Konten dari Pengguna

Ketidakmungkinan Soekarno sebagai Dalang G30S

25 September 2017 17:31 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kinanta Malo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Membaca naskah sebelumnya, cukup membuat bulu kuduk saya merinding. Dikatakan bahwa Soekarno adalah dalang dari penculikan jenderal-jenderal dan pamen Angkatan Darat (AD) tahun 1965. Bagi saya ini sangat mustahil. Tipikal seorang Presiden Soekarno bukan seorang politisi pengecut yang main culik dan menggunakan tangan orang lain membunuh lawan politiknya. Soekarno selalu berhadapan muka dengan siapa saja. Baik itu dalam peristiwa-peristiwa tentara Demo 17 Oktober 1952 di Istana Merdeka, Peristiwa PRRI/Permesta, Penandatanganan Vonis Hukuman Mati Kartosoewirjo - semua dihadapi Soekarno secara pribadi. Ia menggunakan kekuatan tentara yang merupakan alat negara, bukan kekuatan pribadinya.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, kejadian 1 Oktober 1965 itu adalah kelemahan intelijen AD sendiri dalam mengantisipasi serangan dari dalam dirinya sendiri. Sinyalemen dari unsur intelijen AD, yang diwakili Brigjen Soedono, mantan atase militer Indonesia di Peking-RRT, kepada Mayjen Siswondo Parman dan Brigjen Harjono MT - yang dianggap sepele akhirnya menjadi kenyataan. Ia sudah memperingatkan sejak tanggal 18 September kepada pemimpin AD bahwa akan ada serangan berupa semacam "kudeta" terhadap kepemimpinan negara dari suatu gerakan yang belum bisa dipastikannya dalam bentuk bagaimana. Memang ada penjagaan dalam tanggal 19 September, tetapi serangan tak datang. Akhirnya termasuk Letjen Achmad Yani menganggap sinyalemen itu hanyalah selentingan kabar belaka - dan mengembalikan sistem pengamanan menjadi normal. Soedono tidak jemu mengusahakan kewaspadaan kedua, karena dalam rapat di Markas Besar AD, tanggal 30 September, kembali ia menyuarakan kewaspadaan itu. Pimpinan pertemuan Brigjen Harjono MT dan stafnya justru menertawakan Soedono.
ADVERTISEMENT
Hanya dalam hitungan jam saja, perkiraan Soedono menjadi kenyataan. Bahkan semua perwira tinggi yang dilaporinya itu, Yani, Parman dan Harjono tepat menjadi korban penculikan dan pembunuhan oleh Gerakan 30 September (G30S). Inilah buah kelalaian AD mengantisipasi semua laporan intelijen yang masuk ke meja mereka, sekecil apapun itu. Meskipun AD menganggap bahwa musuh besar mereka dalam politik itu adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), mereka gagal mewaspadai serangan dari dalam internal tubuh mereka sendiri. Keterlibatan Batalyon-batalyon 434 Jawa Tengah dan 530 Jawa Timur dalam G30S menunjukkan bahwa musuh mereka adalah prajurit-prajurit mereka sendiri.
Selain itu jika kita menerima semua pengungkapan dari saksi pelaku dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub), terhadap Letkol Untung dan Kolonel Latif, semuanya bersaksi bahwa pihak mereka melaporkan semua persiapan penculikan kepada Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), dalam hal ini Mayjen Soeharto. Lantas, jika itu diterima dan dianggap kebenaran, mengapa Soeharto tidak meneruskan laporan itu, jika dia memang sebagai pelindung negara dan ideologi Pancasila, kepada atasannya? Dia malah menyimpan laporan dari bekas-bekas anak buahnya itu sendiri. Hal ini juga patut untuk dicermati kembali.
ADVERTISEMENT
Sinyalemen dari Prof. Salim Said dalam bukunya Dari Gestapu ke Reformasi, bahwa ide soal penculikan itu bukan dari PKI tetapi dari Soekarno seharusnya diletakkan dalam kerangka bahwa Soekarno sedang mencium adanya gerakan terselubung dalam AD oleh perkiraaan Badan Pusat Intelijen (BPI) yang baru saja menerima Dokumen Gilchrist. Bisa jadi dokumen itu mengartikan dua hal sekaligus, bahwa memang ada aktivitas militer yang mau mengkup kepemimpinan negara, atau dalam arti lain bahwa itu menutupi kudeta yang terjadi sesudahnya sebagai kudeta yang sesungguhnya. Soekarno dalam Pidato Pertanggungjawabannya di hadapan MPRS, berjudul Nawaksara, menyebutkan bahwa Gerakan 1 Oktober (Gestok) itulah tindakan kudeta terhadap dirinya. Ia membedakan antara G30S dan Gestok secara berbeda diametral. Yang pertama adalah gerakan liar dalam tubuh AD sendiri, sementara yang kedua adalah permulaan dari usaha kudeta pada dirinya.
ADVERTISEMENT
Semoga semua ini dapat menjadi klarifikasi atas dugaan-dugaan yang tidak masuk akal. Bagaimanapun Soekarno adalah Proklamator Kemerdekaan, yang bukan saja harus dihormati dan dihargai jasa-jasanya, tetapi juga tidak pada tempatnya untuk membuat analisa yang menyudutkan beliau - terlepas atas segala kekurangan beliau dalam memimpin bangsa dan negara Indonesia selama kurang lebih 28 tahun. (Kinanta Malo - Palangka Raya)