplementasikan sebagaimana mestinya dan tidak dipengaruhi oleh Aparat Penegak Hukum yang masih dipengaruhi budaya patriarki, victim blaming, dan misoginis. Sudah waktunya Indonesia menjadi negara yang aman dari kekerasan seksual, untuk itu penegakan hukum dalam UU TPKS harus terus diperhatikan agar hak-hak korban dapat terpenuhi.
ADVERTISEMENT